Chereads / Past to Present / Chapter 11 - 10. Ketulusan

Chapter 11 - 10. Ketulusan

WARNING!!!

● Di chapter ini terdapat penggambaran yang cukup tabu bagi sebagian orang. Diharapkan kalian bisa membaca dan meresponnya dengan bijak. Terima kasih 😊

❆❆❆

"Rasa sakit selalu terselip di dalam kata cinta. Jika memang tulus, kau pasti bisa melewati itu semua."

.

.

.

.

.

Siang itu, hujan turun mengguyur SIHS bersamaan dengan suara gemuruh petir. Kilatannya terkadang menampakkan diri.

Pria bermarga Jung itu terus memandangi sahabatnya yang tengah menatap kosong keluar jendela kelas sambil duduk membelakangi. Ekspresinya sangat tidak bahagia.

Ini sudah hari ketiga Sungchan memperhatikan Chenle tampak murung dan tak bersemangat.

"Aku yakin Chenle ada sesuatu yang tak bisa ia katakan." Rupanya Jeno juga memperhatikan. Sungchan mengangguk setuju.

Kesedihan yang sedang menimpa Chenle mulai menular pada dua bujang yang sedang memperhatikannya. Hanya melihat ekspresinya saja, Jeno dan Sungchan merasa berada di situasi yang sama seperti Chenle.

Sungchan tak berani menanyakan tentang alasan dibalik murungnya Chenle. Ia hanya bisa menunggu sahabatnya itu untuk mengutarakannya terlebih dahulu.

Kemarin Sungchan mendapat pesan LINE dari Nyonya Zhong ― Mama Chenle. Beliau juga merasa khawatir dengan anak keduanya itu. Pasalnya, Chenle sudah tak bersuara akhir-akhir ini.

"Chenle." panggil Sungchan lirih.

Tak ada jawaban.

"Chenle."

"Zhong Chenle."

Chenle masih tak bergerak.

Ia sudah tak bisa menunggu Chenle untuk bergerak duluan. Perlahan Sungchan mendekat. Pria berambut coklat itu mencoba menepuk pelan bahu sahabatnya. Ia terkejut saat melihat wajah Chenle. Rupanya, air matanya sudah menetes deras seperti turunnya hujan saat itu.

Chenle mulai menundukkan kepala. Suara tangisnya mulai terdengar. Untung saja, saat itu sedang kelas kosong. Banyak siswa yang menghabiskan waktu kosongnya di luar kelas, jadi Chenle tidak menjadi pusat perhatian oleh teman-teman kelasnya.

Sungchan mulai memeluk tubuh yang sedang menundukkan kepalanya itu. Ia menepuk pelan pundaknya. Perasaannya mulai semakin sedih.

Jeno yang tadinya duduk di bangkunya mulai mengelus kepala sahabat China nya itu.

❆❆❆

Kelas telah berakhir. Sungchan melihat Rosè berlari cukup kencang di koridor. Ia berfikir, kesedihan Chenle pasti ada kaitannya dengan Rosè.

"Sunbae-nim (senior: 'nim' merupakan panggilan hormat)!" panggil Sungchan.

Rosè memberhentikan langkahnya.

"Ya?"

Sungchan terlihat cukup ragu saat ingin mengatakan sesuatu. Ia merasa tak enak. Tiba-tiba ia juga berpikir, Rosè bisa saja bukan penyebab sedihnya Chenle.

Ia terus memandangi seniornya itu. Rasa bimbangnya semakin besar. Sungchan benar-benar ragu.

"Jika tak ada sesuatu yang ingin dikatakan, aku pergi dulu." Rosè segera berlari meninggalkan juniornya itu.

❆❆❆

Di asrama ― kamar Yangyang, keempat bujang tengah berkumpul. Beruntungnya, Yangyang hanya tinggal sendiri di kamarnya.

Chenle sudah tak tahan lagi dengan kesedihan dan beban yang ada di pikirannya. Ia mencoba membuka mulutnya yang sudah terkunci berhari-hari.

"Aku ingin bercerita. Tapi aku harap hanya kita yang tahu." Chenle membuka obrolan.

Para sahabatnya mulai memandanginya dengan seksama. Termasuk Sungchan yang mulanya sedang membaca komik milik Yangyang langsung menutupnya segera.

Pria bermarga Zhong itu menceritakan kejadian sedih yang telah menimpanya. Rasa sakit yang ia terima karena mencintai seorang ibu yang masih sangat muda.

