Cak Dul, Mas Piet Dan Penghuni Warkop Pantura

🇮🇩Thoriq_Kemal
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 29.5k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Prolog

Cak Dul, begitulah panggilannya, seorang lelaki paruh baya berusia 35 tahun. Dulunya dia adalah bekas kuli musiman yang ngerjain proyek di kota-kota besar seperti Surabaya, Jakarta, dan Malang. Mulai dari proyek perumahan sampai pencakar langit biasa ia garap. Sejak SMA dia biasa bekerja sebagai kuli untuk tambahan jajan dan rokok. Dia mulai kecanduan merokok sejak itu, pernah ia ketahuan ayahnya merokok di dalam dapur namun tidak dimarahi asal dibeli dengan hasil kerja sendiri. Proyek cak Dul kalau lagi ramai, dalam sekali kerja cak Dul mampu meraup uang 10 juta rupiah.

Perawakannya tinggi tegap bak seorang anggota tentara, kedua tangannya kekar berurat, dada dan perutnya ia latih sehingga membentuk kotak-kotak seperti roti sobek, rambutnya keriting menjulur ke bawah dan wajahnya cukup tampan namun sedikit coklat karena terlalu sering terpapar matahari. Kalau proyek lagi sepi biasanya cak Dul nongkrong di warung kopi untuk bermain catur dengan pak RT atau tukang becak keliling. Seringkali ia memenangi catur, tapi lebih banyak kalahnya.

Karena terpesona dengan warung kopi, ia memutuskan untuk berhenti menjadi kuli bangunan. Cak Dul akhirnya mendirikan sebuah warung kopi sederhana bersama kawannya yang bernama mas Piet. Mas Piet adalah warga Lamongan asli yang cuma menamatkan pendidikannya sampai SMA. Dulu dia pernah berkuliah di salah satu kampus swasta Surabaya, namun karena penghasilan orang tuanya yang sehari-hari bekerja sebagai petani jagung membuatnya tak mampu lagu untuk melanjutkan kuliahnya. Pekerjaan serabutan mulai ditekuni mulai dari petani padi, jagung, dan cabai.

Warung kopi milik cak Dul berada di wilayah jalur Pantai Utara (Pantura) yang dekat dengan perbatasan Gresik-Lamongan. Dari sejarahnya, jalur Pantura merupakan jalan untuk menghindari Inggris menjajah Nusantara yang dikuasai Prancis yang saat itu dipimpin oleh Herman William Daendels. Sehingga jalan itu bernama Jalan Dandels, tapi orang lebih kenal dengan nama Pantura. Saat ini jalur Pantura digunakan sebagai jalur bisnis, karena sering dilewati kendaraan boks berukuran besar semacam truk untuk mengirim barang ke pabrik. Walau begitu, nuansa mistis masih melekat di jalur yang telah ada sejak abad 18. Konon, setiap malam jam 11 seringkali muncul penampakan di pinggir jalan berupa sosok petani yang mengenakan kaos oblong putih bercelana pendek tanpa kepala sambil menggendong cangkul berjalan kaki ke arah Lamongan. Kata penduduk sekitar, dia adalah arwah pekerja jalan yang dipenggal oleh rentenir karena tak mampu bekerja lagi. Jasadnya dibiarkan tak terkubur dan kepalanya dibungkus dalam karung lalu dibuang ke laut. Karena penasaran, arwahnya gentayangan dengan berjalan kaki untuk mencari kepalanya yang hilang.

Cak Dul dan mas Piet adalah orang yang enggak mudah percaya dengan hal-hal yang berbau mistik. Apalagi di zaman modern, setan sudah lenyap karena tak punya fasilitas berupa kebun dan pohon besar. Semuanya sudah dirubah menjadi gedung-gedung tinggi yang selalu ramai. Setan pun sudah pergi ke neraka dan enggak berani ke bumi untuk mengganggu manusia. Begitu pikir mereka. Daripada mikir begituan lebih baik mikir pekerjaan saja.

Mas Piet selalu tekun membantu cak Dul berjualan kopi dan aneka minuman lain seperti es jus, es teh dan es susu. Saat siang hari, supir truk sering mampir ke warung mereka untuk beristirahat dan minum kopi. Fasilitas catur dan kartu remi tersedia. Namun sayangnya tidak ada Wifi, sehingga setiap malam warung selalu sepi. Tak seperti warung-warung di desa yang sudah dipasang Wifi. Pasti banyak anak muda nongkrong disitu.

Setelah satu minggu bekerja, cak Dul berencana untuk merenovasi warungnya yang tak terlihat rapi dan memasang internet di warung agar banyak pemuda desa datang untuk membeli kopi. Apalagi kondisi terpal sudah berlubang, kursi warung sudah terkikis karena dimakan rayap, penerangan hanya mengandalkan lampu petromaks, rumput-rumput liar menjulur tinggi di sekeliling warung, dan gerobak yang sudah reot dan berkarat. Untuk urusan mistik, cak Dul benar-benar tidak merasakannya sama sekali.

