Nadia melupakan semua pemikiran negatif yang memenuhi otaknya. Ia harus berusaha untuk berpikir positif supaya kejadian buruk yang tidak ia inginkan itu tidak terjadi. Gadis cantik itu langsung sibuk menyiapkan pesanan Rafa, sambil sesekali melirik ke arah Rafa yang sedang sibuk memainkan ponselnya.
Selesai menyiapkan pesanan Rafa, Nadia segera mengantarkannya. Gadis itu menundukkan kepalanya enggan menatap Raka, ia tidak mau jika diajak berbincang lagi olah Rafa. Namun sayangnya, Rafa sepertinya sangat tertarik pada Nadia.
"Nadia- " panggil Rafa saat Nadia hendak kembali ke stand-nya.
"Iya?" gadis itu menoleh.
"Apa aku boleh membantu mu bekerja hari ini?"
Nadia menautkan kedua alisnya bingung. Untuk apa Rafa repot-repot membantu dirinya? Terlebih ini sudah sore dan bukankah Rafa seharusnya segera pulang ke rumahnya. Apa Rafa ini tidak takut jika nanti di marahi oleh orangtuanya?
"Membantu ku? Untuk apa? Aku bisa sendiri," sahut gadis itu dengan nada sedikit ketus.
"Emm, aku hanya ingin membantu mu saja. Tanganmu sedang sakit bukan?" bujuk Rafa.
"Ini sudah tidak ap--"
Rafa langsung berdiri dari duduknya dan menghampiri Nadia. Remaja laki-laki itu menyatukan kedua telapak tangannya memohon.
"Ku mohon..." Rafa merengek manja dengan puppy eyes yang sangat menggemaskan.
Oh tuhan, ada apa dengan anak lelaki ini. Kenapa dia bisa berubah-ubah setiap saat? Menjadi tegas, menjadi perhatian, menjadi ramah, dan sekarang menjadi manja. Apa dia punya kepribadian berganda ganda?
Nadia tidak bisa berpikir lagi, otaknya seakan-akan sudah blank karena tindakan Rafa. Gadis itu menggelengkan kepalanya dengan cepat tanda bahwa ia benar-benar tidak mau di bantu bekerja oleh Rafa.
Tinggg...
Lonceng pintu kedai itu berbunyi. Pertanda ada pelanggan masuk. Dengan cepat Rafa menghampiri pelanggan itu, yang tak lain dua orang mahasiswi. Entah dari universitas mana.
"Selamat datang di Cafe Berry. Kakak mau pesan apa?" sambut Rafa ramah plus eyesmile menawannya.
Nadia melotot sempurna, ia benar-benar tidak percaya Rafa akan melakukan itu.
"Wuah... Aku baru tau kedai ini punya pegawai paruh waktu yang tampan, aku pikir hanya gadis SMA itu saja," ucap salah satu dari mereka.
"Aku juga baru tau..." timpal temannya sambil terus menatap Rafa tanpa berkedip.
Dua mahasiswi itu seakan terpana dengan ketampanan Rafandra, mereka tidak bisa mengalihkan pandangan mereka dari remaja tampan itu. Dan hal ini justru membuat Nadia tidak menyukainya. Benar-benar tidak menyukainya karena gadis itu beranggapan bahwa Rafa sedang menggunakan Visual nya untuk menarik pelanggan.
Nadia tidak menyukai hal yang seperti itu.
"Jadi, mau pesan apa?" tanya Rafa sekali lagi dengan senyuman canggung.
"Ah... Coffe latte dua..." ucap salah satu mahasiswi itu.
Rafa tersenyum tulus dan menganggukkan kepalanya. "Baiklah, akan segera di siapkan... Mohon di tunggu ya, kak. " sahutnya sopan.
Dua mahasiswi itu seakan meleleh di tempat karena senyuman Rafa. Sementara Rafa menggaruk tengkuknya yang tak gatal karena ia sama sekali tidak paham dengan tatapan dua orang yang lebih dewasa darinya itu.
"Hei, siapa yang meminta mu lancang seperti itu? Aku bahkan tidak mengiyakan permintaan mu untuk membantu ku bekerja di sini," ketus Nadia.
"Diamlah, atau kamu bisa mengusir pelanggan mu. Lagipula mereka sepertinya senang-senang saja kalau aku yang melayani mereka," sahut Rafa sambil sibuk menyiapkan pesanan.
Nadia mendengus kesal. Kenapa Rafa bertindak sesuka nya? Nadia bahkan belum mengiyakan permintaan Rafa. Sungguh menyebalkan bagi Nadia.
"Tapi, Kamu nggak seharusnya lancang seperti ini. Bagaimana jika nanti pemilik kedai tau? Apa yang harus aku katakan?" ucap Nadia sembari mengikuti setiap gerakan Rafa yang sedang menyiapkan pesanan.
