16.00
Keterangan yang diberikan Zulfan tak serta-merta membuat Bima langsung percaya. Anak SMA itu terlalu menggebu-gebu dalam memojokkan Liyara.
Lagipula kondisi Zulfan sedang berkabung karena ditinggal Ifa. Bima bisa melihat dari sorot mata anak itu yang terlihat sendu. Penampilan Zulfan juga cukup kacau. Jadi, bisa dipastikan bahwa keadaan Zulfan pun sedang kalut. Emosi mendominasi semua tindakan dan ucapannya saat ini. Oleh karenanya, tadi di perjalanan, Bima sudah menghubungi Candra dan Farhan untuk mencari tahu informasi terkait Zulfan dan Liyara.
Terlepas itu bunuh diri atau dibunuh, ada rasa tidak percaya di pikiran Bima jika kematian Ifa berawal dari pembullyan perkara asmara. Rasanya masalah itu terlalu remeh jika jadi alasan untuk menghilangkan nyawa. Tapi jika itu memang benar adanya, berarti pergaulan anak zaman sekarang memang sudah melewati batas.
Bagaimana perkara bisa, cinta monyet yang belum jelas masa depannya bisa menjadi alasan menghilangkan nyawa? Di mana akal sehat mereka? Bukankah seharusnya prioritas mereka adalah sekolah? Bima benar-benar tidak paham dengan jalan pikiran anak sekarang.
"Hai, Bim," sapa seorang polwan.
"Hmm," respon Bima sambil terus berjalan menuju ruangan. Polwan yang tadi menyapanya masih terus berjalan mengiringinya. "Gimana soal prostitusi indekos?" tanya Bima membuka pembicaraan soal kasus lain.
"Sudah semakin dekat. Satu dua hari ke depan kita mau penyergapan. Kamu bisa ikut kan?"
Bima mengangguk sebagai jawaban.
"Kasus bunuh diri kemarin gimana jadinya? Perlu bantuan?" tanya polwan itu.
"Ada luka gores. Masih dimungkinkan bukan bunuh diri," jawab Bima. Polwan yang mengiringi langkah Bima itu berhenti berjalan. Bima pun ikut berhenti. Mereka saling bertatapan serius. "Aku masih nunggu hasil uji partikel debu di luka gores itu. Biar kita tahu korban dapat luka itu di mana dan kapan," lanjut Bima.
"Ada informasi yang sudah didapat?"
"Ikut ke ruangan! Aku mau meeting soal ini sama Candra dan Farhan." Bima pun melanjutkan langkah diikuti si polwan.
"Hai, Nisa," sapa Farhan saat melihat Bima masuk ruangan bersama polwan tadi yang ternyata bernama Nisa.
Mata Farhan melirik ke arah Candra yang berusaha sok sibuk, tapi wajahnya jelas terlihat memerah. Bukan rahasia lagi soal Candra yang memang naksir berat pada Nisa—rekan kerja mereka di subdit yang sama sekaligus sepupu Bima.
Nisa hanya tersenyum menanggapi sapaan Farhan. Selanjutnya, gadis itu menarik kursi untuk duduk menyimak apa yang sejauh ini Bima, Farhan, dan Candra dapatkan.
"Kasih aku laporan soal Liyara dan Zulfan," kata Bima tanpa basa-basi lagi.
"Liyara itu anak seorang pengusaha. Keluarganya juga punya usaha toko oleh-oleh yang cukup terkenal. Jelas dia kaya raya, berpengaruh," jelas Farhan.
"Jejak digital Liyara? Mungkin berhubungan dengan Zulfan dan Ifa?"
"Aku nemuin beberapa foto Liyara dan Ifa di Instagram Liyara," jawab Farhan sambil menunjukkan layar laptopnya yang sedang membuka Instagram milik Liyara. "Tapi, Bim, unggahan foto itu menurutku gila!" lanjut Farhan.
"Kenapa?"
Farhan memperbesar tampilan satu foto Liyara bersama Ifa dan dua orang temannya yang lain berikut dengan komentar di bawah foto.
"Foto diunggah sekitar seminggu sebelum kejadian. Menurutku Liyara mengunggah foto ini bukan tanpa alasan," Farhan menjeda. "She's playing victim. Jadi semua komentar memojokkan Ifa karena Zulfan lebih memilih Ifa daripada dia."
"Perempuan memang cenderung emosional kalau ditolak. Apalagi kalau alasannya karena ada pesaing," Nisa angkat bicara. Sebagai perempuan, dia bisa memahami emosi Liyara.
