Chereads / Cak Dul, Mas Piet Dan Penghuni Warkop Pantura / Chapter 6 - Episode 5 : Pemesan Misterius

Chapter 6 - Episode 5 : Pemesan Misterius

Seusai bertemu dengan Yuli, hati cak Dul berbunga-bunga setelah beberapa waktu tak pernah mengobrol. Semangat cak Dul begitu membara walaupun embun pagi masih menyelimuti kos-kosan kecil dan sederhana itu. Yuli adalah api dan cak Dul adalah kembang api yang apabila dinyalakan akan meledak di angkasa. Ia langsung membuka kaos putih yang menutup tubuhnya yang kekar dan langsung bergegas menuju kamar mandi. Gayung ia isi dengan air sampai penuh kemudian ia basahi seluruh tubuh mulai dari ujung rambut hingga telapak kaki. Setelah basah ia mengambil sabun batang yang ukurannya mulai menyusut karena sering dipakai untuk membersihkan daki dan kotoran di tubuhnya. Ia tak peduli dengan itu, ia gosokkan sabun ke seluruh tubuhnya sampai berbusa sambil menyanyikan lagu "Teluk Bayur".

Ia lalu mengambil lagi air di dalam bak mandi dan menyiram tubuhnya agar busa yang menempel luntur. Setelah itu ia keramas dengan sampo beraroma melati dan menggosok gigi. Di sela-sela mandi, suara ketukan pintu dengan tempo cepat mengganggu telinga cak Dul. Suara itu tak henti-hentinya berbunyi di pintu kamar mandi.

"WOI! APAAN SIH KOK GANGGU ORANG MANDI SAJA!" Teriak cak Dul hingga menggema.

"Cak, gantian dong. Sudah di pucuk nih. Aku enggak kuat menahannya." Ringkih mas Piet sambil memegang perutnya yang tambun.

"Hadeh, ya ya sebentar. Aku keringkan badan dulu."

"Ayo caaaaak udah enggak tahan ini. Aduh lama banget sih. Ayo dong cak."

"Kriet" Pintu terbuka perlahan dan cak Dul keluar dengan lilitan handuk di bawah pusarnya sedangkan mas Piet meluncur ke dalam dan menutup pintu kamar mandi rapat-rapat.

"Hadeh, mas Piet. Aneh-aneh saja tuh orang. Untung aku baik hati, kalau enggak bisa-bisa keluar di celana tuh. Hahaha."

Cak Dul masuk ke dalam kamar kemudian memakai kaos oblong berwarna putih dan celana jeans yang sudah sobek di bagian kedua lutunya. Pagi ini ia akan berjualan kopi lagi di seberang jalan Raya Pantura yang panas dan ramai dengan kendaraan bermotor seperti truck, bis antar kota, mobil dan sepeda motor. Memang berat baginya namun demi cuan agar bisa bertahan hidup, ia rela untuk berpanas-panasan.

"Ahhh leganya." Kata mas Piet dengan wajah riang gembira seperti baru saja dibelikan satu kotak permen coklat.

"Sudah keluar kau? Lama sekali kamu bersemedi di kamar mandi? Bak seorang filsuf saja kamu ini, mas. Memang kamu memikirkan apa kok betah berlama-lama di kamar mandi?"

"Ya mikir masa depan kedai kopi kita dong, cak. Masa aku mikirin si Yuli. Heheh."

"Hush ngawur aja kamu. Mau aku banting?"

"Eh jangan dong, cak. Aku kan cuma bercanda. Oh ya cak, hari ini kita akan berjualan lagi? Kowe yakin, cak?"

"Ya harus yakin, mas. Kalau kita enggak jualan, kita beli makan bagaimana dong? Masa kita hutang ke tetangga? Malu lah aku, mas. Lebih baik berjualan daripada bergaya selangit tapi uangnya hasil hutang sana-sini."

"Tapi kamu yakin bakalan aman-aman saja, cak? Aku agak trauma loh kalau harus menjaga malam di kedai. Nanti ada si cangkul lagi malah enggak bisa tidur setahun, cak."

