Chereads / Cak Dul, Mas Piet Dan Penghuni Warkop Pantura / Chapter 9 - Episode 8 : Mengantarkan Pesanan

Chapter 9 - Episode 8 : Mengantarkan Pesanan

Sepuluh gelas kopi susu yang dicampur dengan darah keduanya telah tersaji di atas meja. Bekas sayatan di ibu dan jari telunjuk bagian kiri cak Dul telah mengering dan dibiarkan terbuka. Tak peduli walau debu dan bakteri akan menginfeksi dirinya. Namun jari mas Piet mulai dari ibu jari hingga jari manis bagian kiri diperban olehnya agar darah berhenti mengalir. Cak Dul melihat jam yang telah menunjukkan pukul 10.30 malam. Mereka hanya memiliki waktu setengah jam untuk mengantarkan minuman itu ke rumah Sulastri, si pemesan kopi. Angin malam berhembus dan semakin dingin sampai membuat tubuh dua orang ini menggigil. Mas Piet walaupun berbadan gemuk namun tetap saja merasakan dingin. Cak Dul tidak memperlihatkan ekspresi menggigil kepada mas Piet agar dirinya tetap terlihat kuat dan penuh semangat.

Jalanan Pantura mulai terlihat sepi. Tidak seperti siang hari dimana mobil-mobil saling beriringan, jalan raya hanya dilewati satu atau dua mobil. Kadang-kadang truk gandeng berjalan dengan kecepatan cukup tinggi karena ia merasa bebas tidak ada yang mengganggu di depannya. Mobil van pengantar paket kadang-kadang menembus jalan raya untuk mengantarkan paket antar kota secepat mungkin agar kurir tidak tersemprot amarah dari atasan atau paling parah dari pembeli. Dan jika apes, sang kurir akan dimaki selama berjam-jam apabila isi paket tak sesuai ekpekstasi pembeli.

Cak Dul memasukkan kopi-kopi tersebut ke dalam wadah kresek berukuran besar dan tak lupa sedotan plastik dengan panjang 20 sentimeter menjadi satu. Mas Piet masih bingung siapa gerangan yang mau meminum kopi-kopi ini, apalagi darah manusia ikut di dalamnya yang pasti akan membuat siapapun yang meminumnya langsung memuntahkan kembali karena bau darah yang tengik seperti bangkai tikus. Dan satu lagi, siapakah wanita yang bernama Sulastri? Bagi cak Dul ia adalah wanita misterius yang belum pernah ia temui di desanya. Bahkan luar desanya sekalipun ia tak mengenal seorang wanita bersama Sulastri. Apakah Sulastri adalah orang tua yang memiliki keajaiban tidak menua pada pita suara? Ataukah Sulastri adalah seorang wanita sewaan dari pembunuh yang ingin menghabisi nyawa cak Dul dan mas Piet dalam sekali tembak di kepala? Atau justru Sulastri adalah gadis kecil yang sekadar iseng memesan kopi-kopi tersebut untuk mengerjai mereka berdua?

"Kalau dia hanya iseng kepada kita,mas. Akan kupenggal kepalanya dengan tanganku sendiri. Tanpa memakai pisau ataupun pedang. Tapi dengan tangan kosong!"

"Cak, sabar dulu. Ayo kita berangkat agar dia tidak marah-marah lagi ke aku. Kamu enak saat itu kedapatan sedang ramah. Lah ini aku harus kena semprot berulang kali, cak. Takut aku."

"Halah, sama perempuan saja takut. Pantesan kamu enggak laku-laku. Bah! Macam bujang lapuk saja kau ini, mas."

"Ehh tunggu dulu cak. Emangnya si Yuli itu bakal mau sama kamu? Lah hwong Yuli banyak saingannya dan kamu itu siapa cak? Ngaca dulu dong. Ngaca, cak. Masa laki dekil sepertimu bakal dicintai sama Yuli? Hahahaha."

