"Kita adalah teman. Aku berterima kasih kau mau menerimanya."
.
.
.
.
.
Sungchan dan Xia Hui duduk di kursi perpustakaan. Mereka mencoba untuk mengobrol.
"Sungchan-ssi."
"Lagi?"
"Eh, maaf. A-aku terbiasa dengan panggilan formal." Xia Hui tersenyum tipis.
"Kau...belajar bahasa Korea mu benar, kan? Maksudku...gurumu hanya mengajarkan bahasa formal saja?" Sungchan sedikit bingung.
"Aku belajar dengan benar. Pamanku yg mengajarkan bahasa Korea padaku." Xia Hui tersenyum datar.
"Dia orang Korea?" mata Sungchan memancarkan rasa penasaran.
"Bukan. Dia pernah bersekolah di sini."
"SIHS?"
"D-Di Korea." Xia Hui gugup.
Entahlah, mengapa dia cukup gugup. Sungchan terus memandangi wajah Xia Hui yang mulai menunduk.
"By the way, apa di sekolahmu dulu kau juga formal dengan teman-temanmu?"
Tak ada jawaban. Siswi berambut pirang itu semakin menundukkan kepalanya. Tapi Sungchan masih setia menunggu jawaban dari lawan bicaranya.
"Aku.....tidak memiliki teman." jawab Xia Hui dengan suara yang sedikit parau.
Sungchan terdiam. Tak tahu dia harus berkata apa lagi. Pantas saja Xia Hui selalu menggunakan bahasa yang formal. Mungkin ia terlalu canggung untuk bertemu orang baru. Sungchan merasa bersalah telah bertanya seperti itu.
"Tak apa." ucap Xia Hui yang seolah-olah ia mengetahui isi pikiran Sungchan.
Siswa berambut coklat itu terlihat seperti sedang mengumpulkan tekad untuk mengatakan sesuatu. Tatapannya mulai serius.
"Xia Hui."
"Ya?"
"Mau jadi temanku?" Sungchan tersenyum lebar.
❆❆❆
Di kamar, Sungchan terus memikirkan Xia Hui. Setelah ajakan pertemanannya, gadis pirang itu tak menjawab sepatah kata pun. Ia langsung pergi meninggalkan perpustakaan.
"Kenapa ya? Apa dia tak suka? Apa aku berlebihan?" Sungchan berpikir yang tidak-tidak.
"Entah lah. Aku mau beli camilan saja." Sungchan bangkit dari tempat tidur.
Ia pergi ke mini market dekat sekolahnya. Cukup jauh memang, tapi dia lebih nyaman berbelanja disana. Sungchan membeli satu ramen dan sekaleng soda.
Setelah membayar, ia mencoba untuk memakannya di mini market. Saat menuju ke meja, ia melihat gadis pirang mengenakan pita merah di atas kepalanya duduk disana. Semangkuk ramen tersanding di atas mejanya.
"Xia Hui."
"Oh? Sungchan-ssi."
"Sendirian?"
"Iya."
Cukup canggung sebetulnya. Ingin basa basi, Sungchan teringat momen di perpus. Xia Hui masih belum menjawabnya.
"Begini....." ucap Xia Hui tiba-tiba.
"Ya?"
"Yang di perpus. Aku mau menjadi temanmu." Xia Hui tersenyum malu.
Sungchan yang mendengar jawaban Xia Hui langsung tersenyum lebar. Matanya sedikit berkaca-kaca.
"Kau, menangis?" Xia Hui menyadari.
"Ah, tidak. Aku senang." Sungchan masih dengan senyumnya yang lebar.
"Oh iya. Berikan aku LINE mu." Sungchan menyodorkan ponselnya.
"Satu lagi. Karena kita teman, panggil aku Sungchan. Kita harus santai."
"Baiklah."
Mereka berdua saling bertukar akun LINE masing-masing. Ramen perlahan mereka habiskan. Hanya tersisa soda milik Sungchan.
"Kau, tinggal dimana?" tanya Sungchan.
"Asrama. Kau?" balas Xia Hui.