Cak Dul tak mengindahkan perkataan mas Piet karena baginya itu hanyalah omong kosong belaka. Untuk apa menakuti hal-hal klenik yang tak masuk akal. Ia masih percaya kepada Tuhan bahwa dirinya pasti akan dilindungi. Walaupun ia juga takut apabila ada sosok pembawa cangkul tanpa kepala akan datang di kedainya pada tengah malam. Masih terlintas jelas dalam pikirannya sosok itu, kemana-mana selalu membawa cangkul dengan noda darah segar di ujungnya. Tubuhnya berlapis kaos oblong putih yang penuh sobekan dan bercelana pendek. Warna tubuhnya biru pucat seperti mayat yang tak dikubur selama berminggu-minggu dan selalu mengenakan topi jerami. Kehadirannya ditandai dengan kabut yang datang-datang secara tiba-tiba kemudian aroma bangkai menyengat dimana-mana. Cak Dul hanya berharap sosok itu tidak meneror kedainya lagi.

"Mas, tolong bawakan satu karung kopi yang dikasih Yuli kemarin ya. Dan jangan lupa memakai parfum biar pelanggan tambah nyaman saat dilayani denganmu. Masa ada cewek cantik dan berduit tapi langsung pergi gara-gara cium aroma badanmu seperti bunga Amorphophallus titanium." Kata cak Dul sambil memasukkan mesin penggiling kopi ke dalam kardus.

"Wah pasti bunga melati atau bunga mawar ya?"

"Bukan. TAPI BUNGA BANGKAI! Hahaha."

"Haa haa. Lucu sekali, cak. Yasudah kalau begitu aku enggak ikut bantu deh. Aku mau tidur saja."

"Hei, jangan ngambek dong. Aku kan cuma bercanda, mas. Kamu kan idaman wanita dan sahabat baikku. Bawa santai saja."

Cak Dul lalu mengeluarkan sepeda motor RX King dan menyalakannya dengan kakinya. Mula-mula ia menaikinya dahulu, kunci ditancapkan di antara setir motor, tangan kirinya menahan tuas kopling, tangan kanan memegang tuas gas, dan kaki kanannya ia gunakan untuk mendorong double starter. Ia dorong ke bawah double starter dan menarik tuas gas secara bersamaan. Pada percobaan pertama, ia gagal. Percobaan kedua masih saja gagal. Dan pada percobaan ketiga, sepeda motor masih belum juga menyala. Karena sudah kelelahan dan keringatnya membasahi wajah cak Dul, ia lalu duduk bersila. Nafasnya tersengal-sengal seperti baru saja berlari marathon.

"Aduh, mas. Capek kakiku. Sudah tiga kali tapi masih saja motorku ini enggak nyala. Perasaan kemarin aku sudah mengisi sehabis dari warung Panji Bukan Petualang, tapi kok enggak nyala juga nih motor. Cuaah. Piye iki mas? Kalau motorku enggak segera nyala bisa-bisa hari ini kita enggak jualan. Dan kalau enggak jualan, besok kita makan apa nih, mas? Duh Gusti berikanlah aku kesabaran."

"Duh lebay kamu, cak. Sini aku lihat. Oh pantas saja enggak menyala, lah kuncinya enggak kamu putar ke kanan." Dengan wajah merengut mas Piet memutar kunci ke kanan dan mendorong double starter sebanyak dua kali hingga akhirnya menyala. Bunyi mesin "Reng teng teng teng" dibarengi dengan asap membumbung ke udara yang keluar dari ujung knalpot. Cak Dul kemudian melanjutkan pekerjaan yaitu memasukkan bahan-bahan seperti biji kopi Robusta dan Arabika, mesin penggiling kopi, susu kental manis, gula merah, dan gula pasir putih ke dalam kardus berukuran besar.

"Sudah. Sementara kita membawa ini dulu. Dicicil dulu karena kita belum memiliki mobil. Baik mas Piet, kamu di belakang ya. Tolong dibawa kardusnya dan pastikan jangan sampai jatuh. Oke?"

"Iya cak, siap. Beban masa laluku yang suram saja bisa aku bawa apalagi hanya seonggok kardus yang ringan ini."