"Sudah? Sudah sudah? Sudah puas ketawanya? Ayo bantu aku angkat pesanan pelanggan ini. Keburu dia telpon terus. Pusing aku lama-lama dengar telepon terus dari dia". Cak Dul mengambil kunci di dalam saku celananya kemudian menancapkan ke kontak sepeda RX King yang telah mengembun pada bagian jok. Stangnya telah dingin seperti es batu padahal Lamongan dan Gresik bukanlah wilayah yang memiliki 4 musim. Hanya musim hujan dan kemarau saja, namun saat ini kemarau berkepanjangan masih melanda wilayah itu. Anehnya jika malam tiba, suhu udara bisa seperti wilayah Antartika tapi tanpa salju.

Tanpa banyak basa-basi lagi cak Dul menyalakan sepeda motornya dengan mendorong double starter ke bawah, tuas gas di bagian kanan ia tarik perlahan bersamaan saat ia mendorongnya. Pada percobaan pertama, motor belum menyala. Percobaan kedua motor pun belum menunjukkan mesin menyala dan asap yang mengepul ke udara. Dan percobaan ketiga mesin akhirnya menyala. Suara "reng teng teng teng" berdengung di mesin sepeda motor dengan asap putih yang keluar dari knalpotnya yang sudah menghitam. Mas Piet kemudian naik dan duduk di belakang cak Dul sambil memangku kresek yang berisi 10 gelas es kopi susu.

"Yasudah cak, ayo kita berangkat". Mas Piet menepuk bahu cak Dul sebagai isyarat siap, cak Dul mengangguk kemudian menarik tuas kopling dan memasukkan gigi persneling lalu tuas gas ditarik perlahan-lahan. Motor pun berjalan melewati kegelapan malam yang begitu gelap tanpa lampu penerang jalan di sisi kiri dan kanan. Dia tak mau berjalan di tengah bersama mobil, truk gandeng, bis malam atau mobil van pengantar paket agar tidak memakan bensin yang cukup banyak apalagi di malam hari orang tidak membuka warung dan toko karena orang-orang pedesaan telah banyak yang beristirahat untuk mempersiapkan tenaga di esok pagi. Berbeda dengan kebiasaan orang kota, malam hari justru banyak digunakan sebagai waktu bekerja untuk mencari uang seperti angkringan, mal, restoran, tempat pengisian bahan bakar, dan diskotik. Ada yang tutup pada tengah malam, saat fajar tiba, dan ada yang tidak tutup sama sekali.

Angin malam yang begitu kencang ditambah lagi gerakan mobil yang melewati cak Dul dan mas Piet membuat badan mereka menggigil. Mas Piet adalah yang paling apes, karena harus merasakan dinginnya suhu malam dan suhu 10 gelas es kopi susu darah sehingga sekujur badannya hampir mati rasa dibuatnya.

"Cak, apa masih jauh rumahnya? Aku sudah enggak tahan nih. Berat."

"Sabar mas. Setelah ini kita akan belok kiri melewati makam Sunan Drajad setelah itu…"

"Setelah itu apa cak?"

"Ku-kuburan Zombok, mas."

"Waduh cak, kok ya jam segini harus lewat kuburan sih? Duh aku takut banget cak. Ayo kita pulang saja, cak. Daripada nanti ada pocong lewat."

"Pulang pulang gundulmu kuwi! Kita sudah capek-capek buat kopi sampai aku kesakitan malah minta pulang. Terus mau kamu apakan kopi-kopi ini? Mau kamu minum semua ini?"

"Enggak mau lah, cak. Jijik."

Tiba-tiba cak Dul menghentikan laju sepeda motornya di dekat pertigaan sebuah toko serbaguna. Cak Dul terdiam sejenak sambil menundukkan kepalanya. Ia lalu memajukan tubuhnya ke depan bersandar pada tangki sepeda motor dan memangku kepalanya di atas tangannya. Mas Piet melongo dengan keadaan cak Dul yang mendadak berubah seperti orang akan kerasukan setan. Agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan, mas Piet menggoyang-goyangkan tubuh cak Dul. Ditampik tangannya dari depan.

"Ih apa sih. Ganggu orang saja."

"Kamu sedang apa sih, cak? Aku takut kamu nanti malah kesurupan kalau melamun terus,"

"AKU INI ENGGAK MELAMUN! Aku hanya melihat warung angkringan di depan itu. Aku mau tanya alamatnya mbak Sulastri. Apa aku tanya saja ke orang-orang disitu saja ya? Barangkali mereka tahu dengan dia. Kamu tunggu di motor dulu ya."