Di suatu siang, cak Dul dan mas Piet sedang meminum kopi bersama di warung. Cuaca begitu panas berselimut asap dari truk dan bis yang melintas di jalan raya selebar 6 meter. Gemuruh dari roda yang begitu besar membuat jalan menjadi bergetar seperti gempa bumi. Sambil menyeruput kopi hitam, cak Dul menyenggol paha mas Piet.

"Mas Piet."

"Apa,cak?"

"Kamu enggak ada niat untuk memperbaiki warung ini? Pelanggan banyak yang mengeluh loh soal kenyamanan warung kita. Pas siang hari mereka agak susah buat dingin badan soalnya masih kena terik matahari gara-gara terpal warung bolong. Terus mereka terpaksa lesehan di rumput karena kursi sudah rapuh. Terus Wifi pun belum terpasang. Kan zaman sekarang orang-orang udah ada slogan "No Wifi, No Ngopi". Dimana ada warung kopi, wajib hukumnya ada wifi kenceng."

"Ya mau sih." Mas Piet mengambil botol berisi minumannya dan meminumnya sampai membasahi kaos oblongnya. Tubuhnya yang gemuk dan panas terbasahi juga oleh air minumnya. Ia tak hanya basah karena keringat, tapi karena air mineral botolan.

"Aku masih punya tabungan hasil kerja nguli dulu,mas. Mungkin bisa digunakan untuk merenovasi warung." Jawab cak Dul sambil menghisap dalam-dalam rokok kreteknya.

"Memang kamu ada uang berapa?"

"Cuma 20 juta,mas. Bagaimana? Apa cukup? Kalau masih kurang nanti aku gadaikan BPKB motorku deh."

"Wah, sudah banyak itu cak. Kira-kira kapan kita membenahi warung?"

"Secepatnya. Ini kan demi kepentingan bersama. Biar pengunjung betah lama-lama ngopi disini."

Akhirnya cak Dul dan mas Piet pergi ke toko bangunan yang letaknya cukup jauh dari warung tepatnya di desa Banyubang. Dengan mengendarai sepeda motor selama 30 menit sampailah mereka. Dibelilah beberapa perkakas seperti paku, palu, gergaji, linggis, beberapa seng, kabel, stopkontak, cat, kuas, dan lampu untuk renovasi warung kopi.

Setelah selesai, mereka berdua melanjutkan tujuan ke Lamongan kota untuk membeli dua kursi panjang yang berbahan aluminium serta terpal baru untuk melindungi dari panas matahari dan hujan. Serta gerobak baru khas angkringan Jogja. Dan tak lupa ia ke pusat Wifi untuk berlangganan internet agar warung menjadi ramai dan bisa sebagai tempat nongkrong, main game, ngerjakan tugas, atau untuk telponan sama pacar pas lagi LDR-an.

Barang-barang pun terbeli semua. Cak Dul mulai memasang terpal di atas warung dengan diikat memakai tali raffia di tiang sisi kanan dan kiri. Mas Piet mengecat gerobak barunya dan menuliskan nama warung "Warkop Pantura Pinggir Embong". Setelah itu, lampu dipasang dibawah terpal menggantung. Usai mengecat, mas Piet memotong rumput-rumput ilalang di sekeliling warung agar enggak terlihat angker. Sedangkan cak Dul menyiapkan parabola Wifi dan menyetelnya. Tugas demi tugas mereka selesaikan satu hari penuh.

Tak terasa malam pun tiba. Cak Dul dan mas Piet berhasil merenovasi ulang warung kopinya. Dua lampu putih terang dan satu lampu bohlam tergantung di bawah langit dengan disangga oleh tiang. Rumput ilalang yang menjulur dibabat hampis hingga tersisa tanah liat. Terpal yang bolong diganti dengan yang baru dan tak berlubang satupun. Kursi sepanjang satu meter berdiri gagah menggantikan kursi kayu tua itu. Dan gerobak baru khas angkringan Jogja menjadi penambah keindahan warung kopi jalur Pantura. Angin malam mulai menusuk badan mereka yang bermandikan keringat. Mas Piet duduk lesehan beralas tikar rotan bersama cak Dul yang terus menghisap rokok kreteknya dalam-dalam dan menghembuskan asap ke udara. Gemuruh truk tiada hentinya menjadi hiburan kedua orang bujang tua ini.

"Capek juga ya, cak. Capek banget seharian merenovasi warung kopi ini."

"Tidak masalah. Kan ini demi kemaslahatan bersama. Biar warungnya jadi ramai dan jadi idaman para supir. Syukur-syukur dapat pelanggan cewek cantik, ngopi disini terus kita goda. Hahaha."

"Bisa aja kamu, cak. Ingat umur! Nanti kerjanya enggak berkah loh. Eh tapi ya ide bagus, cak. Selama ini pelanggan saya kebanyakan supir-supir. Mata ini butuh dicuci biar semangat jualan."