"Baiklah. Ayo kita berangkat. Bismillah."

Cak Dul dan mas Piet berangkat menuju warung kopi untuk berjualan. Pagi itu matahari sudah mulai memancarkan sinarnya yang cukup panas. Semilir angin mulai menghembus menabrak wajah cak Dul hingga membuat rambut panjangnya melayang. Para petani sudah mulai berjalan mengangkat cangkulnya ke perkebunan dan persawahan untuk menanam tanaman seperti singkong, jagung, padi, dan kubis. Sebagian ada yang hanya membawa celurit untuk memotong rumput sebagai makanan kambing ataupun sapi. Petani di Desa Lamongan sudah tak memusingkan kemana harus mencari aliran air, karena mereka memiliki tambak untuk mengairi persawahan. Mereka hanya takut apabila hujan tiba, karena khawatir tambak akan meluap menggenangi persawahan. Atau lebih parah jika sungai Bengawan Solo naik ke permukaan kemudian menghanyutkan sawah, kebun, bahkan rumah warga. Padahal, musim hujan adalah rezeki yang diberikan kepada Tuhan untuk seluruh makhluk di muka bumi agar tetap bertahan hidup. Namun tak semuanya bisa menjadi rezeki, ada beberapa yang bisa menjadi bencana.

"Mas, kira-kira nasib warung kita bagaimana ya? Apakah masih aman atau jangan-jangan ada yang mencuri barang-barang kita nih".

"Hush! Sembarangan sampean nih. Enggak akan dicuri lah, kan itu masih barang murah."

Cak Dul meneruskan perjalanannya tanpa mempedulikan apa yang akan terjadi. Dia membayangkan pasti warungnya aman dan tenteram. Meja, kursi, kompor, tabung gas, dan terpal pastilah aman dan tidak akan ada satupun yang menghilang. Sedangkan mas Piet masih diselimuti ketakutan yang mencekam, walaupun itu bukan barang miliknya namun ia adalah sumber penghasilan sehari-hari. Namun ia masih berusaha tegar sambil menahan kardus agar tidak terjatuh.

Motor mereka akhirnya menembus jalan Raya Pantura yang sudah ramai oleh mobil dan sepeda motor. Cak Dul harus berhati-hati agar tidak tertabrak mobil atau sepeda motor karena kecepatan sepeda motornya tak sepadan dengan mereka. Dan beberapa saat kemudian mereka sampai di kedai.

"Alamak. Mas Piet warung kita!!!" Cak Dul kaget melihat warungnya yang sudah tak rapi lagi. Kursi bertebaran dimana-mana, meja dalam keadaan terbalik, terpal terurai di tanah, dan tabung gas sudah hilang. Beruntungnya meja, kursi, gerobak dan kompor tak hilang. Cak Dul masih tidak percaya hal itu bisa terjadi karena semenjak berangkat ia sudah yakin warungnya pasti masih rapi. Badai masih belum terjadi di wilayah Pantura, kemarau masih menyelimuti di siang hari dan ketika malam tiba hanya pasang laut akibat sinar rembulan. Tidak mungkin sosok pembawa cangkul tanpa kepala yang memporak porandakan warung kopi kesayangan cak Dul. Dalam pikirannya hanya satu, pasti maling.

"Sumpah demi Tuhan! Kalau aku bertemu orang yang mengacak-acak warungku pasti tinggal nama tuh." Cak Dul mulai naik pitam, kedua tangannya mengepal seolah siap untuk meninju siapapun yang akan menghalangi. Kedua kakinya juga gatal ingin menendang seseorang, meskipun ia bukan preman desa yang disegani namun dari postur tubuh yang tegap dengan dada membidang dan kedua lengan berotot menandakan ia siap menjatuhkan lawan.

"Cak, sudah enggak perlu marah. Nanti kita selesaikan bersama, toh ya percuma kita belum tahu siapa yang melakukan ini. Ayo kita rapikan dulu ya,cak. Daripada sampean emosi lebih baik kita nyeduh kopi dulu. Atau akan aku telpon Yuli agar dia kesini membantu."

