Chereads / AbiMayu / Chapter 2 - Chapter 2 Lamaran?

Chapter 2 - Chapter 2 Lamaran?

Jangan lupa tekan bintang dan beri komentar :,-)    

Maafkan jika ada typo ;)

.

.

.

1 Januari, 2010.

Mayu cemberut di kursinya dengan wajah kotor dipenuhi remah-remah keripik kentang. Mario__abangnya, bergerak cepat dari ruang tengah ke atas sofa di mana Mayu berada, yang tengah menonton tv tanpa semangat. Lantas dijahilinya adik perempuannya itu dengan tarikan di rambut. Mayu menjerit sakit kemudian. Wajahnya kian suram dan sumpah serapah mengalun memenuhi ruangan. Mamanya sampai melempar garpu dari arah dapur.

Berhasil, sebab dua saudara itu akhirnya diam.

Mayu tidak punya tenaga. Tulangnya serasa remuk dan indra geraknya sukar digerakkan. Tetapi tampaknya Mario tidak peduli akan keadaan adiknya. Pemuda 17 tahun itu dengan sengaja menumpahkan minuman cola di atas rambut Mayu. Jangan tanya, sebab Mayu langsung melotot. Gadis kelas satu SMP itu berteriak dengan suara keras, tidak ingin kalah, Mayu bangkit lantas mengejar abangnya menuju lantai dua.

Lagi-lagi, kegaduhan terjadi di kamar Mario.

Sebagai balasan, ibunya melempar mereka dengan seember air.

Tidak ada alasan untuk Mayu tidak bertenaga kecuali Abi tidak ada, seperti sekarang. Tahun baru kali ini, Abi dan keluarganya kembali ke Bandung mengunjungi nenek dan kakeknya. Biasanya, saat menyambut tahun baru mereka akan bermain dengan kembang api sampai puas. Makan barbeque dengan keluarga sembari menanti pergantian tahun. Tetapi kemarin dan hari ini, ia hanya bisa merayakannya dengan keluarganya sendiri.

Mayu semakin jengkel, saat harus bermain kembang api hanya berdua dengan abangnya yang menyebalkan. Mario sama sekali tidak membiarkan Mayu membakar kembang apinya. Dia menyembunyikan dan merampas semua korek api, membuat Mayu kelimpungan sendiri. Bahkan menghabiskan makanan yang tersisa di meja.

Sungguh, Abang terlaknat.

Sebelum ke Bandung, Abi mengatakan akan kembali ke Jakarta setelah liburan semester selesai. Itu artinya, Abi tidak akan pulang sampai semester baru dimulai.

Sekarang Mayu berumur 12 tahun, sama halnya dengan Abi. Mereka melanjutkan sekolah di Smp yang sama__Smp Nusa Bangsa. Tidak jauh-jauh dari kehidupan kanak-kanak mereka, Mayu dan Abi masih seterkenal sebelumnya. Mayu dengan tingkah bar-barnya, dan Abi dengan prestasi pun wajah rupawannya.

Memasuki awal masa remaja, Abi benar-benar berada dalam masa gemilangnya. Tidak di kompleks, di sekolah pun dia sama terkenalnya. Sayangnya, dia selalu menolak saat dimintai masuk menduduki keanggotaan OSIS. Alasan simpel, Abi tidak ingin ribet.

Abi tumbuh semakin baik, meski tidak suka berolahraga tetapi bentuk tubuhnya tetap bagus. Tubuhnya tinggi, tidak kurus ataupun gemuk. Tahun ini tingginya telah mencapai 178 cm, dan masih akan bertambah seiring usianya. Mengenai wajahnya, jangan tanyakan sebab sudah pasti ketampanannya tidak memudar.

Bisa dibilang, Mayu pun tumbuh dengan baik. Tetapi penampilan beserta sifatnya sama sekali tidak berubah. Dia masih se-jorok dulu, se-nakal dulu, dan se-malas dulu. Rambutnya pun masih dipotong pendek hingga bahu. Mengenai tinggi badannya, tentu saja ikut bertambah dan tahun ini mencapai 158 cm, selisih 20 cm dengan tinggi Abi.

Sudah empat hari sejak tahun baru, Mayu masih se-lesuh biasanya. Bukannya tidak punya teman lain, hanya saja ini hari libur dan ia sangat malas berkunjung ke rumah Diana__teman sekelasnya. Meski mereka berada di sekolah yang sama, Abi dan Mayu tidak berada dalam kelas yang sama. Kelas Mayu adalah kelas para perusuh, 1C. Dan 1A adalah kelas Abi sebagai kelas prestasi.

