Chapter 5 - Episode 4 : Yuli

Cak Dul dan Mas Piet tertunduk lesu setelah pulang dari warung Panji Bukan Petualang. Harapan yang selama ini didambakan hanyalah omong kosong. Kekecewaan menyelimuti hati mereka berdua. Selama ini, orang yang dianggap sakti oleh Cak Dul hanyalah bahan candaan yang cukup garing. Selama seharian, hanyalah bualan bagai keledai mengikik. Ah yasudahlah, biarkan saja orang tua bangka itu. Mungkin ia sudah lama tak berkumpul dengan anak muda. Bercengkerama dengan langit atau hanya menghabiskan untuk bermain game layaknya anak kecil.

"Mas, hari ini temani aku ya. Tidur di kosku saja. Aku lagi butuh teman. Enggak apa-apa kan?"

"Enggak masalah sih,Cak. Aku ya juga sudah lelah banget. Untuk apa kita menghabiskan waktu hanya diam-diam atau menghabiskan kopi di warung Gus Roy? Tahu gitu aku tidur saja lah atau menjaga warung kopi. Lumayan dapat uang. Daripada hanya sekadar ngopi dengan orang itu. Sia-sia,Cak."

Berada dalam ruang tidur yang hanya seluas 10x15 meter yang berisikan kasur tanpa dipan, sebuah kipas angin yang menempel di dinding, sebuah lemari kecil dengan tinggi 1 meter dan lebar 30 cm yang berisikan 10 buah kaos partai, 3 celana panjang, 2 celana pendek, dan 5 pakaian dalam. Di sebelahnya terdapat satu karung berisi beras, 1 kardus mie instan dengan isi 40 bungkus, dan sebotol minyak goreng sebanyak 1 liter.

"Mas, aku kok tiba-tiba kangen dengan seseorang ya?" Kata Cak Dul.

"Cuuah. Ngeri ngeri! Rindu siapa mas? Rindu Mak Tun ya? Hahaha"

"Hush. Ngawur kamu. Ya enggak gitu, cah. Aku tuh rindu sama Yuli. Ya ampun, gadis cantik yang parasnya mempesona itu loh mas. Membuatku susah tidur. Tapi sayangnya aku sadar diri dan sadar wajah. Dia enggak pantas untukku. Apalagi dia kan adiknya Gus Roy. Mana ada restu darinya?"

"Kamu belum coba gitu, cak. Dekati dia dulu pelan-pelan."

"Masalahnya begini,mas. Laki-laki yang menaksir Yuli itu banyak. Enggak hanya dari desanya, namun dari luar desa bahkan luar kota pun naksir sama Yuli. Ditambah lagi jabatan mereka mapan semua. Sedangkan aku? Hanya orang biasa yang hanya jualan kopi saja."

"Begitu saja sudah pesimis. Aku dukung kamu, cak. Kalau berhasil, aku siap jadi yang ketiga."

"HEH?! APA KAMU BILANG?"

"Eh eh, enggak enggak. Aku cuma bercanda, cak. Aku kan sahabat dekatmu. Masa aku nikung?"

Cak Dul pun terdiam memandang langit-langit atap yang sudah penuh sarang laba-laba. Sedangkan Mas Piet mulai memejamkan matanya untuk beristirahat setelah melewati hari yang panjang dan penuh omong kosong.

***

"Yuli! Yuli!" Teriak seorang bocah laki-laki berusia 15 tahun. Ia berlari dengan nafas tersengal-sengal seperti dikejar anjing. Badannya kurus kering dengan kulit sawo matang. Ia memakai baju putih berkerah yang sudah kumal. Keadaannya berantakan dengan aroma keringat yang seperti ikan di pasar. Amis. Sepatunya kotor penuh dengan lumpur, batu-batu kerikil menempel di sol yang sudah mulai menganga seperti mulut buaya. Wajahnya penuh kebahagiaan, tanpa ada kesedihan yang menyelimuti dirinya.

"Ih apaan sih? Jangan dekat-dekat denganku!"

"Kenapa sih? Kan aku ingin pulang sama kamu. Nanti kalau kamu diculik gimana?"

"Dah sana pergi. Kamu bau, Dul!"