Cak Dul berjalan cepat menuju warung angkringan kecil yang hanya memiliki terpal untuk melindungi hujan, kursi panjang untuk tempat duduk para pelanggan, tikar bagi yang suka duduk lesehan, dan gerobak sebagai tempat bermacam-macam makanan seperti sate usus, sate kulit ayam, sate telur puyuh, sate usus ayam, sate sosis, dan sate ayam. Di sebelah gerobak berdiri sebuah arang pembakaran untuk membakar sate sebagai santapan makan malam. Untuk minuman hanya terdiri dari kopi hitam, susu hangat, dan wedang uwuh. Di angkringan itu cukup ramai pelanggan, ada 5 orang pria yang berusia rata-rata 30 hingga 50 tahun. Mereka berprofesi sebagai petani dan nelayan yang sedang nongkrong agar bisa kabur dari omelan istri atau sekadar mengisi perut untuk bersiap melaut dan mencari ikan. Dan satu orang pemuda berusia 25 tahun yang berdiri di belakang gerobak sambil mengaduk susu adalah pemilik angkringan. Para pelanggan biasa memanggilnya Udin.

"Permisi pak. Mohon maaf, saya mau bertanya rumahnya mbak Sulastri dimana ya?"

Suara canda dan tawa mendadak hening. Tetapi Udin dengan santainya masih mengaduk susu sambil menggoyangkan badan kurusnya ke kiri dan ke kanan sambil bersiul. Sesekali ia mengusap keringat di keningnya dengan handuk putih yang terkalung di lehernya. Bapak-bapak ini masih saja terdiam sambil menengok ke segala arah seperti orang linglung. Ada yang menyeruput kopi hitam dan ada yang menghisap rokok kretek seakan tak terjadi apa-apa. Cak Dul bagaikan orang asing yang datang dari jauh. Mungkin dari desa lain, kota lain atau negara lain. Udin mengangkat satu gelas susu hangat sambil melenggak lenggokan pinggulnya dan melemparkan senyum kepada satu pelanggan yang menghisap rokok. Setelah gelas ditaruh, Mulutnya menganga melihat sosok yang asing namun pernah ia temui sebelumnya. Pria berambut ikal dan panjang sebahu dengan kumis tebal di antara bibir dan hidung, berbadan tegap dan kekar mengenakan kaos bercelana jeans panjang. Ia terus menerus memandanginya sambil mencari memori masa lalunya.

"Dullah?"

"Loh loh loh? Udin? Duh Gusti kita akhirnya bertemu setelah sekian lama"

Cak Dul dan Udin berpelukan secara erat untuk melepaskan rindu selama bertahun-tahun tak berjumpa. Udin adalah kawan bermainnya saat masih duduk di sekolah dasar hingga menengah. Setiap fajar tiba mereka selalu bertemu di persawahan untuk menanam padi dan selalu bertemu di lapangan untuk bermain sepak bola sampai ibu mereka datang sambil membawa sapu karena melihat anaknya tak kunjung pulang saat malam akan tiba. Semenjak cak Dul merantau ke kota untuk menjadi kuli sampai mandor, Udin tak pernah bertemu dengannya sama sekali. Malam ini ia tak menyangka akan bertemu kawan lamanya.

"Dul, kamu sekarang kerja apa? Apakah kau sudah menikah, cah? Dan kamu ngapain malam-malam berkeliaran?"

"Aku masih belum menikah, Din. Sekarang aku membuka warung kopi di perbatasan Klayar dan Wotan untuk menyambung hidup. Aku mau tanya ke kamu, Din. Dimana rumah Sulastri?"

"Su, Sulastri katamu? Untuk apa kamu bertemu dengan dia?"

"Aku ingin mengantarkan kopi ke rumahnya. Dia memesan 10 es kopi susu dengan campuran darah. Memang orang gila dia itu. Tapi selama ia mau membayar akan aku layani".

"Dul, kamu harus hati-hati dengan Sulastri. Dia itu orang gila. Orang di desa sini sudah enggak mau mengurusnya karena dia adalah tumbal setan"

"Sudahlah. Aku enggak percaya sama hal begituan, yang jelas dimana rumahnya Sulastri?"