Cak Dul hanya terdiam saja dan duduk sambil memangku kedua tangannya. Semangat yang membara dalam dirinya kini sirna, mulutnya sudah tak mampu berbicara, air matanya ingin menetes namun sekuat tenaga ditahan agar tak melewati pipi, pikirannya sudah tidak karuan lagi. Ia biarkan tubuhnya tersengat sinar matahari yang sudah mulai naik ke ubun-ubun. Tak peduli lagi walaupun akan menghitam atau terbakar, ia hanya diam terpaku.

Mas Piet mengambil gawai di dalam sakunya kemudian menelpon Yuli. Ia tak ingin sahabatnya terus menerus larut dalam kesedihan. Barangkali Yuli akan menjadi pelipur lara untuk cak Dul dan menjadi embun penyejuk hatinya yang sedang sedih itu. Telepon pun berdering, mas Piet berdiri di atas rerumputan yang tak terawat dan liar. Keringat mulai turun membasahi pipinya serta mulut yang tak berhenti berkomat-kamit mengharap suara gadis manis itu memasuki gendang telinganya. Suara nada "tut tut tut" terus berbunyi namun tidak ada jawaban, sampai akhirnya mas Piet menyerah dan langsung berjalan menuju warung untuk merapikannya. Meja ia angkat sendiri di sebelah gerobak, kursi-kursi yang berserakan ia taruh kembali menjadi rapi seperti segorombolan tentara yang berbaris di medan perang. Barang-barang yang di dalam kardus dikeluarkannya seperti biji kopi, susu kental manis, satu bungkus plastik yang berisi 10 buah gula aren berbentuk setengah lingkaran, penggiling kopi dan gula pasir ia tata satu persatu. Cak Dul memandang sahabatnya yang bekerja dengan giat, walaupun perutnya belum terisi makanan namun semangat masih terus ada dalam badan yang penuh lemak. Ia pelan-pelan berdiri mengangkat tubuhnya dengan berat, tidak mau keadaan membuatnya menyerah begitu saja.

"Mas, ayo kita mulai hari baru yang lebih baik. Semoga warung kopi ini akan ramai dan membawa inspirasi bagi siapapun. Mau dia seorang pengusaha, kuli, tukang ojek pengkolan atau supir taksi, pengusaha atau pengangguran, semuanya disini sama. Kita pun sama, mas. Di hadapan pembeli kita adalah kawan. Tapi kita mesti ingat, kalau beli ya harus bayar."

"Hahaha. Isok wae sampean, cak. Gitu dong. Ini baru cak Dul yang aku kenal. Semangat dan penuh energik."

"Oh ya, mas. Biar cuan selalu datang, aku ada inovasi baru yaitu GoNgopi. Jadi kalau pelanggan ingin memesan kopi, tidak perlu datang kesini. Cukup pesan melalui Whatsapp saja. Praktis enggak tuh?"

"Wah boleh juga sih, cak. Lalu yang mengantarnya siapa? Kita masih belum memiliki tukang antar kopi loh."

"Kita nanti gantian saja, mas. Pokoknya kita atur saja nanti. Oh ya mas, aku mau mengambil tabung gas, air, gelas, es batu, sedotan, dan panci. Tolong kamu jaga warungnya dan bersihkan juga ya. Kalau ada pelanggan datang, kamu suruh tunggu dulu. Soalnya orang ganteng masih pergi sebentar."

"Iya, cak Dul. Hati-hati di jalan."

Cak Dul menghidupkan motornya lalu pergi meninggalkan mas Piet seorang diri. Tiba-tiba gawai miliknya berbunyi, tangannya langsung refleks mengambil gawai di dalam saku celananya. Ia tak melihat siapa yang menelpon dirinya di siang hari. Mungkin cak Dul yang lupa membawa uang untuk mengisi bensin atau Yuli yang sedang merindukan cak Dul sehingga ia menelpon mas Piet. Tapi tak mungkin seorang Yuli menelpon mas Piet karena sekadar iseng. Atau mungkin Gus Roy yang menelponnya karena ingin mengajaknya ngopi di kedainya.

"Halo". Katanya.

"Hhheeemmm. Hheeemm. Haa haa haaa."

