Saat bel istirahat berbunyi, Zara terpaksa menuju tempat yang paling ia hindari. Kantin sekolah. Namun, berhubung ia tak membawa bekal seperti biasanya dan rasa lapar yang begitu mendera, Zara terpaksa menuju ke sana.
Kini, ia berjalan menyusuri koridor dengan langkah tertatih-tatih. Kakinya masih terasa nyeri jika digunakan untuk berjalan. Tadi pun tangannya terasa sakit saat dipaksa untuk menulis.
Satu-satunya harapan Zara hari ini adalah tidak mendapat gangguan apa pun. Tubuhnya benar-benar sangat lemas. Namun, harapannya tak terkabul. Karena Citra dan dua temannya sudah lebih dulu mendorongnya dari belakang. Dan untuk yang kedua kalinya luka di kakinya kembali terbuka.
"Kak, tolong kali ini aja, jangan!" Zara berteriak frustasi. Ia hanya ingin ke kantin dan makan, kenapa sesusah itu?
Citra terkekeh sinis, "Masa ngatur? Terserah kita dong mau bully lo apa engga?" ujarnya.
Zeva dan Pamela ikut-ikutan meleburkan tawa.
"Masa mau bully harus nego dulu say?" tanya Zeva diiringi kekehan.
Zara menghela napasnya berat, mungkin kali ini ia akan melawan. Jika bisa tentunya, mengingat tiga lawan satu. Dengan susah payah, gadis itu berusaha untuk bangkit dari duduknya.
Dengan tatapan memelasnya, Zara menangkupkan kedua tangannya di depan dada, "Tolong, luka yang kemarin belum sembuh, Kak," lirihnya.
Citra berdecih, tatapannya turun pada kaki Zara yang terbalut kain kasa. Gadis itu mengulas senyum manis, sebelum akhirnya melangkah mendekat. Dan tanpa kata menendang kuat kaki Zara.
"Argh, Kak!" Zara berteriak diikuti air mata yang spontan mengalir membasahi pipi.
Citra tertawa kencang, seolah kesakitan Zara adalah sebuah kebahagiaan. Namun, tawanya terhenti. Ia menatap sosok jangkung yang tiba-tiba datang dengan alis terangkat.
"Kemarin jadi iblis, sekarang mau jadi malaikat?" tanya Citra dengan tampang mengejeknya. Ia pikir, pada akhirnya Zayn hanya akan mempermalukan Zara.
"Really? Lo beneran nolongin dia Zayn?" Zeva menatap Zayn dengan rasa tak percaya. Sementara Pamela hanya diam saja di tempatnya.
Zara sendiri juga terkejut saat Zayn tiba-tiba datang dan membantu tubuhnya untuk kembali bangkit. Tak seperti kemarin yang ada di pihak Citra, kini--Zayn malah menatap penuh garang pada sosok yang barusan menendang kuat kaki Zara. Apa Zayn ini masih orang yang sama dengan Zayn yang kemarin mengantarkannya?
"Hati lo di mana sih, sialan? Lo nggak liat kakinya luka? Dan malah lo tendang? Bego banget lo!" Zayn membentak. Matanya berkilat penuh tajam.
Citra memalingkan muka, ada rasa kecewa menelusup dada tatkala Zayn membentaknya. Selama ini, Zayn selalu bersikap lembut padanya. Sebagian besar menurut pendapat siswa siswi, Zayn menyukainya. Tapi ini ... apa? Hanya karena Zara?
"Zayn? Lo bentak Queen gue?" tanya Pamela yang juga tak percaya.
Zayn tertawa, matanya yang sudah sipit semakin menyipit, "Kenapa? Dia salah, kan?" tanyanya.
Citra mengepalkan kedua tangannya kuat, sebelum akhirnya berbalik dan memilih untuk melangkah pergi dari sana diikuti dua dayang-dayangnya. Meninggalkan Zara yang juga diiringi rasa tak percaya. Apa Zayn benar-benar berubah?
"Lo nggak apa-apa?" Zayn bertanya.
Zara tersadar, ia menatap tangan Zayn yang memegang bahunya.
"Zara?" ujar Zayn sekali lagi.
Zara meneguk ludahnya, sebelum akhirnya melepas paksa tangan Zayn dari bahunya.
"Nggak perlu sok baik, Kak. Aku nggak butuh itu." Zara berujar demikian.