"Cukup jauh dari sini." Sungchan meminum sodanya.
"Mengapa datang ke mini market dekat sekolah? Apa tidak dingin? Kau hanya mengenakan jaket, celana pendek hitam dan sepasang sendal jepit." Xia Hui sedikit heran.
"Kolor hitam lebih tepatnya." Sungchan mengoreksi.
Cukup percaya diri juga laki-laki ini. Bertemu dengan seorang gadis dengan pakaian yang benar-benar tak bisa dibilang patut untuk pergi ke luar. Walaupun sebenarnya ia tak menyangka akan bertemu Xia Hui.
"Tak terlalu dingin. Musim dingin belum tiba." Sungchan menopang dagunya.
"Kau suka musim dingin?"
"Aku suka semua musim." Sungchan mulai menatap ke luar jendela.
"Aku suka musim dingin. Saking sukanya, nenekku terkadang memanggilku dengan panggilan 'Winter'. Lucu bukan?" kali ini Xia Hui ikut memandang ke luar.
"Kenapa musim dingin?"
"Entahlah. Aku merasa bahagia juga sedih. Aku bisa terus mengingat Ayah dan Ibuku yang meninggal pada saat musim dingin saat aku berusia dua tahun." Xia Hui menghela nafas ringan.
Sungchan terdiam. Perlahan, ia menoleh ke arah Xia Hui. Terlihat, mata gadis itu sedang menahan tangis.
"Nenekku yang menceritakan tentang mereka. Tapi, beliau lebih sering menceritakan tentang Ayah. Nenek juga mengatakan bahwa Ibuku sangat cantik dan baik." sambung Xia Hui.
Air mata gadis berambut pirang ini mulai menetes. Sungchan merasa iba dengan pernyataan Xia Hui. Ia memegang tangan Xia Hui lembut.
"Aku turut berduka atas kematian orang tuamu." Sungchan merasa sedikit sesak setelah mengucapkannya.
"Tidak apa-apa. Lagian juga itu sudah lama sekali." Xia Hui mencoba tersenyum.
Di hari pertama pertemanannya, Xia Hui berani menceritakan tentang keluarganya. Sungchan sungguh menghargai keberaniannya.
Gadis bertubuh ramping itu menatap pemandangan luar dengan tatapan sedih namun masih terkontrol. Ia berkedip cukup cepat untuk menahan air matanya yang ingin keluar.
"Kau mau es krim? Aku yang traktir." tawar Sungchan mencoba memecahkan kesedihan.
"Kau gila? Aku baru saja makan ramen pedas." Xia Hui mulai terkekeh.
Sungchan merasa lega Xia Hui bisa mengatasi kesedihannya.
"Syukurlah dia tersenyum lagi." Sungchan membatin lega.
Pria bermarga Jung itu terus memandangi Xia Hui yang terus tersenyum. Cukup hangat dan menyenangkan.
"Manis." gumam Sungchan lirih.
"Bagaimana?" Rupanya gadis pirang itu mendengar gumaman Sungchan.
"T-tidak. Colanya manis. Ya, cola haha." Sungchan tertawa canggung.
Rupanya ia membuat jawaban palsu yang konyol. Bagaimana cola bisa terasa manis. Sungchan benar-benar payah.
"Tak ada cola yang manis. Kau ada-ada saja." Xia Hui terkekeh lagi.
Sungchan masih dengan senyum canggungnya dan menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia merasa konyol dengan dirinya sendiri. Benar-benar tak masuk akal.
"Aku akan kembali ke asrama. Kau tak pulang?" ucap Xia Hui.
"Sebentar lagi. Aku masih ingin disini. Pulanglah dulu." jawab Sungchan.
"Baiklah. Sampai bertemu besok." Xia Hui tersenyum manis sembari berjalan pergi.
Sungchan melambaikan tangannya. Tak henti-hentinya ia tersenyum. Bahkan, senyum itu tak memudar saat Xia Hui sudah tak berada di hadapannya.
"Selamat malam gadis berpita merah."
To be continue~