Hari berikutnya, pukul 13.00.
Rumah duka mulai sepi. Pemakaman memang sudah selesai sejak tiga jam yang lalu. Namun, seolah tanah tak bisa ikut mengubur kesedihan seorang ibu, suara tangis Haryati masih terdengar memenuhi rumah dan begitu menyayat hati. Di sebelahnya, Yasna, yang tak lain adalah kakak korban entah kenapa justru terlihat baik-baik saja.
Gadis dua puluh tahunan itu terlihat sibuk dengan ponselnya sedari tadi. Hanya sesekali dia mencoba menepuk-nepuk bahu ibunya untuk memintanya berhenti menangis. Ya, mungkin Yasna hanya berusaha terlihat tegar agar tak menambah kesedihan. Tapi kecurigaan jika kematian Citra Arifa, alias Ifa, membuatnya senang tetap saja tidak bisa dipungkiri.
"Bu Har," sapa Bima yang terlihat sedikit ragu untuk berbicara. Dia paham hati seorang ibu yang kehilangan anaknya, tapi jika harus ditunda, Bima takut kasus ini akan berlarut-larut.
Haryati mendongak sambil menyeka air matanya.
"Kalau Bu Har masih merasa tidak sanggup, saya bisa kembali lagi besok," kata Bima lagi.
"Tutup saja kasusnya, toh adikku memang terlihat bunuh diri jadi tidak perlu diselidiki. Kasihan Ibu kalau harus kalian interogasi," Yasna menyambar. Seketika kalimat itu membuat Bima menatapnya curiga. Tatapan curiga Bima sontak membuat Yasna gelagapan.
Hasil autopsi hingga mayat Ifa dikebumikan memang menyimpulkan bahwa penyebab kematian adalah pendarahan otak dan patah tulang akibat terjatuh dari ketinggian sesuai dugaan awal. Namun, tetap saja luka gores yang ditemukan Bima tidak bisa diabaikan begitu saja. Itulah yang membuat Bima tetap kukuh melakukan pendekatan pada keluarga agar mau tetap meneruskan kasus ini agar lebih terang.
"Bisa saya bicara sama kamu saja kalau Bu Haryati masih berat?" tanya Bima kemudian.
Raut Yasna makin panik.
"Boleh saya tahu kamu di mana dua hari lalu sekitar pukul empat sampai lima sore?" tembak Bima langsung.
Yasna langsung menegang. "Anda mencurigai saya membunuh adik saya sendiri?" tanyanya dengan raut merah padam. "Jelas-jelas Ifa bunuh diri! Dia lompat dari lantai empat!" nada suara Yasna meninggi. Beberapa saudara yang masih di rumah duka sempat menoleh memperhatikan kelakuan Yasna.
Bima tersenyum tipis. "Saya hanya bertanya. Kamu tidak perlu emosi kalau kamu tidak melakukan kesalahan," katanya santai. "Jadi, boleh saya tahu, kamu di mana dua hari lalu pukul empat sampai lima sore?"
Terdengar suara deheman halus menginterupsi ketegangan antara Bima dan Yasna. "Yasna di rumah. Dia baru pulang kerja jam empat dan sampai rumah hampir setengah lima," jelas Haryati dengan suara parau. "Itu sudah jam kerja rutin Yasna, Pak Polisi. Dari Senin sampai Jumat."
Bima mengangguk. "Apa Ifa selama ini punya musuh? Atau mungkin dia cerita sesuatu tentang masalah dia yang membuat dia sedih dan kalut?" Bima kembali membuka pertanyaan.
"Musuh apa? Teman juga dia nggak punya," jawab Yasna ketus.
"Maksud kamu, Ifa tipe penyendiri?"
"Nggak juga sih. Dia bukan penyendiri, tapi emang nggak ada yang mau temenan sama dia, nggak tahu kenapa."
Bima mengernyit mengetahui fakta itu. Pantas saja, di sekolah tidak ada yang terlihat benar-benar bersimpati pada kasus ini. Bima pikir itu karena para murid takut dan ngeri, tapi kalau begini faktanya, ceritanya bakal berbeda.
"Kalau soal masalah?" tanya Bima lagi.
Haryati menghela napas panjang. "Kami hanya hidup bertiga. Kehidupan kami pas-pasan jadi rasanya tidak ada masalah lain selain masalah ekonomi di keluarga kami," Haryati mulai bercerita. "Mungkin itu juga yang membuat Ifa tidak terlalu banyak teman. Berteman kan butuh modal untuk sekedar nongkrong dan jalan-jalan ke mal."
