"Mas, mas bangun. Sudah siang. Ya Allah kok sek durung tangi toh cah cah." Kata seorang ibu-ibu yang berusia 40 tahun. Dia hanya memakai daster dan kerudung lebar. Tangannya tertup sarung tangan dan tak memakai alas kaki sehingga membuat kakinya menghitam karena terik matahari. Dia terus menggerakkan tubuh dua bujang ini dengan tangan kasarnya yang sudah mengeluarkan urat di punggung tangannya.
"Astaghfirullah!" Kata cak Dul.
"Mas, mas. Mas Piet. Ayo bangun! Sudah siang ini."
"Loh cak Dul?"
"Loh! Mak Tun?!"
"Kalian berdua ini kenapa toh? Kok koyok cah mari mendem. Gek mari awor nang ndi? Wajahnya sampai pucat semua ini. Tuh mas Piet pisan kok pucat?"
Sambil menarik nafas dalam-dalam, cak Dul mulai menjelaskan.
"Jadi gini, mak. Tadi malam tuh ada orang, seperti bapak-bapak gitu. Perawakannya pendek, kaosnya agak kusam, bercelana pendek, jalan enggak pake alas kaki, sambil nenteng cangkul."
"Terus wajahnya seperti apa,cak?"
"Lah kan tadi mas Piet ada di dalam toh, mak. Aku di depan sambil lesehan. Saya panggil sampai 3 kali hampir enggak nggubris sama sekali. Panggilan pertama saya ajak secara halus. Pak, monggo ngopi dulu. Malah diterusin jalannya, cah. Panggilan kedua saya agak kerasin suara saya. Malah enggak direken. Dan yang ketiga saya teriakin, mak. Akhirnya dia berhenti jalan. Tangannya ngacungin jari telunjuk awalnya. Lah aku bingung maksudnya apa. Saya coba tanya apa mau kopi? Dia mengubah jarinya jadi jempol, saya yakin pasti dia mau kopi lah. Lah malam-malam bertani pasti harus minum kopi biar tidak mengantuk. Singkat cerita, aku goyanging badannya terus topinya jatuh. Kepalanya enggak ada! Yasudah akhirnya kita berdua pingsan."
"Cuaaahhh, ada-ada saja kalian itu. Lah itu cangkul punyanya siapa?"
Mak Tun menunjuk sebuah cangkul yang tergeletak di sebelah motor RX King milik cak Dul. Gagang kayunya penuh garisan darah, bagian bawahnya tidak ada bekas tanah pun. Yang ada hanyalah darah. Mas Piet yang sedari tadi hanya diam termenung, berjalan mendekati cangkul yang berdarah itu. Dipegang gagangnya, namun mas Piet tak merasakan lengket di cangkul itu. Mengering sudah. Namun mengapa gagang cangkul itu berdarah? Sedangkan tidak ada darah di di bagian bawahnya? Pikir mas Piet. Dia pun mengangkat dan memindahkan di pojok warung.
"Sudah, enggak usah dipikir, cak. Ayo kita siap-siap buka warung. Ingat pesan emak, uang enggak bisa berjalan sendiri. Ia harus dicari dan didatangi."
"Mirip jelangkung saja." Tandas mak Tun. Mereka bertiga tertawa geli.
"Yasudah kalau gitu. Aku berangkat memanen salmon sek."
"Salmon itu apa mak?"
"Halah, kamu orang Lamongan kok enggak tahu salmon. Itu loh timun emas. Dalamnya seperti melon tapi warna oranye. Segar. Yasudah, assalamu'alaikum."
"WA'ALAIKUMSALAM!!" Sahut cak Dul dan Mas Piet bersamaan.
Mak Tun mulai berdiri dan berjalan meninggalkan dua orang bujang itu. pelan-pelan menembus sinar mentari pagi, beriringan dengan kendaraan yang berlalu-lalang di jalan Pantura Daendels dengan suara mesin yang bersahutan. Sesekali ia harus menahan badannya yang sudah mulai menua dari goncangan aspal apabila ada truk yang melintas di samping kanan.
Cak Dul dan mas Piet mulai bersiap-siap untuk membuka warung kopi. Cak Dul mulai membersihkan meja dengan cairan pembersih kaca dengan kanebo kering. Disemprotlah ke meja lalu diusap secara memutar sampai debu-debu hilang. Mas Piet menggelar tikar untuk menutup tanah agar pengunjung warkop bisa lesehan sambil menyeruput kopi. Setelah selesai, cak Dul mulai mengambil jaket dan helmnya untuk pergi ke kosnya.
