"Jika ku menuliskan nama mu di kertas, tak apa-apa kan?"
.
.
.
.
.
Di ruang klub paduan suara, Chenle bersenandung dengan merdu. Ia merebahkan tubuhnya di atas sofa. Siswa berambut hitam itu sebenarnya sedang merasa bimbang. Ia bersenandung untuk mengalihkan kebimbangannya. Huang Renjun - kelas 11-1 memasuki ruangan.
"Kau tak ke kantin?" Renjun meletakkan beberapa music note di atas meja.
"Aku sedang ingin disini." jawab Chenle tak bersemangat.
"Teman-temanmu di kantin, tuh."
"Ntah lah, aku sedang bimbang." Chenle menghela nafas ringan.
"Kenapa? Kompetisi paduan suara di Bangkok?"
Chenle hanya mengangguk. Ia benar-benar tak bersemangat.
Paduan suara - U-Choir di SIHS terpilih untuk mewakili Korea Selatan di ajang paduan suara bergengsi yg diselenggarakan di Bangkok, Thailand. Chenle terpilih bersama member lainnya, seperti Haechan dan Renjun.
"Rosè?"
Chenle mengangguk lagi. Renjun menghela nafasnya kesal. Ia menjitak jidat Chenle yang lebar.
"Aw!" rintih Chenle.
"Sadarlah, Zhong Chenle. Rosè tak mengharapkan mu. Jangan pertaruhkan prestasimu demi perempuan." Renjun berusaha menyadarkan.
Chenle sebenarnya mendengar perkataan Renjun, tapi ia berpura-pura menutup telinga. Matanya mulai terpejam. Renjun yang melihat respon Chenle hanya bisa menghela nafas.
"Terserah kau saja."
❆❆❆
Di kelas, Sungchan tak fokus mendengarkan penjelasan. Dengan tangan kirinya karena ia kidal, siswa berambut cokelat itu asik menuliskan sebuah nama di kertas kosong bagian belakang buku. Senyumnya terukir indah saat nama seseorang gadis telah ia tulis dengan penuh kebahagiaan.
"Xia Hui?" ucap Jeno heran saat melihat tulisan yang dibuat Sungchan. Suaranya cukup pelan.
Sungchan yang terkejut langsung menutup bukunya. Ia hanya tersenyum canggung.
Jeno menatapnya heran. Ia memandang sahabatnya yang berambut coklat itu dengan ekspresi curiga. Mungkin saja Sungchan menyukai Xia Hui. Jeno tak henti-hentinya memandang Sungchan dengan tatapan heran.
"Lee Jeno!"
"LEE JENO!"
Si pemilik nama terkejut saat Guru Seo yang sedang mengajar tiba-tiba memanggil namanya dengan tegas.
"Ya?" Jeno menatap panik Guru Seo.
"Apa kau menyukai teman sebangku mu? Cukup lama kau menatapnya." Guru Ahn melipat kedua lengannya.
"Eh? Bagaimana, Pak?"
Jeno dan Sungchan yang mendengar pertanyaan Guru Seo membelalakkan mata mereka. Beberapa murid terkekeh, tak terkecuali Chenle dan Saeron.
"Tolong fokus saat saya sedang mengajar!"
"Baik, Pak."
Chenle melemparkan gulungan kertas pada Jeno. Menyadari itu, Jeno langsung menoleh ke arah Chenle. Ia mengepalkan tangannya seolah-olah ingin memukul. Chenle hanya terkekeh tanpa suara.
❆❆❆
Jam sekolah telah usai. Sungchan dan Jeno datang ke ruang klub dance bersamaan. Tentu saja disambut jahil oleh si Tuan Muda, Zhong Chenle.
"Kita lihat, pasangan baru kita telah datang." Chenle tersenyum jahil.
Di ruangan, ada beberapa siswa ― cukup banyak. Sebetulnya, ruang klub U-Dance sedari dulu sudah seperti tempat tongkrongan dari berbagai kelas. Terutama bujang-bujang. Siswi dari kelas lain juga ada, cuma tak sesering para siswa. Itu dikarenakan ruang klubnya luas. Beberapa cermin besar juga terpasang di dinding.
Namun tak sembarangan mereka yang memasuki ruang klub. Hanya teman-teman dari para anggota inti saja yang dapat memasukinya.
"Apaan si?" Sungchan meletakkan tasnya di atas sofa.
"Ini gara-gara Sungchan." protes Jeno.
"Dia menulis nama Xia―"
Sungchan langsung membungkam mulut Jeno dengan tangan kanannya. Ia tersenyum canggung.