"Jadi menurut kamu ini mungkin jadi alasan untuk menghilangkan nyawa?" tanya Bima.
"Sangat mungkin," jawab Nisa, membuat Bima terperangah. "Persaingan antar perempuan itu bisa lebih mengerikan daripada antar laki-laki. Kalau laki-laki mungkin saingan berantem babak belur besok perkara selesai. Tapi kalau perempuan, mereka saling serang antar perasaan, psikologisnya main, musuhan bisa seumur hidup."
Baik Bima, Farhan, maupun Candra, masih diam belum memberikan tanggapan. Mereka berusaha mencerna pendapat Nisa. Bagaimanapun, Nisa itu perempuan. Masalah perempuan pasti lebih bisa dipahami perempuan juga.
"Posisi Ifa yang inferior dan Liyara yang superior dalam konteks finansial dan pengaruh, jelas sangat mungkin membuat Ifa terpojok, depresi, dan berakhir mengenaskan," lanjut Nisa kemudian.
Bima mengangguk kecil. "Masukin unggahan Liyara beserta komentar yang ada disitu sebagai bukti tidak langsung," kata Bima.
"Siap," sahut Farhan.
"Soal Zulfan?" tanya Bima kemudian.
"Oh ya… Zulfan…," Candra gelagapan. Sial! Keberadaan Nisa di ruangan ini membuatnya salah tingkah. Lagipula, kenapa Nisa harus secantik itu sih? Membuat jantung Candra tidak karuan.
Candra berdehem. Berusaha fokus pada meeting ini. Mengenyahkan perasaan dan kembali profesional.
"Zulfandi Pradhana, ayahnya pengacara, ibunya pegawai di salah satu dinas pemerintahan. Finansial cukup. Dan ya, kalau lihat fotonya menurutku dia tampan," jelas Candra. "Sesuai jumlah followers Instagram yang mayoritas perempuan, bisa dipastikan dia seorang idola."
"Oke, aku paham." Nisa tiba-tiba kembali angkat bicara.
"So, the thing is si Zulfan ini anak populer, pintar, dan kaya, jadi bisa dipastikan nggak cuma Liyara yang suka sama dia. Alhasil, pas ada perempuan yang membuat Zulfan tertarik dan itu adalah seorang Ifa yang notabene gadis biasa saja, pembullyan terjadi tentunya dengan provokasi dari Liyara," jelas Nisa panjang lebar. "Dari sini menurutku, kalau ini kasus pembunuhan, ya tersangka nggak jauh-jauh dari penggemar Zulfan. Entah itu Liyara atau yang lain," tambah Nisa.
"Bagaimana kalau justru Zulfan sendiri yang melakukan?" Pertanyaan Bima membuat semua orang menatapnya heran. "Di saat semua orang di sekolah menutup diri soal kasus ini, dia dengan sukarela datang sama aku dan kasih keterangan. Bukankah itu mencurigakan?" lanjut Bima yang menyadari tatapan heran dari rekan-rekannya.
"Bim, dia mau kematian perempuan yang dia cintai terungkap dengan jelas," bantah Candra.
"Dia ditolak sama Ifa. Kita juga nggak bisa nutup fakta bahwa dia bisa saja kasih informasi itu untuk bikin penyelidikan ini jadi bias," kata Bima.
"Nggak ada alasan lain dia ngelakuin itu kecuali atas nama cinta," bantah Candra lagi.
"Atas nama cinta juga dia bisa ngelakuin hal keji." Nisa kembali bersuara. Membuat Candra agak terkejut.
"Aku paham pemikiran kamu, Bim," lanjut Nisa. "Laki-laki idola seperti Zulfan biasanya punya pride yang tinggi. Ditolak itu melukai harga dirinya. Jadi bukan nggak mungkin kalau dia yang jadi pelakunya."
"Jadi, apa langkah kita sekarang?" tanya Farhan menengahi perdebatan yang terjadi.
"Menjangkau kehidupan mereka," jawab Nisa. "Gali informasi dari orang-orang terdekat mereka."
"Nggak mungkin. Sekolah menutup diri soal ini. Informasi yang kita dapat bakal terbatas," kata Farhan.
"Mungkin," kata Bima membuat tiga orang di sana mengerutkan kening, "kalau kita kenal salah satu dari orang di sekolah dan minta informasi dari dia," sahut Bima.