Chereads / SHEILA : Skate Love / Chapter 6 - Pergi Dari Rumah

Chapter 6 - Pergi Dari Rumah

Memiliki saudara sepupu seperti Aksa cukup membuat Sheila beruntung. Karena meskipun Aksa adalah seorang lelaki, ia tidak pernah mengasingkan Sheila atau memperlakukannya dengan tidak senonoh.

Aksa melaksanakan kewajibannya dengan baik. Sebagai seorang kakak, memang sudah sepantasnya ia melindung Sheila. Walaupun usia Sheila jauh di atasnya.

"Lo serius? Gue harus lakuin itu?."

Percakapan Sheila dan Aksa masih berlangsung. Durasi yang terlihat saat sudah hampir satu jam mereka habiskan untuk berbincang di dalam telpon.

"Gue serius, lah. Siapa tau, dengan lo berontak, tante Ratna sama om Farel bisa berubah pikiran. Karena mereka pasti nggak mau punya anak nakal yang selalu bikin masalah, apalagi sampe bikin keluarga besar Aksadana malu," jawab Aksa panjang lebar.

"Lo bener juga, sih. Kayaknya gue mau coba pake cara yang lo kasih," jawab Sheila.

"Bagus! Itu baru adek gue."

"Aksa!"

"Sa, itu siapa?," tanya Sheila penasaran. Karena tiba-tiba saja terdengan suara wanita yang berteriak dan tengah memanggil nama Aksa.

"Oh, itu cewek gue. Kalo gitu, gue tutup telponnya ya. Salam buat tante sama om. Bye!."

Sambungan terputus. Sheila menatap layar ponselnya sebari menggeleng pelan.

"Apa rencana gue ini akan berhasil? Dan mama papa nggak akan jodohin gue lagi?," gumam Sheila terjeda. "Bodo ah. Aksa pasti gak pernah salah. Kalo gitu, sekarang gue mandi, terus pergi latihan skate lagi, deh."

Dengan semangat Sheila mengambil handuk dan masuk ke dalam kamar mandi yang terletak di sudut kamar.

Wajag gadis itu sudah tidak semurung tadi. Sepertinya berbincang dengan Aksa cukup membuat moodnya kembali baik.

Suara gemercik air mulai terdengar. Sheila memejamkan kedua matanya seraya memijat kulit kepala yang sudah di basahi oleh shampo dan air yang mengucur dari shower.

"Suka banget gue sama aroma lavender," gumamnya.

Ya. Sheila memang sangat menyukai sabun yang beraroma lavender. Menurutnya, aroma lavender mampu membuat otak rileks dan jauh lebih tenang.

Apalagi untuk dirinya yang sudah seharian berada di luar ruangan dan terkena sinar matahari.

"She, Sheila. Kamu di kamar, Nak?."

Sheila menajamkan pendengarannya. "Itu kayak suara mama."

"She."

Panggilan serta ketukan pintu kembali terdengar.

"Iya, Ma. Sheila lagi mandi!."

Dengan sangat terpaksa, Sheila harus berteriak untuk menjawab panggilan sang mama. Dan selang tak lama, suara Ratna sudah tak terdengar lagi.

"Mama mau ngapain lagi? Pasti mau ngomongin perjodohan itu."

***

"Lho, She. Kamu mau ke mana?," tanya Ratna ketika melihat puterinya yang baru saja turun dari tangga sebari membawa papan skateboard di tangannya.

"Sheila mau latihan, Ma," jawab Sheila.

"Ini kan udah malem, She. Kamu udah seharian lho main skateboard. Masa sekarang mau main lagi," kata Farel yang baru saja datang.

"Nggak apa-apa, Pa. Supaya Sheila bisa lebih jago mainnya. Kan ini juga hobi Sheila."

"Gak. Mama gak ngijinin kamu pergi. Ini udah malem. Waktunya orang istirahat, bukannya malah kelayapan."

Sheila memutar bola matanya malas. "Ma, plis. Sheila cuma pergi sebentar buat latihan skate doang."

Sheila tetap kekeh dengan tujuannya. Ia harus bisa membuat Ratna berubah pikiran secepat mungkin

"Kamu ini kenapa, sih? Nggak pernah mau dengerin omongan Mama!?."

Sheila tersentak. Pasalnya baru kali ini ia mendengar Ratna berbicara dengan nada tinggi dan membentak.

"Mama bentak Sheila?," tanya Sheila dengan senyuman miris di kedua sudut bibirnya.

"Astaga. Enggak, Sayang. Mama nggak bermaksud buat bentak kamu." Ratna menghampiri Sheila dan berusaha meraih wajah putrinya. Namun dengan cepat Sheila menghindar.