Udin bernafas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan. "Kamu lurus saja melewati wisata Sunan Drajad dan beberapa rumah hingga ada kuburan Zombok. Di depan pekuburan ada jalan setapak, kamu masuk saja dan temui satu rumah yang sudah tidak diurus."

"Oke. Terima kasih banyak, Din. Besok aku akan mampir ke angkringanmu". Cak Dul berjabat tangan dengan Udin kemudian lari meninggalkannya. Ia menaiki motornya dan menyalakannya kembali. Dikendarai motornya pelan-pelan melewati jalan Drajad yang tidak memiliki penerangan sama sekali. Hanya lampu motor yang menjadi penerangan satu-satunya untuk melewati jalanan sepi dan gelap. Jantung cak Dul berdetak kencang diiringi tangannya yang bergetar karena ketakutan. Mas Piet hanya diam dengan mulut terbuka sambil sesekali bersembunyi di pundak cak Dul.

Cak Dul menghentikan motornya lagi menengok ke kanan. Ia melihat sebuah gapura dengan dua bangunan seperti candi peninggalan kerajaan Majapahit. Di bagian bawah badannya terdapat gambar badan babi berkepala tikus dengan posisi membuka mulut seperti ingin makan atau ingin kawin. Di antara dua bangunan itu terdapat papan bertuliskan "KAWASAN WISATA RELIGI SUNAN DRAJAD". Di dalamnya cak Dul hanya melihat rumah-rumah kecil yang bercahaya remang-remang. Tepat perkataan si Udin, makam Zombok tidak jauh dari sini.

"Cak, kenapa sih kok berhenti lagi? Aku sudah ketakutan sekali. Pengen segera pulang, cak." Mas Piet mulai menutup wajahnya ke punggung cak Dul yang hanya diam seribu bahasa. Cak Dul mematung tak bergerak sama sekali. Ia mengumpulkan mental dan tenaga untuk bertemu Sulastri setelah ini. Perjalanan tinggal sedikit lagi namun waktu hampir menjelang tengah malam. Bulan purnama telah berada di atas ubun-ubun. Suara jangkrik dan hewan-hewan saling bersahutan satu sama lain.

"Mas, siapkan mentalmu. Jika kau terus begini, lebih kau pulang saja jalan kaki. Biar aku antarkan sendiri pesanan ini kepada pelanggan. Aku tak mau dipusingkan dengan sikap pengecutmu. Aku juga takut, tapi tak selebai dirimu. Aku hanya ingin bekerja dan mendapatkan uang. Dan pesanan ini adalah amanahku untuk pelanggan terhormat."

Cak Dul menyalakan motornya kembali lalu jalan melewati aspal yang tak dipenuhi lubang namun tiada cahaya menemani mereka. Cak Dul hanya menggantungkan pada cahaya rembulan dan lampu penerangan di sepeda motor. Di depan adalah kegelapan dan di belakang juga kegelapan. Ia terus menarik tuas gasnya tanpa berhenti agar pesanan ini bisa sampai di tangan pelanggan dengan baik. Gelas-gelas es kopi mulai mengembun dan es batu mulai menyusut.

Ia berhenti lagi di depan sebuah pemakaman. Gapuranya setinggi 2,5 meter berwarna hijau muda, batu-batu nisan berjajar rapi dengan ukiran nama seseorang yang telah terkubur di dalamnya. Pohon kamboja serta beringin berdiri gagah di tengah-tengah makam. Di pojok makam hanyalah sebuah bukit yang ditumbuhi rerumputan dan beberapa pohon pisang yang belum berbuah. Wangi melati terhirup oleh dua orang itu. Cak Dul dan mas Piet merasakan bulu kuduknya berdiri di sekujur lengannya.

"Disitu jalan menuju rumah Sulastri. Sebuah jalan setapak. Kita tuntun saja motornya agar tidak mengganggu warga sekitar". Cak Dul dan mas Piet turun dari motor lalu berjalan sambil menuntun perlahan-lahan. Mereka melewati jalan setapak yang hanya berupa tanah dengan rumput liar di tengahnya. Di kiri dan kanan hanya persawahan dengan air mengalir di bawahnya. Beruntung sekali mereka ditemani gemercik aliran sungai yang entah datang dari mana. Cak Dul menuntun motor RX King yang sudah tua itu. Pandangan matanya terus menengok kanan dan kiri sambil mencari rumah Sulastri. Mas Piet berjalan di belakang cak Dul dengan membawa senter dari gawai cak Dul untuk menerangi jalan yang sangat gelap. Langkah kaki mereka terus ke depan pantang mundur walaupun rasa haus telah mencekik. Jalan dan terus berjalan menghempas debu jalanan demi uang untuk esok hari.

