Chereads / SHEILA : Skate Love / Chapter 8 - Adi Merajuk

Chapter 8 - Adi Merajuk

"Pa, gimana ini? Udah tengah malem tapi Sheila belum pulang juga."

Ratna terlihat panik dan berjalan kesana kemari di depan kamar. Tangannya terus saja memegang ponsel. Ratna sedari tadi sudah berusaha menghubungi Sheila, namun sayang putrinya itu sama sekali tidak mengangkat panggilan dari Ratna.

"Udah, Ma. Kita tunggu aja sampe besok. Biarin Sheila nenangin pikiran dia sendiri," ujar Farel sebari melanjutkan kembali membaca buku.

"Papa kok tenang-tenang aja, sih? Nggak ada rasa khawatir sama anak sendiri." Ratna mengomel kepada suaminya. Pasalnya Farel tidak terlihat khawatir atau panik.

"Ma, Mama itu harusnya ngerti gimana perasaan anaknya. Sheila itu nggak mau nikah di usia muda. Dia juga pasti pengan kayak anak-anak yang lain, main, kumpul-kumpul."

"Pa, Sheila itu umurnya udah 22 tahun. Dia udah pantas untuk menikah. Mama pengen dia cepet dapet jodoh."

"Jodoh itu udah ada yang atur, yaitu Tuhan bukan Mama. Kita sebagai orangtua gak berhak buat jodohin Sheila. Tugas kita cuma mendukung siapa pun nanti yang akan jadi suami Sheila."

Farel memang tidak pernah setuju dengan keputusan Ratna yang ingin menikahkan putri mereka. Tapi laki-laki berusia sekitar 40 tahun itu hanya diam karena tak ingin berdebat dengan istrinya sendiri.

Farel adalah seorang ayah yang bijaksana. Ia sangat peka dengan keinginan Sheila. Seperti sekarang ini, Farel tidak ingin memaksakan kehendaknya sendiri. Ia selalu yakin, kalau pun Sheila tidak menikah di usia muda, ia tidak akan terpengaruh oleh pergaulan bebas di luaran sana.

"Terus Mama harus gimana, Pa?," tanya Ratna sebari duduk di tepian tempat tidur.

"Mama jangan maksain kehendak Mama sendiri. Biarkan Sheila memilih jalan hidupnya. Mama harus kasih kepercayaan sama Sheila."

Farel beranjak dan mendekati istrinya yang masih tertunduk. Ia memeluk tubuh sang istri dari samping.

"Papa sayang sama Mama dan Sheila. Sebenernya Papa nggak setuju sama perjodohan ini, tapi Papa nggak mau bikin Mama kecewa."

"Maafin Mama, Pa. Jadi, Mama harus gimana sekarang?."

"Mama jangan paksa Sheila lagi, ya. Tugas kita cuma harus dukung apa pun keinginan Sheila."

***

Malam bertabur bintang membuat suasana menjadi lebih tenang dan menyenangkan.

Sheila tengah merebahkan tubuhnya di tengah lapangan. Di temani Adi yang juga berada di sampingnya.

"Di, gue baru kali ini tidur di luar kayak gini," ucap Sheila membuka suara.

"Lo belum pernah kemping?."

Sheila menggeleng, "Gue nggak pernah di bolehin. Nginep aja gue nggak boleh," kata Sheila.

"Dan sekarang, lo bisa ngerasain keindahan malam, kan?." Adi menoleh, memperhatikan wajah Sheila yang terlihat bahagia. Juga senyum menawan yang menambah kecantikan gadis itu.

"Ssshhh...."

"Lo kedinginan, She?," tanya Adi yang melihat Sheila seperti sedang menggigil.

"Iya. Dingin banget, gila. Mana gue nggak bawa selimut."

Dengan kepekaan yang tinggi, Adi melepas jaket tebal yang sedari tadi menempel di tubuhnya.

"Pake. Nanti lo masuk angin."

Sheila menatap Adi kikuk. Entah rasanya begitu canggung ketika sahabatnya itu memberikan sebuah jaket dan memakaikannya ke tubuh Sheila.

"Emm.. Di. Makasih, ya," ujar Sheila pelan sebari meremas jaket pemberian Adi yang sudah menempel di punggungnya.

"Sama-sama. Kita ini sahabat, gue nggak mau kalau lo sampe sakit."

Sheila mengangguk pelan. Ia merutuki dirinya sendiri. Bagaimana bisa, kalau ia berpikir bahwa Adi memiliki perasaan lebih dari sekedar sahabat terhadapnya.

"Gimana? masih dingin?."

"Ah, udah enggak kok. Udah lumayan anget." Sheila menjawab dengan sebuah cengiran yang membuat kedua matanya terpejam.