"Yasudah mas, saya mau bikin kopi dulu. Kamu minta dibuatkan juga enggak?"

"Oh enggak apa-apa, cak. Yang pahit."

Cak Dul masuk warung untuk membuat kopi hitam panas agar bisa terjaga semalam suntuk. Sedangkan mas Piet menikmati pemandangan malam dengan dihiasi bintang-bintang yang melayang di langit hitam. Air laut sedang pasang dan ombak berulang kali menyapu pasir. Kepiting yang berjalan tiba-tiba harus ikut terseret ke dalam laut, jika beruntung ia bisa berlari kencang menghindari sapuan gelombang laut.

Malam itu jalanan mulai agak sepi karena sudah jam 12 malam. Cak Dul dan mas Piet masih terjaga dengan rokok kretek dan kopi hitamnya. Tiba-tiba jalanan menjadi berkabut, hanya beberapa mobil dan truk yang melintas, tak seramai waktu siang. Cak Dul merasakan gelagat kurang enak, bulu kuduknya mulai berdiri karena biasanya Lamongan enggak pernah berkabut. Aroma kabut seperti asap dan agak dingin.

"Mas, kok aku merasa ada yang aneh. Sejak kapan Lamongan berkabut?"

"Lah ya, cak. Aku ya agak aneh. Aku mau buat teh panas dulu." Mas Piet berdiri dan berjalan masuk ke warung untuk membuat teh panas. Diambillah gelas berukuran sedang dan satu sendok makan gula pasir. Dituangkanlah teko berisi teh ke dalam gelas. Sementara cak Dul masih duduk mengamati keadaan sekitar.

Tiba-tiba seorang pria berjalan menggendong cangkul di pundaknya. Kulitnya terlihat pucat. Ia hanya mengenakan kaos oblong, celana pendek, tak beralas kaki, dan bertopi jerami. Postur tubuhnya lebih pendek daripada cak Dul. Dalam pikiran cak Dul, untuk apa malam-malam orang icir jagung?

"Pak, mau kemana pak? Silakan mampir dulu."

Laki-laki itu terus berjalan melewati pandangan cak Dul.

"Pak, woi. Enggak mampir dulu buat ngopi? Kita ada promo loh."

Laki-laki itu tak bergeming sahutan cak Dul.

"WOI PAK! KAMU TULI APA?"

Akhirnya laki-laki itu menghentikan langkah kakinya. Terdiam sambil terus menggendong cangkul di pundaknya. Laki-laki itu mengangkat tangan dan mengacungkan jari telunjuk dari belakang. Cak Dul bingung apa maksudnya. Satu lahan sawah kah? Satu es teh kah? Atau minta satu kerbau jantan?

"Minta apa,pak? Kopi hitam kah?"

Laki-laki itu mengganti jari telunjuk dengan jari jempol sebagai pertanda "ya".

Cak Dul menghampiri mas Piet yang baru saja membuat secangkir kopi.

"Ada apa, cak? Kok teriak-teriak tadi?"

"ITU loh, ada bapak-bapak bawa cangkul. Sepertinya dia akan pulang setelah menanam jagung. Tadi aku tawarin buat mampir dulu tapi enggak jdiawab sama sekali, yasudah aku teriak. Daritadi diam aja."

"Terus dia mesen apa?"

"Kopi hitam satu."

"Yasudah, aku buatkan saja cak. Kamu temani saja bapak itu. kasihan, mungkin dia capek banget."

Cak Dul keluar menemui laki-laki itu sambil membawa rokok kretek, korek api, dan sebuah asbak. Laki-laki itu hanya duduk bersila sambil memegang cangkulnya, topi jerami menutupi bagian kepala seakan-akan dia menunduk. Cak Dul ikut duduk sambil mengambil sebatang rokok kemudian dimasukkan ke mulutnya. Korek api dinyalakan ke rokok itu. Dihisap dalam-dalam olehnya dan dihembuskan asap rokok ke udara.

"Silakan rokoknya,pak." Kata cak Dul sambil menyodorkan bungkus rokok kepada laki-laki itu.

Laki-laki itu hanya diam saja. Matanya tak menatap dua orang itu. Ia hanya diam dan duduk bersila sambil memegang cangkulnya. Posisi itu ia pertahankan tanpa bergerak sekalipun. Kulitnya pucat memutih.

"Cak, aku agak curiga sama orang ini. Kayaknya dia maling kebun deh."

"Jangan bercanda toh kamu. Perawakan seperti bapak ini pasti juragan sawah lah, mas."

"Tapi dia loh kok diam aja. Kamu sahut aja dia enggak menjawab. Coba sentil dia aja,cak"

"Aku coba goyangin aja deh."

Cak Dul memegang paha laki-laki itu dengan tangan kanannya. Terasa dingin kulit laki-lakit itu lalu digoyang pahanya sampai badannya juga ikut bergoyang. Kemudian topi jeraminya jatuh, dan.

"CAKKKKK, KEPALANYA HILANGGG"