Chereads / SHEILA : Skate Love / Chapter 7 - Rasa Bersalah.

Chapter 7 - Rasa Bersalah.

"Woy! Siapa di sana?."

Sheila berteriak. Tapi tidak ada sahutan sama sekali, ia hanya mendengar suara----ringisan?

Segera Sheila berlari. Ia yakin kalau memang ada orang yang sedang bermain skate di tempat ini.

"Halo, lo baik-baik aja, kan?." Sheila memberanikan diri untuk mendekat, namun tetap dengan kehati-hatian dan tangannya yang sudah memegang pisau lipat itu dari dalam saku hoodie.

"Lo bisa denger gue, kan?," tanya Sheila sekali lagi.

Perlahan kakinya melangkah semakin dekat. Tangannya mengulur berusaha meraih wajah yang masih belum terlihat jelas, karena orang tersebut mengenakan topi berwarna hitam.

"Akh, Shel. Mau ngapain, lo?."

"Astaga, Adi! Gue kira siapa."

Sheila menghela napas. Rasa takutnya perlahan hilang, karena orang misterius yang bermain skateboard di malam hari itu adalah Adi.

"Lo ngapain di sini malem-malem?," tanya Adi yang tengah berusaha berdiri dan membersihkan lutut serta siku yang sedikit terdapat batu-batu kecil.

"Gue kabur dari rumah."

"Apa? Lo gila, ya! Ngapain juga lo kabur? Lo itu cewek. Gimana kalo ada apa-apa sama lo?."

Sheila berdecak, "Lo bawel banget, ya. Udah kayak emak-emak yang nawar di pasar," kata Sheila sedikit merajuk.

"Bukan gitu, She. Gue khawatir aja. Lo itu cewek, pergi malem-malem kayak gini bisa bahaya buat diri lo sendiri," ujar Adi mencoba untuk menasihati Sheila.

Sedangkan Sheila, ia seolah tak peduli dengan perkataan Adi yang panjang lebar itu. Sheila justru malah bersendandung kecil untuk mengalihkan suara Adi.

"She, lo dengerin gue gak?," tanya Adi kesal.

"Ya, gue denger," jawab Sheila singkat.

"Terus, lo kesini naik apa?."

"Jalan kaki."

"APA?! Sumpah, ya. Lo gila!."

Adi pergi meninggalkan Sheila di tengah-tengah lapangan yang gelap dan hanya terpancar oleh sinar bulan.

"Eh, tunggu. Jangan tinggalin gue!."

Sheila berlari. Menyusul langkah Adi yang begitu lebar.

"Di! Jangan tinggalin gue, ih. Lo nggak liat, tempat ini gelap banget." Sheila merengek sambil terus berlari, berusaha menyeimbangkan langkah kakinya dengan Adi.

"Udah tau gelap. Terus, kenapa lo malah kesini?."

"Y-ya, gimana. Gue udah di sini."

Sheila gelagapan. Apalagi dengan tatapan mata Adi yang mengunci kedua bola matanya.

"Dasar cewek kerasa kepala," cibir Adi. Ia kembali membalikan tubuh dan duduk di pinggir lapangan.

"Tapi untungnya gue ketemu sama lo di sini. Jadi gue nggak akan sendirian, deh."

Bukannya takut atau merasa bersalah. Sheila malah ikut duduk di samping Adi dengan senyum manisnya yang mengembang.

"Lo kenapa latihan malem-malem?," tanya Sheila mengalihkan pertanyaan.

"She, gue takut. Orangtua lo pasti khawatir. Lo itu anak satu-satunya mereka."

"Di, plis. Gue itu cuma pengen nenangin diri gue sendiri. Gue pusing karena di rumah dipaksa terus buat nikah. Gue gak mau nikah muda, Di. Gue masih pengen main skateboard, gue masih pengen kumpul sama temen-temen gue, termasuk lo."

Adi bungkam. Ia menoleh ke samping dan melihat Sheila yang tengah menelungkupkan wajah di antara kedua kakinya.

Tubuh gadis itu bergetar. Adi tahu, kalau Sheila tengah menangis. Apa ia sudah keterlaluan memarahi gadis itu? Padahal Adi tahu seperti apa kedua orangtua Sheila yang memaksa dirinya untuk segera menikah.

"Gue pusing, Di. Gue pengen mereka berubah pikiran. Gue bukan hidup di jaman dulu yang bisa di jodohin seenaknya. Gue juga punya cita-cita sendiri."

Astaga. Adi semakin merasa bersalah. Pasalnya, Sheila berbicara dengan suara lirih dan terdengar suara ingus yang tengah keluar masuk dari hidungnya.

"She..."