"Xiao Jun. Ya, Xiao Jun." Sungchan berbohong dan segera melanjutkan kalimat Jeno yang sempat terpotong olehnya.
"Hah, aku?" si pemilik nama Xiao De Jun, atau akrabnya dipanggil Xiao Jun terkejut saat namanya disebut. Dia sekelas dengan Mark.
"Saranghaeyo, hyeong. (Aku mencintaimu, kak)" Sungchan membentuk hati dari jarinya pada Xiao Jun. Tentu saja itu hanya sebuah gurauan untuk mengalihkan pembicaraan. Senyumnya sungguh canggung takut jika ada yang menyadarinya.
"Aish!" Xiao Jun melemparkan gumpalan kertas yang tak tahu berasal dari mana.
❆❆❆
Sekolah telah usai. Xia Hui keluar dari kelasnya. Ia melihat beberapa siswa berlarian menuruni tangga.
Bug!
"Aw!"
Mendengar suara seorang siswi berteriak dari arah tangga, Xia Hui segera mengecek. Ia mendapati Saeron tengah tersungkur akibat tertabrak para siswa yang berlarian.
"Maaf, Saeron-ah." ucap salah seorang siswa.
"Hati-hati lain kali!" protes Saeron.
Xia Hui segera berlari ke arah Saeron. Ia membantu Saeron berdiri.
"Kau baik-baik saja?" tanya Xia Hui sedikit khawatir. Terlihat cukup jelas bahwa ia cukup canggung.
"Ya. Terima kasih."
"Eh? Aku baru pertama kali melihatmu." Saeron menyadari wajah asing Xia Hui.
"Aku murid pindahan dari China, Xia Hui." si pemilik nama tersenyum.
"Oh, pantas saja. Hai, aku Kim Saeron dari kelas 11-2." Saeron menyapa ramah.
Mereka berdua berjalan menuruni tangga. Tak tahu alasannya mengapa mereka harus menuruni tangga ketimbang menggunakan lift.
"Kau dari kelas mana?" tanya Saeron.
"11-3." Xia Hui tersenyum kikuk.
"Santai saja. Jangan terlalu canggung." Saeron menyadari bahwa Xia Hui cukup canggung.
"11-3, ya. Hm, sekelas dengan Yangyang." lanjut Saeron.
Xia Hui hanya mengangguk. Ia cukup senang bisa berbaur dengan siswi yang lain.
"Beberapa waktu lalu, Yangyang datang ke rumah Sungchan bersama Jeno dan Chenle. Tampilan mereka cukup kacau." Saeron menceritakan kejadian lampau.
"Memangnya kenapa?" Xia Hui mencoba bertanya.
"Biasa, laki-laki. Pasti ada saja berkelahi entah dengan siapa." Saeron memutar bola matanya.
"Apa mereka terluka?!" kali ini Xia Hui berekspresi sedikit berlebihan.
"Tiii....dak. Hanya Jeno yang memar-memar." Saeron memicingkan matanya.
Gadis berambut cokelat itu mengamati lawan bicaranya. Ia mulai tersenyum dan menebak-nebak dalam pikirannya.
"Kenapa? Apa kau menyukai salah satu dari mereka?" Saeron mulai tersenyum jahil.
"A-ah, tidak." Xia Hui lagi-lagi tersenyum kikuk. Kali ini ia juga tersipu malu.
Saat sudah tiba di lantai satu, mereka berdua berpapasan dengan Rosè. Terlihat bahwa Rosè seperti sedang terburu-buru.
Saeron yang cukup akrab dengan seniornya itu bertanya-tanya. Tak biasanya seorang Rosèanne Park terburu-buru seperti itu.
"Rosè eonni (kakak: diucapkan oleh wanita yang lebih muda untuk wanita yang lebih tua), ada apa?" tanya Saeron.
"Tidak ada. Aku duluan ya." Rosè sempat menghentikan langkahnya. Setelahnya, ia langsung lari secepat yang ia bisa.
Dari koridor terdengar cukup jelas bahwa Rosè mengucapkan, "Ah, sial! Aku terlambat."
Saeron hanya menatap heran melihat Rosè yang mulai menghilang dari pandangannya. Xia Hui yang tak mengenal Rosè hanya melihat datar.
"Oh iya, dia Rosè dari 12-1. Siswi tercerdas di SIHS." Saeron memperkenalkan.
"Woooww." mulut Xia Hui membulat cukup lama saking kagumnya.
"Dia sedang terburu-buru?" tanya Xia Hui.
"Entahlah." Saeron mengangkat bahunya.
To be continue~