Jangan mengira mereka tidak dekat di sekolah, sebab nyatanya itu salah. Setiap kali bel istirahat, Mayu akan menghampiri kelas Abi dan menyeret pemuda lemas itu untuk makan siang di bawah pohon taman sekolah. Mayu akan memaksa meski Abi terlihat hampir mati karena tidak suka kepanasan.

Perbedaan besar mereka jelas terlihat. Abi yang tidak suka membuang tenaga, dan Mayu yang energik.

Satu minggu akhirnya berlalu. Pagi-pagi buta Mayu sudah terbangun, lantas dengan wajah mengantuk dia menunggu keluarga Abi pulang di depan teras rumah mereka. Tidak lupa membakar obat nyamuk dan menggunakan selimut. Lalu kembali tertidur di atas lantai. Tepat pukul sembilan kurang empat menit, Abi beserta ibu dan ayahnya tiba di rumah. Tawa Anti seketika pecah melihat siapa yang tertidur di teras rumahnya.

Junaedi geleng kepala dan Abi menghembuskan nafas.

Abi segera meletakkan tas bawaannya, lalu menghampiri Mayu yang masih bergelung di dalam selimutnya. Tanpa mengatakan apapun dia segera menarik selimut Mayu lantas memaksanya duduk meski masih tertidur. Selanjutnya menepuk wajah Mayu dengan kedua telapak tangannya dengan keras.

"Yuyu, sudah siang." Abi berbisik. Meski hanya bisikan, tetapi Abi yakin Mayu akan terbangun karena mendengar suaranya.

Selang beberapa menit, Abi menemukan kelopak mata Mayu mulai bergerak terbuka. Sebagai sambutan Abi tersenyum lemas menatap Mayu yang sudah sepenuhnya membuka mata.

"Abiiiiiii!!!" Mayu berteriak, bersiap memeluk leher Abi tetapi pemuda itu segera bangkit menghindar. Abi mencibir lantas menjentik kening Mayu.

"Jangan berani main peluk, Yuyu. Tidak baik, kamu perempuan." Katanya pelan. Mayu hanya cemberut.

Mayu bangkit berdiri, menyalami Tante Anti dan om Junaedi. Dia menyengir lantas berkata. "Selamat tahun baru om, tante."

Anti tersenyum sumringah, mengelus kepala Mayu, lalu membalas. "Ia kamu juga, Yu."

Manik Junaedi mengedar ke arah rumah Mayu. "Papa sama mamamu mana, Yu? Belum bangun?" Tanyanya. Tangannya terangkat menunjukkan sekantong penuh makanan, "ini, ada sedikit oleh-oleh, dari Bandung."

Mayu ikut menatap ke arah rumahnya. "Oh, mereka pasti sudah bangun, mungkin masih di dalam." Kata Mayu. "kalau begitu, ke rumah saja sekalian." Tawarnya. Tanpa menunggu jawaban, gadis itu sudah meraih tangan Abi dan menyeretnya menuju rumahnya.

Abi mendesah, dia harus melewati pagar 50 cm lagi. Menyusahkan.

Ketika Mayu membuka pintu rumahnya yang tidak dikunci, dia berteriak memanggil penghuni rumah. Alhasil Tiara muncul dari arah dapur sembari membawa seember air. Bersiap melemparkanya pada Mayu. Tetapi dia segera mengurungkan niat, lantas meletakkan embernya kembali lalu berjalan cepat memeluk Anti di ambang pintu.

"Aduh, baru juga seminggu. Tapi sudah rindu saja aku ini. Ayo masuk." Tiara menuntun mereka memasuki rumah. Melirik Mayu, dia berkata. "Yu, panggil papamu, dia ada di rumah pak Harto." Katanya judes.

Mayu mencibir, hampir membalas perkataan mamanya, tetapi Abi kembali menggetok jidatnya, "sana panggil papamu, Yuyu." Abi sebal, Mayu sangat menjengkelkan.

Mayu cemberut. "Kan abang Mario bisa panggil sendiri. Kenapa Mayu sih. Aku kan mau melepas rindu sama Abi di kamar."

Abi mendesah pasrah, lagi-lagi menjewer Mayu. "Bicaramu itu, Yuyu. Tolong perhatikan." Begini saja, tenaga Abi sudah terkuras habis. Kalau bukan karena Mayu dia tidak akan mau melakukan ini. "Ya sudah, aku temani ke sana." Katanya pada akhirnya.

