"Pak polisi!" panggilan itu membuat Bima mengurungkan niatnya untuk masuk mobil. Dia menoleh kanan kiri mencari sumber suara.
Seorang anak laki-laki berpakaian serba hitam berjalan mendekatinya. Dari perkiraan Bima, anak itu masih sekolah. Mungkin kelas satu atau dua SMA. Tunggu! Bisa jadi dia teman sekolah Ifa.
"Kamu manggil saya?" tanya Bima sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Bapak polisi, kan?" tanya anak itu. Bima mengangguk. "Ya udah, berarti saya manggil Bapak."
Bima hanya diam. Dia belum berniat menanggapi. Sorot matanya justru lebih memilih untuk meneliti orang di hadapannya itu. Dia terlihat seperti anak SMA pada umumnya. Berpenampilan rapi, tampan, dan—sepertinya pintar, tipe idola di sekolah.
"Bisa kita bicara, Pak? Ada sesuatu yang harus saya katakan," anak itu kembali buka suara.
"Soal?"
"Soal Ifa."
Jawaban singkat dari anak itu membuat raut Bima sontak menegang. "Kamu siapa?"
Anak itu pun mengulurkan tangan, mengajak Bima bersalaman. Sedikit ragu, Bima akhirnya menyalaminya.
"Zulfan," anak itu menyebutkan namanya. "Saya kakak kelas Ifa sekaligus seniornya di ekskul English Club."
"Bimasena," kata Bima yang juga menyebutkan namanya.
"Oke, Pak polisi Bimasena, saya punya beberapa hal yang harus saya kasih tahu soal Ifa. Saya harap saya bisa bantu memecahkan kasus ini. Saya kenal Ifa dengan baik. Saya—,"
"Kamu suka sama Ifa," potong Bima tanpa basa-basi. Dia sudah bisa menebak dari sorot mata Zulfan. Mata anak itu berkaca menahan kesedihan, tapi ada satu emosi yang dia tahan di sana.
Zulfan gelagapan. Dia seperti tertangkap basah. Sontak, dia langsung mengalihkan tatapannya yang tadi begitu percaya diri menatap Bima.
"Begini, Zulfan, kamu masih anak sekolah. Saya nggak bisa minta keterangan dari kamu tanpa izin orang-orang terkait. Apalagi kepala sekolah kamu kemarin terang-terangan menutup diri dari polisi." Sesaat Bima mengamati perubahan wajah Zulfan yang langsung kecewa bercampur emosi.
"Maaf, saya nggak bisa," ulang Bima lagi kemudian berbalik hendak membuka pintu mobilnya.
"Tapi bapak butuh kan?" kata Zulfan penuh penekanan.
Mendengar itu, Bima menggerakkan giginya. Tentu saja dia butuh. Dia butuh informasi sebanyak-banyaknya soal Ifa. Apalagi Zulfan datang dengan sukarela. Sungguh terlalu berharga untuk dilepas, tapi Bima juga tidak ingin menyalahi aturan.
"Persetan dengan prosedur, Pak! Persetan dengan kepala sekolah! Saya bakal pindah sekolah dengan senang hati kalau memang itu akibatnya buat saya. Saya nggak peduli!" Zulfan kembali bersuara yang sialnya membuat Bima akhirnya goyah.
"Kita bicara di dalam mobil saya," kata Bima akhirnya.
"Ifa itu gadis yang baik, lembut, cantik, setahuku dia juga pintar," Zulfan mulai bercerita.
"Ya, saya tahu kalau sudah jatuh hati semua hal akan terlihat baik," potong Bima yang agak risih mendengar cerita cinta SMA.
"Enggak gitu. Saya serius, Pak. Ifa memang baik. Menurut saya, bunuh diri bukan pilihan untuk dia," sangkal Zulfan.
"Saya dengar dia nggak punya banyak teman di sekolah. Bukankah anak baik harusnya banyak teman?"
Zulfan tersenyum asimetris sebelum akhirnya kembali menanggapi, "Sayangnya di sekolah kami bukan anak-anak yang baik yang dijadikan teman, tapi anak-anak yang menguntungkan dan punya pengaruh."
Bima sedikit terenyak dengan ucapan Zulfan. "Sebentar! Kamu sedang menjelekkan teman-teman kamu sendiri. Kamu sadar?"
Zulfan mengangguk. "Saya sakit hati. Saya terkejut. Saya nggak tahu lagi perasaan saya bagaimana sekarang. Yang jelas saya kehilangan Ifa, cinta pertama saya—dengan tragis." Zulfan menjeda sejenak. "Ifa memang sudah menolak cinta saya. Buat saya, itu bukan masalah. Toh saya masih bisa lihat Ifa setiap hari, tapi kalau dia mati begini… ceritanya lain! Saya nggak mungkin gali kuburan dia kan, Pak?"
Sial! Kenapa semua makin terasa dramanya? Tapi Bima harus tetap mengikuti alur cerita ini. Pasti ada informasi yang berguna untuknya.