"Halo ini siapa? Kok malah ham hem ham hem. Saya bukan herman, saya Piet."

"Hhheeemmmm. Hihihihihi." Suara yang terdengar seperti seorang wanita berumur 50 tahun, ringkikannya begitu nyaring dan bertempo cepat. Mas Piet hanya terdiam saja, memikirkan siapa sosok penelpon ini. Di layar gawainya tertulis "Nomor Pribadi" dan tidak ada satupun nomor yang tercantum. Suara itu berlanjut menjadi suara tertawa terbahak-bahak. Penelpon itu terus tertawa dan sesekali memberikan suara gelas pecah. Jantung mas Piet mulai berdebar-debar, keringatnya sudah membasahi bajunya, giginya mulai bergertak diikuti bulu kuduk yang satu persatu mulai berdiri. Lidahnya kaku tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun serta tempo nafasnya sudah mulai tak karuan. Lalu suara itu berganti menjadi desing suara dua pisau yang bertemu dan terus bergesekan hingga menjadi suara seperti daging di potong-potong menjadi beberapa bagian. Suara terikan seorang pria terdengar begitu kencang melewati gendang telinga mas Piet, hingga akhirnya ia tak tahan dengan suara-suara itu dan langsung mematikan telpon dari nomer yang tak dikenalnya.

Mas Piet terduduk lemas dengan nafas tersengal-sengal seperti dikejar gerombolan pembunuh yang siap menikamnya dari segala penjuru manapun. Kebingungan sedang menghantui pikirannya, apakah ada orang lain yang memiliki dendam pribadi kepada dirinya. Ia sejak kecil dididik untuk selalu berbuat baik kepada siapapun entah itu manusia, hewan, tumbuhan bahkan makhluk tak bernyawa pun disayangi olehnya. Ia masih ingin menggerakkan tubuhnya untuk membersihkan warung kopi yang harus siap beberapa saat lagi. Tak mau dibuat kecewa sahabatnya karena warung kopinya berantakan. Ia masih ketakutan dengan suara-suara yang barusan didengarnya, lidah masih terasa kaku, baju pun masih basah karena keringat.

Beberapa saat kemudian cak Dul datang dengan membawa peralatan membuat kopi yang disimpan di dalam karung. Ia memangku semua barang-barang itu di depan tubuhnya, bahkan tabung gas mampu dibawanya seorang diri.

"Loh loh mas. Kamu kenapa kok seperti orang habis kesurupan? Wajahmu itu loh pucat banget. Aku ambilkan air putih ya. Duh, kamu ini mau kerja kok malah sakit sih."

"Emm, a-anu cak. Aku ketakutan. Ta-tadi ada orang nelpon aku, dan disitu tulisannya nomor pribadi. Aku baru tahu saat dimatikan. Ya ampun aku takut sekali cak untuk mendengarnya. Rasanya sama seperti waktu didatangi setan tanpa kepala itu. Duhhh, aku enggak mau lagi mendengarnya. Aku takut cak, aku takut."

"Ya sudah kamu istirahat dulu. Kamu tenangkan dulu pikiranmu, untuk masalah pekerjaan biar aku tangani dahulu."

Cak Dul lalu mengambil gelas lalu mengambil air putih dari dalam galon dengan pompa air dan langsung memberikan kepada mas Piet. Dirapikan dan dibersihkanlah warung kopi cak Dul agar banyak pengunjung datang untuk menikmati kopi hangat atau es kopi susu gula aren agar badan menjadi segar Kembali untuk menghadapi hari yang melelahkan. Cak Dul mengangkat tabung elpiji berbentuk seperti semangka dengan berat 3 kilogram yang masih disimpan di dalam rumahnya sebagai cadangan lalu dipasangkan ke selang regulator. Setelah tertancap dengan cukup kuat, ia nyalakan kompor dan menaruh panci kemudian mengisinya dengan air. Sembari menunggu panas, cak Dul menyalakan mesin penggiling kopi dan memasukkan biji ke dalamnya. Biji-biji kopi itu tersedot ke bawah lalu berubah menjadi bubuk kopi halus yang harum. Air yang ia rebus sudah panas dan mengeluarkan uap yang membumbung ke udara. Cak Dul mengambil gelas, memasukkan 3 sendok makan kopi bubuk, 1 sendok makan gula pasir dan memasukkan air panas ke dalam gelas. Bubuk kopi larut berbaur dengan gula yang menghasilkan uap beraroma kopi robusta yang harum dan khas.