Kejadian ini terjadi di awal sekali Rosè baru masuk ke SIHS. Ia adalah korban dari guru privat lesnya. Selagi sekolah di Korea, orang tuanya membelikan apartment di Seoul.

Orang tua Rosè membayar guru privat untuk membantunya agar semakin baik dalam akademik. Di suatu malam, pengajarnya itu datang ke apartment Rosè. Dalam kondisi mabuk, ia dengan cepat menyerang gadis pirang asal Australia itu. Tentu saja, setelah mengetahui bahwa murid didik bimbingan privatnya berbadan dua, ia segera kabur entah kemana.

Rosè pernah izin berbulan-bulan yang sebetulnya bukan karena sakit, melainkan menyembunyikan kehamilannya dari pihak sekolah. Ia juga tidak ingin mengakhiri pendidikannya begitu saja.

Selama proses kehamilan hingga melahirkan, Rosè dibantu oleh bibi pemilik tanah apartmentnya karena ia merahasiakan semua itu dari keluarganya. Beliau adalah orang yang sangat baik dan cukup telaten mengurus Rosè. Sudah dianggap seperti anak sendiri.

Beliau juga membantu Rosè untuk sedikit memanipulasi dokumen agar anaknya bisa dititipkan di taman kanak-kanak pada jam sekolahnya. Memang dilarang, tapi Rosè tak ingin merepotkan lebih lanjut pada sang bibi.

Itu adalah alasan mengapa Rosè meninggalkan U-Dance. Lalu, hasil kerja paruh waktunya juga sebagai tambahan biaya untuk mengurus bayinya. Orang tuanya tak mengetahui rahasia itu. Jika mereka mengetahuinya, habis sudah hidup Rosè.

"Aku tak percaya. Siswi tercedas di sekolah kita memiliki kisah pilu seperti itu." Sungchan menghembuskan nafas yang sejak tadi ia tahan.

"Aku harap kalian bisa memahami kondisi Rosè. Jangan biarkan sekolah mengetahuinya." Chenle memohon.

"Tapi, mengapa kau bersedih?" Jeno mencoba bertanya.

"Aku tak tahu. Aku hanya masih bingung dengan keadaan." ucap Chenle lemas.

Pria bersurai hitam itu sebenarnya merasa tak tahu harus bagaimana. Ia sudah sangat mencintai Rosè, tapi sebuah kenyataan telah mengejutkannya. Hatinya cukup terluka.

"Jika kau benar-benar mencintainya, masa lalu Rosè bukan sebuah hambatan." ucap Jeno yang cukup mengejutkan bagi bujang yang lain.

"Tapi Rosè...." Yangyang ragu ingin mengucapkan sesuatu.

"Sudah ternoda dan tak pantas untuk dicintai?" Jeno memastikan.

"Tidak, menurut pandanganku dia tak seperti itu. Bukalah mata kalian. Bagiku, wanita yang sudah tersentuh bukan berarti dia tak memiliki harga diri. Dia masih cukup pantas untuk dicintai banyak orang. Terlebih, Rosè adalah korban. Dia tak menginginkan hal itu terjadi di hidupnya." ucap Jeno tegas.

Perkataan Jeno cukup menyadarkan Chenle. Tak sepenuhnya apa yang Jeno ucapkan adalah salah. Masa lalu memang masa lalu. Jika Chenle bisa membuat masa depan cerah, mengapa harus diam saja. Memang benar itu menyakitkan, tapi jika memang mencintainya mengapa harus mundur.

"Tapi, jika Chenle tetap maju....bagaimana nasibnya?" Sungchan bertanya dengan suaranya yang sedikit serak.

"Semua ada pada keputusan Chenle. Aku hanya memberikan nasihat menurut pandanganku saja. Masing-masing orang memiliki pandangan yang berbeda tentang hal semacam itu. Apa yang telah ia pilih, itulah nasibnya dan harus siap menerima segala resikonya." ucap Jeno.

"Aku akan mencoba melihat bagaimana ke depannya. Jeno ada benarnya juga. Jika karena masa lalunya aku menyerah, aku bukanlah pria sejati." ucap Chenle yakin.

Sebetulnya Sungchan sedikit tidak setuju dengan keputusan Chenle untuk tetap maju. Bukannya dia tak menyetujui bahwa sahabatnya itu menyukai Rosè, tapi dia terlalu khawatir jika Chenle tersiksa di masa yang akan datang.

Saat ini ia hanya bisa mencoba untuk mendukung keputusan sahabatnya itu. Ia berharap ada hal baik untuk mereka berdua.

To be continue~