Mayu menyengir. Tangannya dengan sigap menggandeng Abi disisinya. Meski terus menolak Abi tidak bisa melepaskan Mayu dengan segala kekuatan tangannya.

Abi berkata dengan nafas terputus, nyaris hilang. "Yuyu, gosok gigi lalu cuci muka." Abi memelas, dia tidak tahan lantas menutup hidungnya. "Mulutmu bau, pipimu ada sisa iler, dan kotoran matamu masih menggantung. Jujur, aku mau muntah." Katanya, sudah hampir mati. Badannya bergetar ngeri.

Mayu mengeluarkan kata 'HAH' dari mulutnya, mencoba memastikan apakah mulutnya benar-benar bau. Sedetik kemudian keningnya mengernyit, lalu menatap Abi. "Bi, mulutku tidak ada baunya. Mungkin kotoran hidungmu sudah basi, makanya bau setiap kali kamu mengambil nafas." Mayu berkata tanpa berpikir. Dia tidak sedang membalas Abi, tetapi dia mengatakannya tanpa sadar.

Abi memejamkan mata. Rasanya, nyawanya sudah hampir hilang.

Dari arah pintu, Tiara berteriak. "Abi, menghindar." Dengan cepat Abi melepas lengan Mayu di tangannya. Bergeser ke samping beberapa senti, kemudian suara byurr terdengar sangat keras.

Mayu mengerjapkan mata berulang kali. Setetes demi setetes air, menetes perlahan dari arah dahinya menuju leher. Seluruh tubuhnya basah kuyup. Dan ia baru menyadari, jika mamanya baru saja menyiramnya dengan air melalui ember yang dia bawa dari dapur.

Mayu berbalik, lantas mendapati mamanya yang sudah menatap garang.

"Beraninya kamu mengatakan upilnya Abi basi. Yang basi itu kamu bodoh. Cepat, sana mandi. Biar abangmu yang kerempeng itu memanggil papamu." Maki Tiara tanpa pandang bulu.

Mayu segera cemberut, lantas berjalan masuk ke dalam rumah bersiap mandi. Abi ditempatnya justru terkekeh kecil. Sekarang dia tahu, dari mana sifat bar-bar Mayu berasal.

Abi menggeleng dramatis. Kemudian langkahnya terayun menuju ruang tamu Mayu. Di sana ibu dan ayahnya sudah terpingkal dengan tingkah Tiara dan anaknya.

Lalu, mereka melepas pertemuan__

.

.

.

Dengan cerita.

Sudah tiga puluh menit Abi berdiri di depan pagar rumah Mayu. Lima belas menit lagi dan mereka akan terlambat ke sekolah mengawali semester genap. Melirik pintu rumah Mayu yang masih tertutup rapat, Abi menghela nafas panjang. Sepertinya, Yuyu-nya belum bangun. Benar-benar gadis pemalas.

Abi tidak punya pilihan lain selain melakukan ini__

Satu menit sebelum gerbang sekolah ditutup satpam. Abi muncul dengan tampang setengah mati, setengah hidup. Di sampingnya ada Mayu yang masih menguap belum sepenuhnya terbangun. Abi tidak menyangka dia bisa melakukan ini. Membangunkan Mayu di kamarnya, memaksanya mandi, dan menyeretnya sampai di sekolah dengan berlari. Smp mereka tidak jauh dari kompleks, hanya lima belas menit berjalan kaki dan mereka akan tiba. Tetapi waktu tiga belas menitnya digunakan Mayu untuk mandi dan lain-lain.

Jadi beginilah keadaan Abi setelah melakukan hal tidak biasa. Semua karena Mayu.

Sebelum membuka gerbang, si satpam melirik jam tangannya. Lantas mengangguk dan menggeser pagar besi itu setelah memastikan Abi dan Mayu tidak terlambat. Tersisa satu menit lagi.

"Terima kasih pak." Kata Abi. Si satpam tersenyum sembari menggangguk. Kemudian Abi pergi, tangannya menyeret Mayu yang masih menguap.

"Yuyu, sana masuk kelasmu. Sebentar lagi belnya bunyi." Abi mendorong Mayu memasuki kelasnya. Tanpa sadar mendorongnya cukup keras. Kalau Diana tidak segera menangkap Mayu, gadis itu pasti sudah mencium lantai.

Sebagai permintaan terima kasih. Abi tersenyum manis pada Diana. Lalu berkata, "aku berhutang, Diana. Terima kasih sudah menahan Mayu, aku hampir membuatnya jatuh."