Gadis remaja itu meninggalkan Dul sendirian tanpa memberi salam perpisahan sedikit pun. Dul hanya diam, matanya mulai memerah dan mengeluarkan air mata. Ia tak menyangka bahwa sikapnya kepada Yuli bagai air susu dibalas air tuba. Apa yang salah dengan Dul? Padahal ia hanya menyapa dengan ramah dan penuh cinta. Kalaupun ingin menampar, membanting atau memukulnya pastilah mudah bagi Dul karena di sekolah terkenal sebagai preman kelas. Namun ia kasihan melihat gadis cantik bagai bidadari yang turun surga dengan tinggi 155 sentimeter ini menangis karena ulahnya. Ia lebih memilih memendam amarahnya daripada menyelesaikan dengan kekerasan.

Dul pulang menapaki jalan raya yang beraspal dan penuh lubang. Matahari tampak dari barat dengan paparan sinar yang tak begitu panas. Semilir angin sore menghembuskan rambut Dul yang jabrik itu. Ia hanya tertunduk lesu tanpa semangat membara sedikitpun dari dalam tubuhnya.

"Oi mas Dul!" Seorang anak laki-laki memanggil dari sebuah lapangan yang luas dengan rumput kecil dan tanah basah. Tangan kanannya memegang bola yang sudah penuh dengan lumpur. Wajah dan lehernya penuh dengan keringat. Bajunya basah kuyup bak diterjang hujan badai. Anak itu adalah tetangga Dul bernama Icul.

"Hei, kenapa kamu sedih aja? Ayo main bola bersama anak-anak. Mereka sudah lama menunggumu." Dul hanya diam saja tak membalas pertanyaan Icul. Dia ingin menangis namun berusaha untuk menahan air mata agar tak meleleh melewati pipinya. Icul semakin penasaran kemudian memeluk Dul.

"Cah, kita itu anak cowok. Kita adalah pria perkasa. Kita kalau menyelesaikan dengan perkelahian atau pertandingan sepak bola. Kita ini jantan,Dul. Siapa anak yang berani menyakitimu? Ayo sini kita hajar bersama dan beri mereka pelajaran!"

Dul masih saja diam tak memberikan jawaban kepada Icul.

"Dul! Kamu ini kenapa sih? Aku tanya kok kamu diam saja. Atau jangan-jangan, kamu lagi patah hati ya?"

Dul kemudian menganggukkan kepalanya sebagai pertanda "iya" kepada Icul. Icul kemudian memeluk kawannya yang berpenampilan lusuh itu dengan erat-erat. Ia memegang tangan Dul dan menariknya ke lapangan.

"Sudah, ayo kita main. Taruh sepatumu dan ini bolanya. Sudahlah, kita itu laki. Jangan bersikap cengeng gitu dong."

"Baiklah. Ayo main. HOI! SIAPA YANG MAU JADI TIMKU AKAN KUBELIKAN ES BATHIL BESOK SIANG!" Teriak Dul dengan penuh semangat. Siapa yang tak tergiur dengan sebuah minuman yang berkuahkan santan dengan isi apem, parutan kelapa, cendol, gula merah cair dan es batu membuat tenggorokan menjadi segar dan perut menjadi kenyang. 5 orang yang yang sedang duduk menyaksikan sepak bola langsung berlari menghampir Dul seraya mengacungkan tangan agar ia menjadi timnya. Sayangnya ada 6 orang dimana bermain bola cukup 5 orang. Ucil yang memiliki badan paling kecil sering menjadi pemain cadangan dan hanya bermain di saat-saat akhir pertandingan.

"Hei,Cil. Ayo kau ikut main sama kita. Tim kita membutuhkan pemain kecil yang lincah sepertimu" Kata Dul.

"Alhamdulillah. Cuuaah. Aku bisa main nih sekarang. Woke siap gaskan!" Ucil semakin bersemangat kemudian mengambil sepatunya yang sudah dipenuhi lumpur karena lama tak dibersihkan. Tim Dul sudah lengkap dengan 5 anak yang terdiri dari Dul sebagai kapten sekaligus penyerang, Ucil sebagai pemain sayap, Udin sebagai pemain tengah, Icul sebagai pemain belakang dan Piet sebagai kipper. Pertandingan pun segera dimulai dan tim Dul akan melakukan kick off bersama Ucil. Tidak ada penonton yang bersorak, di pinggir lapangan hanya duduk 5 anak laki-laki yang kelelahan dengan bermandikan keringat.