"Mas, aku mau ke kos dulu ya. Badanku udah bau dan lengket semua. Rambutku ya sama, kayaknya udah ada kutu yang mau kawin."
"Yasudah sana. Hati-hati di jalan. Bensinnya ada apa enggak?"
"Masih dong. Masih penuh tangkinya. Yasudah, assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam".
Cak Dul mengeluarkan kunci motor dari sakunya dan memasukan ke lubang kunci lalu memutarnya ke kanan. Kaki kanannya menginjak tuas lalu mendorongnya ke bawah dan tangan kanannya menarik tuas gas. Ia ulangi sebanyak dua kali secara bersamaan hingga knalpot motornya berbunyi "reng teng teng teng! Reng teng teng teng". Tangan kirinya menarik kopling dan kaki kirinya menginjak persnelingnya ke depan. Ditariklah tuas gas sambil menahan kopling motornya. Cak Dul berjalan menghantam aspal jalan pantura yang masih hangat karena terik mentari pagi. Rumput-rumput di sisi kiri masih basah terkena embun. Lautan di sisi kanan bergelombang dengan tenang dan saling beriringan. Namun pikiran cak Dul masih amburadul karena kejadian semalam. Ia tak menyangka akan mengalami kejadian mengerikan ketika berjaga di warung kopi yang baru saja ia tekuni. Seorang pengunjung "gelap" datang tanpa kepala datang di jam ketika orang-orang pada terlelap dalam mimpinya.
Sesampai di kos, ia membuka pintu dan langsung menuju kamar mandi. Pagi itu tidak ada warga kos yang mengantri untuk mandi, biasanya sehabis Shubuh kamar mandi sudah terkunci dari dalam diikuti antrian yang mengular. Tiba-tiba gawainya berdering di kantong celananya, sontak ia ambil dan terima panggilan itu.
"Halo, mas Piet. Ada apa?"
"Cak, segera ke warung. Pelanggan sudah ramai berdatangan."
"Lah baru saja mau mandi, mas. Yasudah, sebentar. Tunggu 10 menit."
"cepat dong, cak."
Cak Dul mematikan gawainya dan langung masuk ke kamar mandi. Sambil mandi, cak Dul membayang seorang gadis cantik anak pak lurah bernama Yuli. Dulu waktu SMA dia pernah dekat dengan Yuli. Gadis manis yang selalu berkerudung merah jambu, wajahnya putih walaupun tanpa polesan make up, bibirnya bergincu merah, dan tatapannya selalu menggoda. Namun sayang, pak lurah tidak merestui cak Dul karena waktu itu Yuli masih SMP sehingga harus kandas sementara. Saat ini Yuli masih belum menikah. Banyak lelaki datang untuk melamarnya mulai dari tetangga, orang antar desa sampai antar pulau. Mulai dari anak juragan ayam sampai anak bupati datang ke rumah Yuli. Namun tak satupun lelaki yang pantas untuk menemaninya seumur hidup.
"Ohh Yuli, gadis pujaanku. Abang sudah kangen sama kamu. Berapa tahun sudah kita tak berjumpa. Pasti parasmu semakin cantik binti jelita. Melati saja sampai kalah wangi dengan aroma nafasmu. Uhhhh." Gumam cak Dul.
Tiba-tiba pintu kamar mandi digedor dengan keras.
"Woi! Siapa di dalam! Mandi kok lama sekali!"
"Sebentar. Habis ini selesai, om."
Cak Dul segera melumuri badannya dengan sabun batang dan menyiramnya dengan air. Kemudian keramas dengan sampo lalu menyikat giginya, terakhir ia siram tiga kali ke sekujur bajunya. Cak Dul mengambil baju yang tergantung di paku dan memakainya dan tak lupa celananya. Satu lagi, ia mengikat rambut gondrongnya yang masih setengah basah dengan karet. "Brak!"
"Eh cak Dul. Mohon maaf cak, hehe."
"Ku banting kau lama-lama! Dah sana masuk."
Cak Dul masuk ke kamar dan mengunci pintunya dari dalam. Namun ada keganjilan yang menyelimutinya. Suasana kamar berubah remang-remang. Di telinganya masih terdengar suara langkah pelan tanpa alas kaki. "Tap, tap, tap" secara perlahan. Suara cangkul yang bergesek di jalanan terngiang-ngiang di kepalanya. Ia menutupi kedua telinganya namun suara itu masih saja terdengar. Suara pintu mulai diketuk perlahan-lahan, "Tok, tok, tok." Terus terketuk tanpa henti. Cak Dul tak mampu melangkahkan kakinya karena keringat dingin sudah membasahi wajah dan badannya yang baru saja ia bersihkan. Suara itu tak henti-hentinya menghantui telinganya. Jantungnya berdebar sangat keras, kaki dan tangannya gemetaran, bulu kuduk di tangannya sudah berdiri satu persatu. Mulutnya hanya komat-kamit sembari membaca qulhu sebanyak-banyaknya. Suara ketukan pintu semakin keras dan semakin keras. Cak Dul rasanya ingin pingsan, tapi kalau pingsan dia nggak bakal dapat uang jajan bulanan.