Diana segera merona. Abi sangat tampan dan terlihat keren. Mendapat senyumnya adalah sesuatu yang langkah. Cepat-cepat Diana mengibaskan tangan. "Tidak perlu begitu, Abi. Aku melakukannya karena Mayu adalah temanku." Kilahnya.

Abi mengangguk. Dia tersenyum lagi. "Baiklah. Kalau begitu aku titip Yuyu." Pintanya.

Kening Diana mengerut, dia menatap Abi sedikit heran. "Yuyu? Siapa itu?"

Abi terkejut, sudah pasti Diana tidak tahu. Panggilan itu adalah panggilan khusus yang Abi buat untuk Mayu sejak kecil. Menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, Abi berkata, "ah, itu hanya panggilan masa kecil kami." Katanya.

Diana merona lagi. Dia pikir Abi hanya tidak menyadari jika memanggil seseorang dengan nama seimut itu bisa berarti lain. Kesannya jadi romantis.

Diana pun memilih mengangguk. "Baiklah."

Dan suara bel yang nyaring,

.

.

.

Memutus percakapan mereka.

Mayu merasa ingin menangis. Wajahnya pucat dan keningnya dipenuhi bulir-bulir keringat. Suara cekikikan teman sekelasnya di belakang, terdengar seakan mengejek dirinya yang tengah berdiri tepat di depan papan tulis.

Pelajaran kedua mereka adalah matematika, dan karena masih mengantuk Mayu tertidur di dalam kelas saat Ibu Wati sedang mengajar. Sejujurnya, guru muda itu tidak galak. Hanya saja dia paling benci dengan siswa yang tertidur di kelasnya, ketika dia sudah lelah menjelaskan ini itu. Dia merasa tidak di hargai, dan yakin jika guru manapun akan merasa demikian.

Sebagai hukuman, Mayu diperintahkan mengerjakan soal dipapan tulis. Tetapi sudah lima belas menit dia masih berdiri di sana dengan tangan gemetar. Tangannya hanya bergerak menulis kata 'jawab', kemudian menghapusnya dan menulisnya kembali. Terus begitu sampai tidak mengerjakan apapun.

Ibu Wati bahkan sudah bosan dengan kegiatan Mayu. Sembari membuang nafas kasar, dia mendekat dengan tangan terlipat di dada. "Lain kali, jangan tidur Mayu. Perhatikan saat ibu sedang menjelaskan. Saya disini bukan untuk mendongeng agar kamu tidur." Katanya tenang. Tapi sorot matanya menunjukkan kekesalan.

Mayu mengangguk dengan bibir cemberut. Dia mengaku salah.

Ibu Wati menatap Mayu. "Ya sudah, duduk sana. Jangan diulangi." Katanya.

Lagi-lagi Mayu mengangguk mengiyakan.

Diana hampir menyemburkan tawanya saat Mayu berjalan ke arahnya, lalu duduk di bangkunya, tepat di belakang Diana. Dia tidak menyangka akan ketahuan. Pada pelajaran pertama, dia berusaha menutupi Mayu yang sedang tidur, dan itu berhasil sampai pelajaran sejarah berakhir. Tetapi tampaknya, dia masih kalah dengan ketelitian ibu Wati. Buktinya wanita berkacamata itu menyadarinya.

Dan hasilnya, Mayu kena hukuman. Wajah manyun dan mimik bersalahnya terlihat lucu bagi Diana, karena itulah dia menahan tawa.

Mayu melotot saat melewati meja Diana. Lalu berbisik, "ini salahmu." Tuduh Mayu tidak terima.

Diana terkekeh, lantas balas berbisik kepada Mayu yang sudah duduk di kursinya. "Enak saja, dengkuranmu terlalu keras. Ckck."

Mayu mendelik, "huh!" 

.

.

.

Sampai pada pelajaran terakhir, bel pulang berdering nyaring memecah kesunyian kelas. Selepas guru mapel keluar, orang pertama yang meninggalkan kelas adalah Mayu. Dengan langkah cepat dia berlari ke arah ujung koridor, dan berhenti tepat di depan pintu berplat 1A. Melihat kelas prestasi masih belum pulang dan seorang guru masih ada di dalam. Mayu terpaksa berdiri di luar, menunggu Abi.