"Jangan nangis! Laki-laki itu memperjuangkan cinta bukan menangisi cinta."
"Ya yang mau diperjuangin udah mati, Pak." Zulfan mati-matian menahan air matanya. Suaranya mulai sengau. "Harusnya saya nggak nyatain perasaan saya sama Ifa minggu lalu. Harusnya saya tetap diam dan menyimpan semuanya rapi untuk diri saya sendiri. Mungkin Ifa akan aman dan masih hidup sekarang jika begitu ceritanya," Zulfan kembali bersuara. Kali ini, nada bicaranya merendah. Tidak lagi dengan emosi.
"Maksud kamu?"
"Keadaan sekolah berubah saat banyak orang yang tahu kalau saya menyukai Ifa. Apalagi saya sempat menolak pernyataan cinta dari Liyara, teman sekelas Ifa yang entah bagaimana dia memainkan drama seolah menjadi korban yang tersakiti karena saya lebih memilih Ifa. Gampangnya, Ifa dituduh makan teman sendiri. Padahal dia menolak saya." Zulfan mengakhiri ceritanya dengan senyum getir.
"Jadi menurut kamu, Ifa bunuh diri karena nggak kuat dengan tuduhan itu?" tanya Bima. "Terlalu sepele untuk jadi alasan bunuh diri. Nggak mungkin."
Zulfan kembali tersenyum getir. "Di antara kita nggak ada yang tahu kan? Ifa terjun sendiri dari lantai empat atau—" Zulfan menggantung kalimatnya, membiarkan Bima menyimpulkan sendiri.
***
Pukul 08.00, hari kejadian saat Ifa meninggal
"Ikut aku!" Tangan kokoh itu menarik paksa lengan Liyara saat Liyara sedang duduk-duduk di depan kelas bersama beberapa temannya.
Sembari meringis kesakitan karena cengkraman kuat di lengannya, Liyara mengekori langkah laki-laki yang menarik lengannya itu.
"Sakit, Kak!" pekiknya sambil berusaha melepaskan diri.
Laki-laki yang menariknya masih berjalan tanpa mempedulikan keluhan Liyara. Dia baru berhenti saat sudah sampai di sudut sekolah dekat gudang alat olahraga.
"Apa yang sudah kamu lakuin?" tanya laki-laki itu dengan nada penuh penekanan. Dia menyudutkan Liyara di dinding.
"Maksud Kak Zulfan apa?"
"Jangan pura-pura bodoh, Liyara! Pasti kamu di balik semua ini. Kamu yang bikin Ifa mati!"
Liyara tersenyum sinis. "Jadi masalah jalang kecil yang sudah jadi mayat itu?"
"Jaga mulut kamu!" Zulfan memperingatkan.
"Kenapa? Kak Zulfan patah hati ya ditinggal pujaan hati mati dengan tragis?" tanya Liyara. Gadis itu menatap Zulfan tanpa rasa takut.
"Benar kan kalau kamu di balik semua ini?" tanya Zulfan lagi dengan penuh penekanan. "Kamu benar-benar nggak punya hati, Liyara! Kamu buat semua orang di sekolah membully dia! Kamu rancang sedemikian rupa sampai semua melihat Ifa dengan pandangan rendah! Sekarang kamu nggak ada penyesalan melihat dia terkapar mati mengenaskan?" tutur Zulfan penuh emosi. "Kamu gila, Liyara!"
Liyara kembali tersenyum. "Aku gila karena mencintaimu dan kamu menolakku karena memilih jalang kecil itu!"
Zulfan mengepalkan tangannya kuat. "Asal kamu tahu, dia menolakku bahkan sampai malam terakhir hidupnya! Kamu benar-benar nggak punya alasan untuk berbuat itu sama Ifa!"
Liyara kali ini tertawa. "Seorang Zulfandi Pradhana ternyata ditolak jalang kecil, miskin, dan nggak menarik itu?" Tawa Liyara makin menjadi. "Sebuah sejarah," lanjutnya. "Jadi sekarang Kak Zulfan masih mau memakiku karena dia? Come on! Kakak sudah ditolak, nggak ada gunanya!"
"Liyara!" Zulfan berteriak. Dia melayangkan tinju ke arah Liyara, tapi berbelok ke dinding di sebelah pipi gadis itu.
"Lagian apa bagusnya dia sih sampai Kakak suka sama dia? Sampai Kakak melakukan hal di luar batas."
"Hal di luar batas?"
Liyara menatap Zulfan tajam. "Kak Zulfan pikir, aku nggak tahu apa-apa?" Liyara tersenyum mengejek. "Jangan berteriak menyalahkan aku kalau nyatanya kak Zulfan juga punya andil atas nyawa jalang kecil itu!"
"Jangan mengarang cerita!" kecam Zulfan.
Liyara tersenyum. "Jangan sok suci!" tandas Liyara kemudian berhasil melepaskan diri dari kungkungan Zulfan dan melangkah pergi.