"She, gue boleh curhat sama lo?," kata Adi tiba-tiba dan kembali dengan posisi semula, yaitu menatap langit dan ribuan bintang yang berserakan.

"Boleh, dong. Lo mau curhat apa?," tanya Sheila yang masih tetap duduk di sampinh tubuh Adi yang terlentang.

"Gue pernah suka sama orang. Tapi orang itu malah pergi sama yang lain."

"Terus? Lo masih suka sama dia?."

Adi mengangguk. "Gue nggak bisa lupain dia, She. Banyak banget kenangan yang udah kita lakuin. Nggak akan mudah buat gue lupain dia."

Sheila terdiam, "Apa jangan-jangan, yang disukai Adi itu adalah gue?," batinnya.

"Gue harus gimana ya, She?."

Suara Adi membuat Sheila terperanjat, ia menggelengkan kepala setelah sadar dari apa yang baru saja ia bayangkan.

"Menurut gue, ya. Lo harus ikhlas. Lo harus bisa terima kalau cewek itu ternyata milih cowok lain. Lo harus move on, Di."

Sheila berbicara dengan sangat lugas. Melihat Adi dengan wajah memelasnya, membuat gadis itu sedikit iba.

Bagaimana jika memang Sheila lah gadis yang Adi maksud? Kalau benar, sejak kapan sahabatnya itu memiliki perasaan khusus padanya?

"Gue udah berusaha. Tapi, tiap kali gue liat mereka lagi berduaan, itu kayaknya hati gue sakit banget. Berasa kayak dicabik-cabik piso dapur, tau gak?."

Bukannya kasihan, Sheila malah tertawa mendengar ucapan Adi.

"Kenapa ketawa? Ada yang lucu? Sahabat lo lagi sedih, lo malah ketawa. Gak punya perasaan banget," ucap Adi mengomel.

"Nggak. Tapi pengibaratan lo itu lucu. Kenapa tercabiknya pake piso dapur? Nggak ada yang lebih elit, kek? Samurai atau pedang, gitu. Piso dapur. Mana tajem."

Sheila masih terkikik dengan sisa-sisa tawanya.

"Tau, ah. Males gue curhat sama lo. Mending gue tidur." Adi memejamkan kedua matanya, dengan kedua tangan yang terlipat di dada.

"Yaah, ngambek. Adi sori, deh. Gue kan becanda, supaya lo ketawa. Di, bangun."

Sheila menggoyangkan tubuh Adi yang keras. Tubuh yang atletis dan dipenuhi oleh otot-otot itu membuat Sheila sedikit kesusahan.

Pasalnya Adi tidak bergerak sedikitpun. Membuat Sheila mengeluarkan seluruh tenaganya untuk menggerakkan kembali tubuh Adi.

"Di, jangan ngambek. Gue takut sendirian di sini," ucap Sheila lagi.

Gadis itu mengedarkan pandangan. Gelap. Semuanya gelap tanpa ada cahaya lampu kecuali sinar bulan dan bintang yang seolah membantu Sheila untuk memperhatikan sekitar.

"Di, itu ada apaan putih-putih? Adi, ih!."

"Aw! Sheila, sakit!."

Habis sudah kesabaran Sheila. Ia memukul tubuh Adi dengan keras pada akhirnya, yang sukses membuat laki-laki itu mengaduh dan terbangun.

"Sori, tapi gue takut," ucap Sheila sambil memeluk lengan Adi.

Adi berdecak, "Apa yang lo takutin, hah?."

"Itu...."

Adi mengikuti arah jari telunjuk Sheila. Ia menyipitkan mata tatkala melihat benda putih yang berkibar di ujung lapangan.

"Lo tunggu di sini. Biar gue yang ngecek."

"Gak mau! Gue ikut."

Adi menghela napas jengah. Memang benar apa kata orang, berduaan dengan wanita hanya membuat repot saja.

"Di, pelan-pelan."

Belum ada lebih dari satu meter mereka melangkah, Sheila sudah merengek ketakutan dan pelukan di lengan Adi semakin kencang.

"She, jangan gini. Kekenyalan lo nyentuh lengan gue, lho."

Sheila melotot dan memukul bahu Adi cukup keras.

"Aw! Sakit, bego!," hardik Adi.

"Abisnya lo mesum!," cibir Sheila tidak terima.

"Iya, sori. Lagian gue gak nafsu sama cewek."

"Apa?."

"Gak."

Sheila mengangkat bahu acuh. Membiarkan Adi untuk melanjutkan kembali langkahnya. Mereka mengendap endap, karena kain itu rasanya semakin berkibar dan membuat rasa penasaran di benak Sheila semakin bertambah.

SREK

"Aaaaaaaaa...."