"Satu, dua, mulai!" Teriak seorang anak di tengah lapangan. Ucil menendang pelan bola plastik berwarna abu-abu ke arah Dul. Bola kini sudah di depan kakinya, ia berhenti sejenak kemudian memejamkan mata dan menarik nafas dalam-dalam. Setelah itu diayunkan kaki kanannya dan ia tendang keras bola itu. Bola itu melayang ke langit yang mulai memerah karena akan mendekati malam. Tetapi angin sedang tidak bersahabat sore itu. Bola itu tidak jatuh ke bawah namun melayang ke luar lapangan kemudian jatuh ke dalam lubang yang berisi genangan air bekas hujan beberapa waktu lalu/

"Plak!" Genangan yang diam langsung berhamburan dimana-mana dan mengenai rok seorang gadis yang sedang membawa Al-Quran karena akan pergi mengaji di musola milik pak lurah. "Ihhhhh! Rokku kotor! Siapa yang nendang bola tadi? Ayo ngaku!" Kata seorang gadis itu. Dul langsung bergegas menemui gadis itu, dan tidak disangka ia adalah Yuli yang sebelumnya memarahi Dul. Dalam hatinya pasti gadis ini akan menamparku.

"Ehh, Yuli!!! Maafkan aku. Aku tidak sengaja tadi."

"Kamu lagi kamu lagi! Kenapa sih kamu melakukan ini kepadaku?"

"Loh aku enggak sengaja tadi. Aku kira bolanya mengarah ke gawang, ternyata melayang ke hatimu. Eh maksudku ke atas. Hehe. Aku minta maaf ya."

"Ini pemberian dari ibuku yang aku rawat sepenuh hati. Kenapa sih kamu tega bikin rokku kotor?" Yuli pun mengeluarkan air mata dan langsung membasahi pipi. Suaranya sesenggukan dan tangannya menutup wajahnya yang manis dan putih itu. Beruntung ada temannya, Ica, yang berusaha menghibur Yuli dengan memeluknya.

"Udah, Dul. Kamu pulang saja sana. Daripada Yuli melapor ke kakaknya. Bisa habis kamu." Kata Ica. Namun di tengah kesedihan tiba-tiba ada wanita dengan tinggi 160 sentimeter, berbadan tambun, mengenakan daster sampai menutup pahanya yang penuh lemak, rambut hitam yang panjang terikat karet, tangan kanannya memegang sapu lidi dengan gaya seperti menggenggam sebilah pedang.

"DULLAH! DARIMANA SAJA KAMU KOK BELUM PULANG?! DASAR BOCAH NAKAL ENGGAK TAHU DIRI! KALAU MAU MAIN, PULANG DULU TERUS PAMIT!" Ia tak lain adalah ibunya Dul yang marah besar karena menunggu anaknya tak pulang dari sekolah hingga mendekati Maghrib. Ia langsung menarik telinga kiri Dul dan menyeretnya menuju rumah.

"Aduh aduh emak, ampun emak ampun. Maafkan Dul sudah khilaf. Dul enggak akan mengulanginya lagi. Tolong jangan ditarik emak, sakit."

"Dasar anak nakal kau ya! Lain kali aku antar jemput kamu saja biar enggak berkeliaran seperti kucing jalanan sana. Terus, kamu kenapa mendekati Yuli?"

"Tadi aku enggak sengaja menendang bola sampai tercebur ke lubang,mak. Ternyata terkena roknya si Yuli."

"Sudah emak bilang jangan macam-macam sama Yuli. Habis kau kena ayahnya. Sudah! Ayo mandi terus habis Maghrib kita bertemu Yuli."

Dul kemudian berlari dan masuk ke dalam kamarnya sambil memegang telinganya yang memerah karena dijewer oleh ibunya dengan cukup keras. Sungguh sial hari ini, menyapa Yuli tak terbalas, dimarahi karena mengotori baju milik Yuli dan ditambah lagi terkena semprot oleh ibunya. Ia hanya duduk sambil memandang nasibnya yang begitu sial. Air matanya ingin menetes namun sebagai lelaki ia harus menahan kuat-kuat agar air mata tak mengalir di pipinya.

Baru saja ia duduk, ibunya mengetuk pintunya dengan perlahan.

"Dul, ada Yuli di depan. Ayo kamu keluar dulu."

"I-iya,emak. Sebentar."