"Mama jahat!."

"Sheila! Sheila!."

Ratna dan Farel berusaha memanggil Sheila yang telah lebih dulu pergi dan berlari meninggalkan rumah.

Karena baginya, ini adalah bentakan pertama yang ia terima seumur hidup. Apalagi yang melakukan itu semua adalah Ratna, ibu kandungnya sendiri.

"Pa, Sheila, Pa."

Ratna memeluk Farel sebari menangis. Ia menyesal karena perbuatannya yang sudah membentak sang putri.

"Udah, Ma. Kita biarin Sheila sendiri dulu. Dia pasti kaget karena Mama ngebentak dia," ujar Farel sambil mengelus punggung sang istri yang sedang menangis tersedu.

"Maafin Mama, Pa."

***

Sheila berlari sejauh mungkin. Mengikuti arah kakinya yang sampai saat ini tak diketahui akan membawa dirinya ke mana.

"Mama jahat. Mama udah bentak gue."

"Mama kan tau, kalo gue nggak suka dibentak. Dan gue nggak pernah dibentak sebelumnya."

Sheila mengakhiri pelariannya. Ia kembali berjalan dengan air mata yang sudah berucuran.

Gelapnya malam sama sekali tak ia hiraukan. Baginya saat ini adalah, mencari tempat yang nyaman untuk menenangkan semua permasalahan di dalam hidupnya.

"Gue harus pergi ke mana? Apa gue pergi ke tempat latihan aja, ya? Tapi di sana mana ada orang. Dan ngapain juga orang-orang harus pergi ke tanah kosong malem-malem."

Sheila menatap sekelilingnya. Gelap. Tidak ada orang atau pun kendaraan yang berlalu lalang.

"Serem juga, ya. Gue jalan sendirian udah kayak gembel," gumamnya.

Gadis itu memeluk tubuhnya sendiri dengan kedua tangan. Mengusap untuk sekedar meredakan hawa dingin yang perlahan masuk ke dalam tubuh dan menembus pori-pori kulit miliknya.

"Udah lah, gue ke tempat latihan aja," putusnya.

Sheila kembali melanjutkan langkahnya. Ia mencoba meredam rasa takut yang perlahan merasuk ke dalam pikirannya.

Walaupun Sheila adalah gadis tomboy, tapi ia juga memiliki rasa takut. Tapi bukan hantu atau pun makhluk gaib lainnya yang ia takuti, melainkan preman-preman yang bisa muncul kapan saja.

Di dalam pikiran Sheila, ia hanya takut dilecehkan. Ia tak bisa membayangkan, seperti apa jadinya kalau ia benar-benar bertemu dengan preman dan preman tersebut melecehka dirinya seperti apa yang selalu ia lihat dalam berita di televisi.

"Sumpah, ya. Ini jalanan serem banget."

Sheila menajamkan penglihatannya. Ia tidak boleh lengah sedikitpun.

Kedua tangan ia masukan ke dalam saku hoodie berwarna merah menyala yang ia kenakan. Di dalam saku tersebut terdapat sebuah pisau lipat kecil yang selalu ia bawa kemana pun.

Pisau itu akan menjadi benda untuk menyelamatkan dirinya ketika berada di dalam keadaan genting. Tenang saja, Sheila tidak akan pernah menyalah gunakan benda-benda tajam hanya untuk kepuasan nafsunya sendiri.

"Sejauh ini jalanan keliatannya aman. Gue nggak liat ada orang yang aneh atau mencurigakan."

Hanya tinggal beberapa langkah untuk Sheila sampai di tempat tujuan. Lahan kosong berbahan aspal itulah yang malam ini akan menemani Sheila sekaligus menjadi tempat untuk Sheila beristirahat.

"Fyuh.. Akhirnya sampai juga," ucap Sheila sambil melepas ransel hitam yang sedari tadi berada di punggungnya.

BRAK

BRAK

BRAK

"Suara skateboard," gumam Sheila.

Dengan cepat ia berlari. Menghampiri asal dari suara benturan papan skateboard dengan aspal yang sedang ia pijak saat ini.

Dari jauh Sheila dapat melihat seseorang dengan bentuk siluet yang sedang berjalan di atas papan skate nya.

"Itu siapa, ya? Kok dia malem-malem ada di sini?," batin Sheila.

Perlahan ia melangkah. Langsung saja kedua tangan Sheila menelusup ke balik saku hoodie yang di mana terdapat pisau lipat.

BRAK

"Akhhh..."

"Woy! Siapa di sana?."