Mengintip sedikit, Mayu bisa melihat Abi yang sedang bersandar di kusen jendela. Wajahnya lemas dan lesuh seperti biasa. Sesekali bahkan menguap, tetapi anehnya gurunya tidak menegur. Mayu merasa iri. Apakah ini kekuatan Abi sebagai murid cerdas? Entahlah.

Sebagai pemuda berwajah tampan tentu Abi memiliki banyak penggemar, Mayu sudah tahu. Dari tempatnya, dia pun bisa melihat beberapa siswa perempuan sesekali mencuri pandang pada Abi. Namun Abi tidak menyadarinya, atau justru mengabaikannya.

Tanpa Mayu duga, Abi menoleh dan manik mereka bertemu. Abi tersenyum lemas pada Mayu, lalu dibalas Mayu dengan cengiran khasnya. Dari sana diapun bisa melihat Abi terkekeh.

15 menit terlewat

Mayu dengan sigap meraih tas Abi tepat setelah pemuda itu keluar dari kelas. "Berikan padaku, kita masih harus jalan kaki menuju rumah. Nanti berat." Abi berdehem sebagai balasan, membiarkan Mayu mengambil alih tasnya.

"Yuyu, lewat penjual bakso nanti, makan, yah. Aku lapar." Pinta Abi tidak biasanya. Pasalnya, perkataan itu selalu Mayu yang bilang. Jadi gadis itu sedikit heran.

"Kamu lapar? Memang tadi tidak makan siang?" Tanya Mayu.

Abi mengangguk. "Kamu tidak datang ke kelasku. Biasanya hanya kamu yang ajak makan siang." Jawab Abi sekenanya. Ia merasa sangat lemas, setelah berlarian pagi-pagi tenaganya sudah terkuras sampai sekarang karena belajar, ditambah tidak makan siang.

Mayu merasa bersalah. Hari ini dia memang tidak ke kelas Abi karena tertidur. Dia benar-benar mengantuk sebab semalam bang Mario mengajaknya nonton film horor yang katanya baru rilis. Mayu bisa saja menolak, namun abangnya memohon sambil berlutut saking inginnya menonton, tetapi tidak berani seorang diri. Lantas mengajak Mayu.

Filmnya baru selesai setelah jam di dinding menunjukkan pukul 2 pagi. Ada dua file, masing-masing memiliki durasi dua jam. Jadi mereka bisa menyelesaikannya dalam waktu empat jam lebih sedikit. Alih-alih selesai tepat waktu, tetapi justru memakan waktu sangat lama, sebab tangan bang Mario tidak berhenti menekan pause di laptopnya hanya untuk berteriak. Terus seperti itu sampai pukul 2.

"Kenapa tidak ke kantin saja sendiri?" Tanya Mayu. Maniknya menatap Abi yang berjalan setengah sadar di sampingnya. Sepertinya tenaganya benar-benar terkuras.

Abi menatap Mayu, matanya nyaris terpejam. Dia berkata. "Aku tidak sanggup mengantri, biasanya kamu yang memesan makanan." Katanya, hampir mati.

Mayu mendesah. "Ya sudah, lain kali aku tidak akan tidur lagi." Mayu berpikir sejenak lalu menatap Abi. "Bi, bagaimana kalau kubelikan kursi roda. Kamu tidak harus repot karena berjalan. Biar aku yang dorong."

Abi tampak berpikir. Itu bukan ide yang buruk, dengan begitu dia bisa berhemat energi. Tetapi kemudian Abi menggeleng lemah. "Tidak perlu, aku tidak mau Yuyu-ku bekerja keras." Abi menatap Mayu yang berjalan di sampingnya, "kamu harus sehat. Biar kalau kita nikah nanti lahirannya lancar." Ujar Abi.

Manik Mayu melebar. Seketika langkahnya berhenti lantas memaksa Abi ikut berhenti. Mayu menatap Abi lekat, wajahnya menyiratkan kebingungan. Perkataan Abi membuatnya linglung.

"Abi." Panggil Mayu.

Abi menjawab, "hmm."

Dengan tenggorokan kering Mayu berkata, "kamu mau nikah sama aku yah, Bi?" Tanyanya, mencoba memastikan pendengarannya akan ucapan Abi beberapa detik lalu.

Abi terdiam cukup lama, lalu tanpa menjawab dia melangkah meninggalkan Mayu di belakang. Rasa lemasnya seketika hilang begitupun rasa laparnya.

Setelah cukup jauh dari Mayu, Abi pun berkata dengan pelan. "Nanti Yuyu, setelah aku cukup kuat untuk memintamu dari orang tuamu. Sekarang aku bukan apa-apa."