"Nah itu dia, mas!". Cak Dul menemukan sebuah rumah yang tak cukup besar dengan dinding terbuat dari batu bata dilapisi cat berwarna putih kusam dan berlumut. Atapnya hanya berupa seng tanpa lubang udara, ia tak memiliki teras untuk menyambut tamu dan tak memiliki pagar rumah. Di samping rumah berdiri rumput-rumput liar menjulang tinggi dengan panjang 30 sentimeter. Pintunya terbuat dari kayu yang hanya bergagang besi berbentuk lingkaran di sisi kiri dan kanan. Rumah ini hanya memiliki dua jendela, namun satu jendel mulai turun ke bawah karena engselnya telah lepas. Tidak ada lampu di depan pintu yang bisa menerangi keadaan sekelilingnya. Namun jika ditengok dari luar jendela, cahaya kuning yang redup menyinari beberapa ruangan. Bisa jadi itu adalah lilin yang menyala atau lampu bohlam yang hanya berdaya 5 watt saja. Dari dalam terdengar tertawa perempuan cekikikan dengan nyanyian seperti lagu Nina Bobok. Suara gelas pecah juga turut mewarnai keriuhan dalam rumah yang angker itu.

"Permisi, kami mau mengantarkan pesanan". Suara cak Dul begitu lirih dan penuh kewaspadaan. Tangan kanannya mengetuk gagang pintu sebanyak 3 kali. Namun tidak ada jawaban dari dalam. Suara tertawa seorang wanita terus berirama dalam rumah itu. Lalu suara bisikan seperti mantera yang tidak dipahami oleh cak Dul dan mas Piet mulai memasuki telinga mereka. Cak Dul mulai kebingungan pada wanita yang ada dalam rumah tersebut, sedangkan mas Piet terus menggenggam bahu cak Dul sambil memegang wadah plastik yang berisi 10 gelas kopi susu.

Cak Dul semakin penasaran dan mendekatkan telinganya ke pintu. Ia masih mendengarkan suara teriakan wanita seperti kegirangan, namun suaranya berubah lagi seperti wanita yang kesakitan karena ditusuk-tusuk oleh pisau di sekujur tubuhnya. Cak Dul masih tak berani masuk ke dalam walaupun pintu terbuka sedikit. Jantungnya berdetak sangat keras, aliran darah mengalir ke kepala, keringat membasahi seluruh tubuhnya bagai orang mandi hujan, langkah kakinya seperti ada yang menahannya. Mereka sudah tak tahu lagi harus bagaimana karena waktu telah menunjukkan jam 12 malam sebagai pertanda tengah malam.

"Brak!" Pintu tiba-tiba dibanting dan menutup rapat-rapat. Cak Dul dan mas Piet berpelukan satu sama lain. Gagang pintu bergoyang-goyang padahal tidak ada siapapun yang menggerakkan, jendela terbuka lalu tertutup lagi secara cepat seperti dihempas angin puting beliung, dan rumah bergoyang seakan mau meledak. Namun tak bertahan lama. Pintu terbuka sedikit dengan bunyi "Krieett", sepasang mata berwarna merah berada di tengah kegelapan rumah, rambutnya panjang sampai menyentuh kaki, ia mengenakan gaun berwarna putih, wajahnya kurus dan pucat sama seperti kedua tangannya, ia lalu membuka mulutnya dan menunjukkan taring-taringnya bersiap untuk berteriak, "KALIAN TERLAMBAT! PERGI DARI SINI!". Wanita itu membentak cak Dul dan mas Piet sampai membuat mereka mau pingsan. Tangan cak Dul terus menggenggam erat badan mas Piet dan mas Piet juga melakukan demikian. Mereka mematung dan tak bisa kemana-mana lagi. Kemanakah jalan untuk lari?