"Mas, ayo ngopi dulu." Kata cak Dul sambil mengaduk kopi. Mas Piet berusaha bangkit perlahan lalu berjalan mendekati cak Dul dan duduk manis seperti anak TK yang siap untuk menerima materi bermain dari gurunya.

***

Sore sudah tiba, matahari mulai membenamkan diri di arah barat sambil memamerkan sinarnya yang berwarna oranye. Burung-burung mulai berterbangan untuk pulang ke rumah. Petani mulai mengangkat cangkulnya untuk beranjak pulang dan nelayan mengangkat jangkar lalu menyalakan mesin diesel untuk pulang dengan membawa satu jaring ikan untuk dijadikan santapan malam. Arus gelombang pantai perlahan naik naik ke permukaan diiringi angin yang terus berhembus kencang, anak-anak mulai keluar bertebaran kemana-mana. Ada yang pergi ke lapangan untuk bermain sepak bola atau pergi ke pantai untuk menerbangkan layang-layang. Warung kopi milik cak Dul dan mas Piet tidak terlalu ramai, hanya 2-3 orang saja yang itupun hanya memesan kopi paling murah agar bisa dapat wifi gratis di warungnya. Bagi cak Dul itu bukan masalah, yang penting uang masih memenuhi isi dompet kosong seperti songkok. Ia juga butuh uang agar bisa membeli makan dan kulakan kopi ke Yuli. Syukur-syukur jika nanti terkumpul banyak bisa segera melamar Yuli.

Tiba-tiba saku celana cak Dul bergetar hingga seluruh kakinya ikut bergetar, tangannya langsung merogoh gawainya di saku yang begitu sempit. Di layer tersebut muncul nomor "081587666", ia curiga dengan nomor takut terjadi hal yang tak diinginkan. Ia abaikan panggilan telepon itu. Namun gawainya terus berbunyi tanpa henti walaupun ditolak berkali-kali hingga cak Dul kesal dan mengangkat telepon tersebut.

"Halo selamat malam. Warung kopi Pantura siap melayani dan mengantarkan pesanan kopi anda. Ada yang bisa saya bantu kak?" Wajah kesal cak Dul mendadak berubah menjadi sumringah demi menjaga karakter sebagai penjual yang ramah.

"Selamat malam, pak. Saya mau pesan kopi. Kirim ke alamat bu Sulastri di Jalan Zombok. Terima kasih." Kata seorang dalam telepon itu dan telepon ditutup begitu saja tanpa ucapan salam penutup.

"Lah kok malah mati. Terus bu Sulastri siapa lagi coba? Dan ini jalan Zombok tuh gang berapa nomer berapa kek. Halah pelanggan pertama kok enggak jelas gini cah cah. "

Mas Piet kemudian datang menghampiri cak Dul dengan membawa secangkir kopi susu panas. "Ada apa toh cak kok bingung gitu?"

"Ada pelanggan yang pesan kopi. Tapi enggak tahu dia mau pesan berapa kopi, dia hanya memberikan nama dan alamat saja."

"Yasudah coba ditelpon lagi, cak. Barangkali dia lagi buru-buru."

Cak Dul menelpon lagi si pemesan itu namun nomer tersebut dinyatakan tidak aktif. "Waduh mas, gimana ini kok nomernya malah enggak aktif". Lalu gawai cak Dul berdering lagi, ia ditelpon oleh nomer yang sama. Ia mengangkatnya namun tidak ada jawaban. Cak Dul dan mas Piet bingung harus bagaimana karena khawatir mereka berdua akan diteror berupa pembunuhan. Mereka berusaha tenang dan tidak panik agar tidak ada yang curiga terutama pelanggan warung. Tiba-tiba sebuah pesan masuk dan tertulis, "PESAN KOPI SUSU GULA DARAH 10 GELAS."