Abi tidak akan mungkin mengatakan itu tepat di depan Mayu. Alasannya sudah jelas.

Langkah Mayu terdengar keras ditelinga Abi. Sepatunya seolah menghentak tanah dengan kekuatan tidak main-main. Abi rasa, Mayu sedang berlari mengejarnya. Niatnya awalnya bukan untuk meninggalkan Mayu, tetapi untuk menghindar. Masa depan mereka masih panjang dan masih akan terus berjalan.

Abi tidak pernah mengatakan kepada siapa pun mengenai perasaannya pada Mayu. Mungkin ini hanya rasa suka biasa, pikirnya. Bagaimanapun, Mayu adalah satu-satunya perempuan yang paling dekat dengannya sejak kecil. Sebelum ini, dia tidak ingin berurusan dengan lawan jenis karena merepotkan. Tetapi Mayu sama sekali tidak membuatnya repot. Malah sebaliknya. Mungkin itulah yang menjadi awal rasa sukanya.

Mayu menarik seragam Abi. Wajahnya serius dan tatapannya menajam. "Abi__."

"Hanya bercanda." Potong Abi. Pemuda itu memasang senyum manis untuk Mayu. Dia berharap Mayu akan berhenti menanyainya.

Mayu merasa tidak puas. Tetapi melihat Abi yang tidak tahan berdiri terlalu lama membuatnya mengurungkan niat. Lantas, digandengnya lengan Abi menuntunnya menuju jalan pulang.

"Ya sudah, ayo pulang." Kata Mayu dibalas Abi dengan anggukan.

Lima belas menit berjalan, mereka akhirnya tiba di rumah. Saat melewati tukang bakso langganan, Abi sudah tidak ingin makan lagi. Mayu merasa heran tetapi dia menurut saja. Namun sebagai gantinya Abi meminta Mayu membelikannya untuk dibawa pulang. Sembari menenteng dua ransel dan sekantung bakso, Mayu berhenti tepat di depan pagar rumah Abi.

Terik matahari kian membakar Abi, dan pemuda itu sudah bercucuran keringat. Wajahnya kian lesuh pun tenaganya tersisa sedikit, nyaris pingsan. Kalau tidak ada Mayu yang menopang, dia mungkin sudah tiduran di tanah.

Mayu meletakkan tas beserta bakso milik Abi di atas meja teras rumahnya. Sebelum pulang, ia menyempatkan diri menyalami tante Anti lalu melompati pagar pendek 50 cm menuju halaman rumahnya sendiri. Dia bisa menyadari tatapan Abi yang lemas, ketika Mayu akan membuka pintu rumah lalu masuk.

Abi sendiri memilih masuk ke dalam rumahnya, setelah memastikan Mayu sudah masuk lebih dulu. Selepas makan, dia menuju lantai dua, di mana kamarnya berada. Di hempaskannya tubuh tegapnya di atas kasur, lalu menatap langit-langit kamar. Beberapa saat matanya terpejam lalu terbuka. Terus begitu sampai suara ibunya terdengar masuk ke dalam kamarnya.

"Abi, ada telfon untuk mu." Anti segera menyerahkan telfon rumah pada Abi. Puteranya masih terlihat lesu dan lemas. Tetapi itu sudah kodrat nya seorang Abi. Jadi, Anti tidak terlalu cemas.

Kening Abi mengernyit, tangannya meraih telfon.

"Dari Mayu."

"Hah? Untuk apa?"

"Mana ibu, tahu. Bicara saja." Kata ibunya, lalu keluar kamar.

Abi tidak habis pikir. Selama ini Mayu tidak pernah menelfon, kalau hanya ingin mengatakan sesuatu gadis itu pasti akan datang sendiri. Tidak perlu menelfon seperti sekarang.

Meski begitu, Abi tetap menjawab. "Halo?"

Jeda cukup lama dan Abi tetap menunggu.

Sampai kemudian wajah Abi menegang saat Mayu dengan jelas berkata dari balik telfon.

"Bi, jangan suka sama Mayu. Kita tidak punya jalan menuju pernikahan. Lagipula, umur kita masih muda, jalan masih panjang dan kamu bisa mendapatkan lebih baik."

Seketika Abi merasa jengkel. Dia membalas, "yah, jalan masih panjang. Karena itu aku tidak akan melakukannya sekarang, tapi nanti."

Kemudian panggilan terputus,

.

.

.

Dan perasaan belia mereka dirundung kegelisahan.