Rafa berhenti sejenak, kemudian menatap Nadia. "Kamu tenang aja, aku di sini bukan buat kerja. Aku cuma mau bantuin kamu. Itu aja," sahutnya.
"T-tapi, aku nggak perlu bantuan darimu. Aku bisa melakukan pekerjaan ku sendiri," oceh Nadia.
"Ck, sudahlah. Lebih baik kamu bantu aku menyiapkan pesanan daripada mengoceh tidak jelas seperti ini. Mengerti?" tegas Rafa.
"Tidak! Aku tidak mau mengerti dirimu. Aku minta kamu untuk pergi dari sini," ucap Nadia dingin.
Rafa langsung terdiam mematung mendengar itu. Nadia seperti tampak marah padanya, walaupun nada bicaranya tidak seperti orang yang sedang emosi, namun Rafa tau kalau Nadia sedang tidak main-main dengan perkataannya.
Remaja laki-laki itu langsung meletakkan gelas kopi yang ia pegang, lalu menatap Nadia dengan tatapan yang aneh serta tidak mengerti tentang apa yang dikatakan oleh gadis cantik itu.
"N-nad, kamu marah sama aku?" lirih Rafa.
"Menurut kamu?" sahut Nadia datar.
Rafa menatap Nadia dengan tatapan sendu, ia merasa bersalah pada Nadia. Tapi, apakah yang ia lakukan itu salah? Rafa hanya berniat membantu Nadia untuk bekerja hari ini karena ia tahu Nadia pasti sangat lelah sehabis sekolah tadi.
"Niat aku baik karena mau bantuin kamu, aku sama sekali nggak ada maksud buat ikut campur dalam pekerjaan kamu. Tapi, kenapa kamu justru marah sama aku?" tanya Rafa yang tak mengerti Nadia.
"Aku tau niat kamu baik, tapi aku sama sekali nggak butuh itu. Lebih baik kamu pulang karena pasti orangtua kamu udah nyari in," jawab Nadia, gadis itu mengambil alih gelas kopi yang tadi di letakkan oleh Rafa.
Nadia acuh pada Rafa, bahkan tidak menunggu tanggapan dari remaja tampan itu. Ia berlalu begitu saja mengantarkan pesanan dua mahasiswi tadi. Sementara Rafa menatap Nadia dengan bingung karena ia juga tidak tau kenapa Nadia bisa berubah sedingin itu padanya. Rafa tidak mengerti bahwa apa yang ia lakukan itu, salah karena pada dasarnya buat Rafa itu benar-benar tulus hanya ingin membantu Nadia sebagai teman barunya.
Dua mahasiswi itu memperhatikan pertengkaran antara Rafa dan Nadia. Hingga saat Nadia mengantarkan pesanan mereka, kedua mahasiswi itu menegur Nadia.
"Dek, jangan kasar-kasar sama temannya. Kan niat dia baik buat bantuin kamu," ucap salah satu diantara dua mahasiswi itu.
"Iya, nggak boleh tau ngomong kayak gitu sama temannya sendiri," imbuh satunya lagi.
Nadia tersenyum canggung. "Saya tau, Kak. Tapi, saya sendiri juga punya alasan kenapa saya harus berbicara seperti itu pada teman saya," sahutnya.
"Dia salah atau enggak, setidaknya dia nggak buat masalah kenapa nggak di biarin aja sih, dek?"
"Maaf, kalau kakak di sini hanya mau ikut campur urusan saya, lebih baik kakak pergi saja. Kakak tidak tau apa masalah saya, jadi tolong jangan ikut campur!" tegas Nadia.
Kedua mahasiswi itu langsung terdiam tak bersuara. Sementara Rafa sudah mengambil tas sekolahnya untuk segera pergi meninggalkan kedai itu. Remaja itu menatap Nadia berharap Nadia menghentikan langkahnya, namun Nadia justru tidak perduli sama sekali. Nadia kembali ke stand-nya dan duduk melihat pemasukan kedai itu.
Rafa menghela nafas dan segera pergi keluar dari kedai tanpa berpamitan dengan Nadia. Setelah keluar ia memejamkan matanya dan menghela nafas lagi.
"Aku tau pasti ada alasan di balik sifat kamu yang seperti ini, Nad." ucapnya sambil tersenyum kecut.
Sementara Nadia sendiri juga tersenyum miris setelah kepergian Rafa.
"Maaf jika kata-kata ku terlalu kasar. Tapi, aku benar-benar tidak mau kalau Bianca semakin membenci ku karena dirimu!" gumamnya.
Memang hanya itu yang bisa Bianca lakukan, jika ia tidak membuat jarak antara dirinya dengan Rafa, maka kemungkinan besar Rafa juga akan semakin berusaha untuk dekat dengannya dan itu bukanlah hal yang di inginkan oleh Nadia. Maka, sebisa mungkin Nadia benar-benar harus bisa menjaga jarak di antara dirinya dan Rafa sebelum Bianca salah paham padanya.
.