Dul membuka pintu kamarnya dan menuju ruang tamu tanpa membersihkan dirinya. Di kursi sofa yang empuk dan rapi dengan motif bunga mawar di bagian bantal untuk menahan punggung, Yuli duduk dengan merapatkan kedua kakinya dan menyilangkan kedua tangan. Wajahnya terus menunduk ke bawah seolah ada dendam yang ingin dibalas kepada Dul.

"Yuli. Ada apa kemari?"

Yuli masih diam tak menjawab. Sementara Dul mendekati sambil merayunya.

Yuli, kamu kenapa? Kok diam saja?"

Tak ada sepatah kata yang keluar dari bibirnya.

"Hei, aku minta maaf untuk yang kemarin."

Dengan cepat wajah Yuli menoleh ke arah Dul dan menatapnya dengan tajam bak burung hantu yang akan menerkam mangsanya.

"Dul, mulai saat ini jangan pernah menyapaku lagi. Aku benci padamu. Ini aku kasih 5 buah mangga untukmu. Tapi, jangan harap aku suka padamu. Aku pamit pulang."

***

"Cak, bangun cak. Ada yang ngetuk pintu tuh. Sepertinya ibu kos datang mau menagih uang kosmu." Mas Piet menggoyangkan dengan perlahan tubuh Cak Dul yang masih tidur nyenyak. Namun tubuhnya yang kekar itu masih terasa berat untuk bangun dari kasur tipisnya. Pintu kos tak henti-hentinya diketuk dengan cepat.

"Duh berisik! Iya-iya aku datang." Cak Dul akhirnya bangun dengan pandangan agak buram karena masih mengantuk. Jalannya sempoyongan seperti menenggak 5 botol anggur merah dan tangan kanannya menggaruk-garuk rambutnya yang gondrong. Dengan perlahan ia membuka pintu kos."

"Assalamu'alaikum, cak. Maaf aku mengganggu waktu tidur pagimu."

Mata Cak Dul yang awalnya berat dan mengantuk mendadak terbelalak melihat seorang gadis cantik dengan tinggi 165 sentimeter, memakai kerudung merah jambu, badannya kurus kering dibalut gamis panjang berwarna putih namun tak transparan, wajahnya cantik dan putih seperti perpaduan melati dan rembulan yang membuat setiap orang betah berlama-lama dengannya, apabila ia tersenyum seluruh makhluk akan datang untuk menemuinya.

"Wa-wa'alaikumsalam, Dek Yuli. A-ada apa kok pagi-pagi datang kemari?"

"Dek? Kamu enggak apa-apa,cak? Yuli aja lah manggilnya. Enggak enak kalau kamu manggil aku dek Yuli."

"Eh, iya iya maaf Yuli. Jadi ada apa kamu datang pagi-pagi kesini?"

"Ini mas, minggu lalu ayahku membuka bisnis kopi. Mungkin kamu dan mas Piet berminat untuk bekerja sama. Jadi aku akan memberikan biji kopi dan silakan kalian kelola. Kami menyediakan kopi Robusta dan Arabika. Apa kamu tertarik?"

"Wah boleh boleh. Kita siap kok. Lumayan lah mengurangi biaya untuk bahan baku. Heheh. Oh ya, kamu enggak mampir sebentar buat minum teh?"

"Oke kalau begitu, cak. Kebetulan aku membawa sekarung biji kopi. Buat kamu. Maaf lain kali saja, tapi aku pasti akan main ke warung kopimu. Aku pamit pulang dulu ya, cak. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Hati-hati di jalan ya, Yul."

Yuli berjalan meninggalkan kos Cak Dul sembari melambaikan tangan dan melemparkan senyumannya yang manis kepadanya. Hati Cak Dul menjadi bergetar berbunga-bunga melihat gadis itu telah berubah yang awalnya membencinya menjadi menyukainya. Namun dari perilakunya, Yuli tidak menyimpan dendam sama sekali terhadap Cak Dul. Ia melupakan segala masa lalunya yang buruk itu.

"Mas Piet, kita dapat hoki pagi ini."

"Apa ya,cak? Emang apa?"

"Kita mendapatkan persediaan kopi untuk diseduh nanti. Mungkin kita harus membuat inovasi baru dengan pemesanan secara daring. Go Kopi. Dan kita akan membuat menu baru agar dagangan semakin laris."

"Aku setuju!" Kata Mas Piet dengan penuh semangat sambil mensisir rambutnya yang masih berminyak.