"Ya ya sebentar. Enggak sabaran banget jadi orang."
"Loh, Yuli?"
"Iya, cak. Ini aku Yuli"
"Lah kok kamu bisa masuk kesini?"
"Ya mau gimana lagi, tadi sampean aku teriyaki enggak nongol-nongol. Yasudah aku terpaksa masuk ke kos sampean. Nih, buah salmon titipannya mak Tun." Yuli menyodorkan sebuah kresek yang berisi buah salmon berwarna kuning yang ukurannya persis seperti melon yang baru dipetik dari kebunnya.
"Eh, terima kasih loh, dek. Maaf ngerepotin."
"Yowis, cak. Aku muleh sek. Sampean ngapain kok keringetan? Kayak dikejar setan aja."
"Engg, enggak apa-apa kok, dek. Yowis, aku juga mau siap-siap njaga warung."
"Eh, dengar-dengar sampean kerja sama mas Piet ya? Aku titip salam ya."
Cak Dul hanya menganggukkan kepalanya, ditutuplah pintu kos kemudian dikunci rapat-rapat. Lalu ia memakai helm dan jaketnya agar enggak kepanasan. Sepeda motor RX King kembali dikendarai untuk kembali ke warung kopi guna membantu mas Piet yang sudah kewalahan melayani pelanggan dari kalangan supir truk hingga ojek pengkolan. Namun dalam pikiran cak Dul, mengapa kakek itu masih menerornya? Atau itu hanya bayangannya saja? Apakah nanti malam ia akan datang dengan terror yang baru?
Bagi cak Dul hal itu hanyalah khayalan belaka. Bisa saja itu anak kecil yang sedang memakai kostum sehingga terlihat seperti hantu jadi-jadian. "Krit". Sepeda motor RX King mengerem mendadak di depan warung kopi mas Piet. Banyak kaum adam duduk-duduk disitu. Beberapa ada yang duduk lesehan beralaskan tikar, ada juga yang duduk di kursi panjang. Di pojok warung ada 6 bapak-bapak. Dua orang bermain catur dan 4 orang berada di sekeliling pemain sebagai pemberi semangat atau sebagai pemberi saran yang sok tahu.
"Kok siang sekali, cak?" Kata mas Piet sembari mengaduk gelas yang berisi 8 kopi hitam panas.
"Ya mas, mohon maaf tadi Yuli mampir ke kos"
"Oh Yuli anak pak lurah itu? Masih mau aja dia datang menemuimu."
"Ya enggak tahu. Kangen mungkin. Heheh. Mak Tun tadi habis panen buah salmon. Lumayan mas, besar sekali."
"Yasudah. Tolong antarkan kopi ini ke meja nomor 9."
"Siap, boss!"
Dengan membawa nampan, cak Dul menaruh 5 cangkir kopi panas sekaligus. Walaupun sudah berkepala 3, tubuhnya masih tegap nan cekatan mengantarkan kopi-kopi itu ke meja. Saat menghidangkan pun cak Dul begitu "njowoni", tangannya yang kekar berubah menjadi lembut serta tutur katanya halus. "Monggo,mas". Itulah kata-kata cak Dul saat menaruh gelas demi gelas di setiap meja. Pengunjung menjadi betah dengan perlakuan istimewa darinya karena seolah-olah warung kopi kaki lima terasa bintang lima. Ditambah Wifi yang kencang dengan kecepatan 100 Mbps dan alunan lagu dangdut koplo ala New Palapa dilantunkan keras sebagai hiburan pengunjung warung. Semakin siang pengunjung mulai berdatangan ramai-ramai untuk ngopi di warung Mas Piet sampai-sampai halaman parkir motor ramai dan sesak. Untungnya, mas Piet menerapkan aturan bagi truk yang mampir maksimal 7 karena dikhawatirkan menimbulkan kemacetan jalan raya Pantura.
