19.30
Rumah sederhana bercat hijau muda itu terlihat asri dengan bunga melati mendominasi halamannya. Pintu rumah itu tertutup rapat padahal waktu baru menunjukkan pukul delapan, malam masih belum terlalu larut.
Dari seberang jalan, Bima hanya berani menatap ke arah rumah itu. Nyalinya seperti belum terkumpul untuk turun dari mobil dan mengetuk pintu untuk bertamu.
Rumah itu pernah jadi tempat ternyaman baginya untuk berkunjung. Rumah penuh keramahan. Rumah penuh aroma masakan lezat. Rumah penuh keceriaan. Rumah gadis yang pernah ada di hatinya dan tetap ada di hatinya hingga kini.
Bima memejamkan mata sejenak. Dia menghirup oksigen dalam-dalam, mengenyahkan rasa gugupnya. Ini demi kasus, batinnya memantapkan diri. Sejurus kemudian dia turun dari mobil, dan melangkah menuju rumah yang sedari tadi dia amati. Rumah dengan bunga melati.
Benar saja, saat Bima baru masuk pekarangan, bau bunga itu sudah semerbak tercium. Tante Hana memang masih sama seperti dulu, batin Bima seolah begitu mengingat apa yang pernah dia ketahui dulu. Dulu sekali sebelum semua berakhir tragis tanpa perpisahan yang baik.
"Assalamu'alaikum," ucapnya. Sial! Suaranya justru mendadak serak begini.
"Walaikumsa-lam," wanita sekitar lima puluh tahunan terlihat terkejut melihat siapa yang muncul saat dia membuka pintu. "Bima," ucapnya kemudian yang ternyata belum lupa pada Bima.
"Tante masih kenal aku?" tanya Bima dengan gugup.
"Mosok Tante lali karo anak lanang?" (Masak tante lupa sama anak laki-laki sendiri?)
Respon hangat tante Hana membuat Bima lega. Wanita itu masih ramah seperti dulu. Masih menganggapnya sebagai anak lanang alias anak laki-lakinya.
"Tante apa kabar?" tanya Bima yang langsung menyalami dan mencium tangan wanita itu.
"Baik, Bima. Kamu gimana? Kamu nggak banyak berubah ya? Masih mirip aktor idola Tante." Tante Hana memang selalu ramah. Sosok ibu idaman Bima.
"Bima baik."
"Sudah berapa lama kamu pindah ke sini lagi? Kok baru ke sini?" tanya Tante Hana.
"Itu—"
"Ma, Rei tidur dul—" suara teriakan dari dalam rumah itu tidak jadi dilanjutkan setelah yang punya suara melihat sosok yang berdiri bersama sang mama di depan pintu.
"Hai, Reina," sapa Bima ragu. Bohong jika jantung Bima tidak berdebar saat nama itu dia sebutkan. Bohong jika Bima biasa saja saat kembali melihat wajah Reina di hadapannya.
Satu, dua, tiga, empat detik, tidak ada sapaan balik dari Reina. Gadis itu hanya menatap Bima dengan ekspresi dingin. Hingga kecanggungan pun menyergap.
"Rei, ada Bima ini. Kalian lama nggak ketemu kan?" kata tante Hana yang sepertinya mencoba mencairkan suasana.
Reina berdehem sedikit keras, kemudian tersenyum canggung. "Aku buatkan minum dulu," kata Reina akhirnya dengan nada datar.
Setelah menunggu beberapa menit dengan berbincang beberapa hal dengan Tante Hana, akhirnya Reina muncul di ruang tamu dengan secangkir kopi.
"Tante tinggal dulu ya, Bim. Tante ngantuk," pamit tante Hana seolah paham akan situasi dan membiarkan Reina berdua saja dengan Bima.
Kecanggungan pun kembali terasa di antara Bima dan Reina. Dulu mereka tidak begini. Dulu semua begitu hangat, akrab, dan nyaman.
"Apa kabar, Rei?" tanya Bima basa-basi. Dia sendiri juga tidak tahu harus memulai dari mana.
"Baik," jawab Reina singkat membuat Bima kelabakan bingung harus bagaimana. Sungguh sialan! Seorang Bimasena tidak pernah kehilangan kata saat menginterogasi penjahat. Berdebat juga keahliannya. Tapi di depan Reina, reputasi itu runtuh seketika.
"Aku tahu kita sudah nggak lagi dalam situasi akrab seperti dulu," Bima mencoba menata kalimatnya. "Tapi… aku butuh bantuan kamu." Daripada basa-basi, Bima akhirnya lebih memilih mengutarakan langsung niatnya.
Sumpah! Dia sejujurnya ingin membahas banyak hal dengan Reina soal hubungan mereka yang tidak lagi baik seperti dulu termasuk meminta maaf, tapi Bima rasa ini bukan saatnya.
"Bantuan apa?"
"Ini soal kematian murid kamu."