"Di, gue mohon. Jangan suruh gue pulang. Biarin gue di sini dulu. Gue pengen nenangin diri."

Adi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Lalu dengan memberanikan diri ia merangkul bahu Sheila dari samping, dan menyandarkan tubuh yang masih membungkuk itu ke dadanya yang bidang.

"Maafin gue. Gue nggak tahu soal ini. Gue nggak akan maksa lo buat pulang," ucap Adi sebari mengusap bahu Sheila.

Sheila mengangguk pelan. Ia sama sekali tidak melepas pelukan Adi. Ia memang sedang membutuhkan sebuah pelukan malam ini.

"Lo nggak pegel gitu terus? Angkat dong wajah lo," omel Adi yang melihat Sheila masih menelungkupkan wajahnya.

"Gue malu," ujar Sheila dengan suara serak.

"Jangan malu. Ini kan sama gue, bukan sama orang lain."

Sheila mengangkat wajahnya perlahan. Ia menyeka jejak-jejak air mata yang sepertinya masih terlihat.

"Gimana? Udah nangisnya?," ejek Adi.

"Ish, Adi!." Sheila memukul tubuh Adi yang terasa begitu keras.

Adi terkekeh. Ia senang karena Sheila sudah kembali tersenyum.

"Sori, ya. Gue jadi nangis depan lo," ujar Sheila.

"Gapapa. Kita kan sahabat. Harusnya lo cerita dari awal maksud dan tujuan lo kesini buat apa, supaya gue nggak suudzon."

"Gimana gue mau cerita? Lo aja langsung marah-marah," sahut Sheila sambil memanyunkan bibir.

"Iya, sori. Gue cuma takut lo kenapa-napa."

Sheila diam. Ia menatap Adi dengan tatapa mengintimidasi.

"A-ah, maksud gue. Gue nggak mau ribet kalo tiba-tiba ada berita yang ngabari kalo lo mati sehabis di perkosa."

"Ish, mulut lo ya!."

Sheila memukul tubuh Adi lebih keras. Laki-laki itu. Bisa-bisanya ia berbicara seperti itu pada Sheila.

"Haha.. Becanda, She. Gue becanda. Udah jangan mukulin gue kayak gini!."

"Biarin. Siapa suruh mulut lo jahat banget sama gue."

Sheila terus saja memukuli tubuh Adi. Bahkan bukan hanya pukulan yang lontarkan. Cubitan, gigitan juga ia berikan pada Adi.

"Hahaha.. Adi! Jangan gelitikin gue! Geli, anjir!."

"Biarin. Siapa suruh lo mukulin gue."

Keduanya terhanyut dalam tawa. Sheila merasa tidak menyesal karena pergi dari rumah. Di sini, untungnya ia bertemu Adi. Sahabat yang selalu ada untuknya.

"Uhuk.. Uhuk..."

"She, lo kenapa? Lo sakit?," dengan sigap Adi langsung meraih wajah Sheila yang tiba-tiba terbatuk.

"Nggak. Gue capek ketawa, makanya batuk," ujar Sheila dengan sisa-sisa tawanya.

"Heleh. Kirain gue sakit." Adi melepaskan tangannya dari wajah Sheila dan berdecak kesal.

"Hehe.. Kenapa? Lo khawatir, ya?," goda Sheila sebari mencolek dagu Adi.

"Mana ada. Gue takut lo mati."

"Adi, ih! Mulut lo jahat banget, sumpah."

Sheila merajuk. Ia membelakangi tubuh Adi sebari menyilangkan kedua tangan di atas dada.

"Yah, ngambek," cibir Adi.

"Bodo!."

"She, Brama tau kalo lo kesini?."

"Oh, iya. Astaga, gue lupa ngabarin Brama."

Sheila menepuk keningnya sendiri. Ia mencari ponsel yang seharusnya berada di dalam tas atau saku celananya.

"Lho, kok ponsel gue nggaka ada?," batin Sheila.

"Kenapa?," tanya Adi yang melihat gelagat aneh dari Sheila.

"Ponsel gue gak ada," jawab Sheila dengan mimik wajah panik.

"Coba cari yang bener. Di dalem tas, kali."

Sheila segera membuka tas miliknya. Mengobrak abrik apa saja yang ada di dalamnya.

"Nggak ada, sumpah," ucap Sheila.

"Apa mungkin ketinggalan di rumah?."

"Ah iya, ya ampun. Gue lupa. Ponsel gue lagi di charger."

Tubub Sheila lemas. Ia kembali duduk di samping Adi dengan wajah yang memelas.

"Udah, lo tenang aja. Ponsel lo kan ada di rumah. Lo nikmatin aja waktu berduaan sama gue, malam ini."