###
Malam pun tiba dengan bulan purnama dan bintang-bintang di atas langit. Cuaca cerah dengan angin semilir yang menusuk tulang. Pengunjung warkop mulai sepi dan hanya sedikit yang masih bertahan hingga sore. Mereka yang masih bertahan adalah pengangguran atau tukang ojek pengkolan yang sudah tidak ada lagi pelanggan. Maklum, saat ini sedang tidak liburan sehingga orderan menjadi sepi. Jika musim libur tiba, banyak pendatang atau pemudik yang beramai-beramai memenuhi terminal Paciran untuk pulang kampung atau sekadar berwisata di Wisata Bahari Lamongan. Lautnya yang masih jernih menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Kesempatan padatnya pendatang dimanfaatkan oleh tukang ojek untuk menaikkan tarif angkutnya. Hari-hari biasa, semisal dari terminal Paciran menuju Solokuro 20 ribu, supir akan menaikkannya menjadi 75 ribu rupiah.
Namun saat ini orderan hanya sedikit. Seorang tukang ojek bernama mas Randi yang juga pengunjung warung kopi mas Piet setiap malam selalu nongkrong di warung kopi sambil bermain games 8 Billiard Pool di gawainya. Kadang kalau sudah bosan, ia akan mengajak mas Piet untuk bermain catur di pojok warung sambil lesehan. Secangkir kopi hitam Robusta panas sambil ditemani rokok kretek menjadi camilan saat bermain. Malam itu mas Randi dan Mas Piet memainkan catur. Mas Randi menggunakan lakon warna hitam sedangkan mas Piet menggunakan lakon berwarna hitam. Setelah disusun rapi, dua bapak-bapak itu mulai menggerakkan pasukannya sambil mengatur strategi.
"Ah, hari ini orderan sepi banget. Orang-orang enggak ada yang pergi liburan ke Lamongan. Padahal Lamongan itu enak loh, cah. Gadisnya cantik-cantik seperti bidadari. Yang enggak cari cewek anak Lamongan itu sungguh merugi". Kata mas Piet sambil memajukan dua langkah pionnya ke depan.
"Ya sabar saja. Kan sekarang belum musim liburan jadi maklum saja kalau pendatang masih sepi." Mas Piet memajukan satu langkah pion ke depan.
"Tapi ngomong-ngomong mas, itu cangkul buat apa mas? Kamu mau menanam jagung toh?"
Mas Piet hanya terdiam sambil fokus memandangi papan catur. Ia bergantian menggerakkan lakonnya agar bisa skak mat. Perasaan mas Piet sudah enggak enak, jantungnya berdebar-debar, keringatnya bercucuran, bibirnya gemetaran dan lidahnya kaku. Gerakan tangannya mulai berubah yang awalnya santai menjadi bergetar.
"Atau kamu didatangi mbah cangkul tanpa ndas? Soalnya aku amati kok besinya ada bekas darah, mas."
"Betul, mas. Kemarin kita didatangi, esok paginya cangkulnya tergeletak di samping warung, bang."
"Waduh, kamu harus hati-hati mas. Yasudah, aku pamit dulu mas."
Mas Randi langsung menghabiskan sisa kopinya kemudian merogoh saku celananya dan mengambil uang lima ribu rupiah untuk dibayarkan ke mas Piet. Dinyalakan motor Astrea dan digaslah motornya secara cepat.
Beberapa jam kemudian, warung sudah sepi dan tidak ada satupun pengunjung yang ngopi. Musik dangdut koplo dimatikan agar tidak mengganggu orang-orang pedesaan. Tiba-tiba langit mulai mendung dengan menggendangkan petir di dalam awan. Mas Piet mengajak cak Dul untuk melipat tikar dan menambah terpal agar warung tidak kebocoran air hujan.
"Tumben hari ini akan turun hujan ya cak. Padahal masih bulan April loh. Biasanya kan hujan itu di bulan November, persis seperti ramalan Axl Rose. In the cold November rain. Wasekkkk."
"Ah bisa saja kamu, mas. Tapi ya memang benar sih, harusnya bulan ini enggak bakal hujan. Tapi kok firasatku sudah enggak enak ya,mas. Aku merasa kok hawanya agak panas-panas gimana gitu."
"Lah ngawur kamu! Sudah tahu bakal hujan kok masih merasakan panas."
"Serius ini. Aku sudah merasakan hawa-hawa panas,mas. Eh tunggu tunggu. Kamu dengar sesuatu enggak? Kayak ada orang lagi mencabuti rumput."