"Salah sendiri masuk sekolah mahal. Disuruh sekolah di tempat yang lebih murah aja nggak mau," sambar Yasna. "Udah habisin duit bulanan. Biaya gengsinya juga mahal."
"Itu karena adik kamu pintar, Yas. Dia pantas sekolah di tempat yang lebih baik biar masa depannya lebih baik juga," sanggah Haryati.
"Tapi ujung-ujungnya begini, Bu. Ifa mati. Dia mati karena dia dikucilkan di sekolah. Dia depresi!" kata Yasna dengan nada meninggi. Namun, sejurus kemudian, emosinya justru berubah. Yasna menangis tersedu.
"Yasna," gumam Haryati yang langsung memeluk putrinya.
"Adikku mati, Bu. Adikku yang aku carikan uang tiap hari susah payah biar dia bisa sekolah dengan baik dan bermasa depan lebih baik, udah mati." Yasna makin histeris.
Bima yang melihatnya miris sendiri. Terlihat Candra dan Farhan yang sejak tadi hanya duduk diam tak jauh dari Bima, juga menatap miris pada Yasna dan Haryati. Namun, terlepas dari kepedihan itu, sebuah fakta mereka temukan dari ocehan histeris dari Yasna. Bima pun menoleh beberapa saat pada Farhan dan Candra. Ada anggukan pelan dari keduanya seolah menyiratkan bahwa mereka berdua pun juga merasakan firasat yang sama dengan Bima.
"Pak Polisi! Kalau Pak Polisi memang mau mengungkap fakta di balik kematian adik saya, tolong lakukan dengan tuntas. Jangan cuma memberi kami harapan palsu. Kalau kiranya investigasi ini tidak serius, tutup saja dari sekarang. Biarkan semuanya ditutup dengan kesimpulan bunuh diri." Entah kenapa kalimat yang keluar dari mulut Yasna seperti tantangan untuk Bima.
"Saya akan berusaha semaksimal mungkin," kata Bima akhirnya.
"Semaksimal apa?" Yasna melepaskan diri dari pelukan ibunya kemudian menatap Bima tepat di manik matanya.
"Saya dan tim saya akan cari bukti, saksi, apa pun sebaik mungkin agar semuanya jelas," jawab Bima.
"Berapa lama? Arwah adik saya bisa nggak tenang kalau kasusnya tidak juga jelas."
"Secepat mungkin. Tidak ada polisi yang mau berlarut-larut dengan satu kasus," jawab Bima lagi. Dia benar-benar tertantang. "Karena itu, saya mohon kerjasama kalian." Sekarang ganti Bima yang menatap Yasna tajam.
Setelah berbincang beberapa hal dengan Yasna dan Haryati—Bima, Candra, dan Farhan akhirnya pamit. Tentunya dengan perjanjian akan kembali satu dua hari ke depan untuk mengajukan beberapa pertanyaan lagi pada keluarga korban.
"Bim, langsung ke kantor?" tanya Farhan sebelum masuk mobil. Dia memang satu mobil dengan Candra tadi saat berangkat. Sementara Bima berkendara sendiri.
"Aku mau mampir isi BBM dulu. Kalian duluan aja! Kalian cek rekaman CCTV yang kita dapat," kata Bima. "Sekalian cek alibi Yasna," lanjut Bima dengan berbisik pada Farhan. Farhan mengangguk kemudian masuk mobil. Diikuti Candra yang kemudian memegang kemudi.
"Pak polisi!" panggilan itu membuat Bima mengurungkan niatnya untuk masuk mobil. Dia menoleh kanan kiri mencari sumber suara.
Seorang anak laki-laki berpakaian serba hitam berjalan mendekatinya. Dari perkiraan Bima, anak itu masih sekolah. Mungkin kelas satu atau dua SMA. Tunggu! Bisa jadi dia teman sekolah Ifa.
"Kamu manggil saya?" tanya Bima sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Bapak polisi, kan?" tanya anak itu. Bima mengangguk. "Ya udah, berarti saya manggil Bapak."
Bima hanya diam. Dia belum berniat menanggapi. Sorot matanya justru lebih memilih untuk meneliti orang di hadapannya itu. Dia terlihat seperti anak SMA pada umumnya. Berpenampilan rapi, tampan, dan—sepertinya pintar, tipe idola di sekolah.
"Bisa kita bicara, Pak? Ada sesuatu yang harus saya katakan," anak itu kembali buka suara.
"Soal?"
"Soal Ifa."
Jawaban singkat dari anak itu membuat raut Bima sontak menegang.