Seketika Reina langsung menegang. Sudah sejak kejadian itu dia memang susah tidur. Bayangan Ifa terus menghantuinya. Nurani Reina ingin menjelaskan banyak hal pada polisi, tapi sekolah melarang. Nyali Reina juga makin menciut saat tahu Bima lah polisi yang menangani kasus kematian Ifa.
"Aku butuh banyak informasi soal…," Bima menjeda sejenak. Dia sedikit ragu karena harus berbagi kasus dengan Reina. Bagaimanapun dia tahu persis, menjadi informan untuk polisi itu tidak mudah bahkan kadang begitu merepotkan dan mengancam jiwa.
"Soal?" Reina menanyakan kelanjutan kalimat Bima yang menggantung di udara.
"Soal Zulfan, Liyara, dan hubungan mereka berdua dengan Ifa," kata Bima akhirnya.
"Kenapa Zulfan dan Liyara?" tanya Reina. Sejujurnya dia cukup tahu perkara Liyara dan gengnya yang memang sejauh ini mendominasi ekstrakurikuler English Club, tapi Reina ingin tahu sejauh apa yang polisi ketahui soal anak-anak itu.
Bima membuka zipper jaketnya. Dia mengeluarkan kertas print out hasil screenshot unggahan foto di Instagram Liyara yang sejak tadi dia simpan di dalam jaket.
"Kematian Ifa nggak bisa langsung disimpulkan bunuh diri. Ada luka gores yang sepertinya akibat penganiayaan."
Kalimat Bima itu membuat Reina terenyak.
"Polisi menemukan indikasi adanya perundungan di media sosial. Kami curiga ini ada hubungannya," lanjut Bima.
Reina masih terdiam belum menanggapi. Dia bingung. Demi Tuhan, nuraninya meronta-ronta ingin membantu, tapi akal sehatnya mengatakan kalau ini akan rumit. Apalagi jika Reina mengiyakan permintaan ini, itu sama artinya dia akan sering bertemu Bima.
Mati-matian Reina melupakan sosok menyebalkan yang sayangnya begitu tampan dan membuatnya jatuh hati itu bertahun-tahun setelah dia ditinggal pergi tanpa kata pamitan. Oleh karenanya dia tidak ingin dengan mudah menjadi dekat lagi dengan Bima. Bisa kacau semua kenangan yang sudah dia kubur rapi selama ini.
"Bantu kami, Rei. Please!" Pinta Bima sambil menatap Reina lekat. Dia benar-benar memohon.
Sialan! Sialan! Sialan! Wajah memohon Bima membuat hati Reina luluh lantak. Salahkan Reina yang selalu lemah dengan bujukan Bima.
"Aku…" Aargh! Susahnya untuk mengambil keputusan. "Aku nggak bisa janji, Bim, maaf," kata Reina akhirnya.
Bima terlihat menunduk. Siapa dia berani-beraninya minta bantuan Reina. Harusnya dia sadar jika hubungan mereka sudah tidak seperti dulu. Hubungan mereka sudah merenggang bahkan terputus semenjak Bima pergi meninggalkan Reina tanpa kata pamitan. Ya, harusnya Bima sadar akan hal itu.
Bima melirik kopi buatan Reina di meja. "Aku minum ya?" Reina mengangguk sebagai jawaban.
Satu senyuman tipis, sangat tipis terlihat samar di wajah tampan Bima setelah menyeruput kopi itu. Bahkan Reina yang berada di sebelahnya pun tidak menyadari senyum itu.
Bima memang penikmat kopi sejak remaja. Bahkan kopi yang Bima sukai terbilang unik. Reina tahu soal itu dulu. Seduhan kopi dengan gula atau krimer yang banyak, sangat banyak dan dominan. Dan malam ini, Bima masih merasakan kopi sesuai seleranya. Reina tidak lupa.
"Aku pamit ya, Rei. Maaf udah ganggu malam-malam. Aku benar-benar berharap kamu bantu aku," pamit Bima setelah menghabiskan kopinya. Tentu saja dalam kondisi saling diam dengan Reina.
Reina lagi-lagi hanya mengangguk. Sudah berapa kali dia memutar bola mata untuk menghindari tatapan Bima.
"Terima kasih kopinya," kata Bima canggung. "Kamu memang pengingat yang baik."
Kalimat terakhir Bima sukses membuat pipi Reina memerah.
"Pergi dulu. Selamat malam," pamit Bima sekali lagi.
"Bim," panggil Reina tiba-tiba. Bima menghentikan langkahnya kemudian menoleh.
"Aku… aku hubungi kamu kalau nanti memungkinkan buat kasih informasi."
Senyum mengembang penuh kelegaan langsung terlihat di wajah Bima.
"Makasih, Rei. Makasih." Tanpa sadar, Bima meraih tangan Reina dan mengguncang-guncangnya seperti dulu biasa dia lakukan saat Reina mengabulkan permintaannya.
Tentu saja, perlakuan itu membuat Reina mematung.