Cak Dul menangkap suara arit yang menebas rerumputan dan batang pohon. Diiringi suara batang jatuh dari atas. "Brak!". Hujan mulai turun rintik-rintik, jalan raya Pantura sepi dari kendaraan. Suara arit yang mengais rerumputan masih terdengar jelas di telinga cak Dul. Angin hujan mulai menghembus terpal warung. Suara langkah kaki mulai mendekat ke arah mereka berdua. "Tap, tap, tap". Detak jantung dua lelaki ini mulai berdegup kencang, namun suara langkah kaki terus mendekat ke arah mereka. Dan semakin mendekat, semakin mendekat. Tiba-tiba suara langkah kaki mendadak senyap.
"Sreeettttttttttt. Hmmmpp Hmmmppp."
Leher mas Piet dirangkul oleh tangan dingin dan diseret secara paksa oleh sosok mayat hidup tanpa kepala. Tangannya yang dingin dan kekar menarik lehernya hingga mas Piet kesulitan bernapas. Pita suaranya tertahan sehingga ia tak mampu berteriak. Sosok itu terus menarik ke dalam hutan yang penuh pepohonan nan gelap. Tubuh mas Piet yang tambun tak mampu menahan tarikan tangan sosok itu. Pandangannya bergerak mundur dari terang menjadi gelap. Ia pasrah ketika ditarik oleh tangan dingin laksana es batu.
"MAS PIEEEETTTT!!!!"
Cak Dul berlari mengejar mas Piet yang diseret oleh ndas buntung itu. Aroma busuk menusuk hidungnya, leher sosok itu penuh darah mengalir sampai mengkotori bajunya yang kusam. Malam begitu mencekam dengan diwarnai langit yang mendung dan hujan turun begitu deras. Mas Piet berusaha melepaskan cengkraman tangan dingin endas buntung itu karena tak tahan dengan aroma busuk yang menyerbak kemana-mana. Darah yang keluar dari lehernya yang tanpa kepala mulai mengalir mengikuti arus hujan. Bau amis darah menambah derita mas Piet. Tangan mas Piet berusaha menarik cengkeramannya. Dengan sekuat tenaga ia terus menarik dan menarik. Ia mulai berpikir bagaimana tangan dinginnya bisa lepas. Dan akhirnya ia menarik kaki kiri endas buntung itu sehingga ia tersungkur di tanah. Hujan membasahi jasad mayat hidup itu.
"Mas Piiieet! Mas Piiieet! Kamu enggak apa-apa kan?" Kata cak Dul dengan nafas ngos-ngosan.
"Ahhh, Alhamdulillah aku baik-baik saja cak. Ya Allah sampai tidak bisa bernafas aku, cak. Baunya busuk sekali. Dingin sekali tangannya seperti orang mati. Duh."
"Mas, kok dia hilang?"
"Waduh! Lah tadi dia tidur disini loh cak."
"Sudah sudah/ Ayo kita kembali ke warung lalu siap-siap pulang ke kos, mas. Aku sudah enggak mau seperti kemarin. Ayo segera!"
Mereka berdua berjalan cepat meninggalkan mimpi buruk yang baru saja dialami. Baru saja mereka mengambil tiga langkah, kaki mereka ditarik dari belakang. Tubuh cak Dul dan mas Piet tersungku ke tanah. Mereka ditarik dengan kencang dan diseret ke belakang.
"AHHHHH TOLOOONGGGG! TOLOOONGGGG" Teriak mereka berdua.
Kedua jari mereka berusaha menahan tanah, rerumputan, dan batu kerikil agar tidak terseret jauh ke dalam hutan belantara yang gelap.
"CAKKK LAKUKAN SESUATU!!!!"
"ENGGAK BISA,MAAASSSS"
"YASUDAH AYO KITA BACA FATEKHAH CAKKKK"
"YOOKKK"
"A'UUUUDZZZUBILLAAAHHIMINASSSSYYAIIITOOONIIRRROOOJIIIMMM"
Tarikan itu berhenti. Terhenti dan terhenti. Hujan mulai reda dan tiada angin maupun petir yang menyertai. Mereka mendadak seperti dijemput maut tanpa persiapan amal. Tangan mereka gemetaran karena begitu takut dengan kejadian malam itu. Tubuh mereka sukar untuk digerakkan seperti darah mulai berhenti mengalir di aliran syaraf. Dengan perlahan-lahan mereka berusaha bangkit dari apa yang baru saja dialami.
"Mas, jangan sampai pengunjung warkop ngerti kalau warung kita bakal angker.
"Enggeh cak. Tapi, aku suka sama tantangan ini cak."
"Kita baru saja memulai, mas. Kita baru saja melayani kunjungan dari penghuni asli warkop ini."