Zayn menghela napas berat, "Gue nggak sok baik, gue cuma pengen perbaikin semuanya, Ra. Itu aja."
Zara tak berniat percaya. Kebodohan terakhir yang ia lakukan adalah percaya pada omongan Zayn. Tidak akan lagi. Cukup satu kali.
Dengan kaki diseret, Zara memilih untuk pergi menjauh. Namun, seperti kemarin, Zayn menahan tangannya. Untuk yang kedua kali, tangan Zara berada di dalam genggaman tangan Zayn.
"Gue obatin kaki lo, ayo!" Zayn menarik paksa Zara.
Daripada kekeh tak mau dan rasa sakit di kakinya semakin mendera, Zara lebih memilih untuk mengikuti langkah Zayn. Tatapan Zara mengarah ke tangan putih Zayn yang menggenggam tangan sawo matangnya. Seberbeda itu. Seperti kata Zayn saat itu, mereka seperti langit dan bumi.
"Duduk," titah Zayn.
Zara manut, gadis itu dengan malas mendudukkan diri di brankar uks. Ia menatap Zayn yang sibuk mencari obat merah, kasa, beserta yang lainnya.
"Aku bisa sendiri." Zara mencoba meraih kotak p3k di tangan Zayn.
Namun, bukannya memberikan, Zayn malah jongkok di hadapan Zara.
"Aku bisa sendiri, Kak Zayn." Dan Zara sendiri masih berupaya keras untuk meraih obat-obatan di tangan Zayn.
"Lo bisa diem nggak sih?" Zayn menatap Zara penuh ketajaman.
Zara memalingkan muka, tak kuasa dengan mata setajam elang itu. Mau seberusaha apapun, ia memang sosok yang lemah.
"Gue pelan-pelan, kalau sakit bilang," ucap Zayn.
Zara kembali menunduk, ia menatap Zayn yang begitu telaten mengobati lukanya.
"Aku tau kamu hanya pura-pura," ujar Zara setelah beberapa menit keheningan melanda di antara mereka.
Zayn mendongak, lelaki itu mengulas senyum tipis, "Terserah lo mau nganggep tingkah gue ini apa. Yang pasti, Zayn yang ada di hadapan lo sekarang benar adanya."
***
Citra marah, ia tak rela Zayn membentaknya. Lebih tak rela lagi saat mengingat alasan Zayn membentaknya. Tak lain dan tak bukan karena Zara. Aneh. Biasanya lelaki itu akan selalu di pihaknya. Benar atau pun salah, Zayn akan tetap mendukungnya. Ya, hubungannya dan Zayn memang seakrab itu, walau tak pernah ada yang mengungkapkan rasa suka di antar mereka.
"Sial!"
Citra kalut, ia takut Zayn akan jadi pelindung Zara dan tak lagi ada di pihaknya. Gadis itu mengacak rambutnya kasar, sebelum akhirnya melempar kuat apa pun yang ada di dalam kamarnya.
"Zaraaa sialann!"
"Argh!"
Setelah lemparan terakhir, Citra terduduk di lantai. Ia menyandarkan punggungnya ke kaki kasur. Napasnya berhembus naik turun.
"Dek!"
Citra menoleh, dan mendapati sosok kakak yang selama ini selalu di sampingnya. Agra. Saat itu juga, Citra tak bisa untuk tak bangkit dan berlari. Menerjang Agra dengan pelukan diiringi sebuah tangisan. Selayaknya kakak pada adiknya, Agra mengusap punggung dan surai hitam Citra dengan lembut.
"Kenapa, hmm?" tanya Agra penuh kelembutan. Berbeda sekali dengan perlakuannya pada Zara.
Citra mendongak, menatap tepat manik mata Kakaknya, "Zara, Zara mau rebut apa yang aku punya."
Ambigu, tapi Agra paham maknanya. Dan semua yang membuat Citra menangis--hanya di depannya--selalu karena Zara.
Menghela napas sebentar, tangan lelaki itu terangkat, mengusap air mata sang adik. Agra mengulas senyuman semanis mungkin.
"Kakak nggak akan biarin itu. Cukup Kak Kai yang dia ambil, oke?" Agra berupaya menenangkan.
"Janji?" Citra menyodorkan kelingkingnya.
Agra menautkan kelingkingnya dengan kelingking adiknya, "Janji."
"Sekarang kamu ke depan, ada Zayn," lanjutnya.