Jangan lupa tekan bintang dan beri komentar;)
Mohon maaf jika ada typo (^^)
.
.
.
April 2012.
Udara terasa sejuk dan lembap. Awan di langit seakan mendukung dengan suasananya yang mendung. Rintik-rintik hujan pun turun tidak lama kemudian. Terus begitu, sampai akhirnya hujan deras mengguyur. Lantas, bau tanah basah yang khas saat hujan ikut menyerbak memenuhi Indra penciuman. Lalu dibeberapa lubang jalanan, air menggenang berwarna kecoklatan, sontak terciprat ketika kendaraan menginjaknya.
Di bawah halte yang sudah tidak terpakai. Tiga murid Smp, spontan berteriak memaki saat cipratan kubangan air menyembur membasahi seragam mereka. Dengan wajah kesal, salah satu gadis berambut pendek sebahu, menepuk-nepuk roknya yang basah. Wajahnya jengkel luar biasa. Di sebelahnya, satu gadis lagi berambut panjang hingga pinggang, diatas kepalanya tersemat bando pink yang lucu. Tidak berbeda dengan teman gadisnya, dia pun ikut membersikan seragam putih birunya dari sisa-sisa air dan tanah. Mimiknya menyiratkan kekesalan yang sama.
Lalu, satu-satunya pemuda yang ada diantara dua gadis. Menunjukkan reaksinya yang jauh lebih mengejutkan. Wajahnya memucat, nyaris membiru. Bibirnya yang sudah keunguan bergetar dengan hebat. Tanpa peringatan, dia sontak terduduk di atas bangku halte dengan wajah pias terbengong.
Mayu segera mendekat, ditepuknya wajah Abi. Lantas berkata dengan nada panik. "Bi, jangan pingsan disini. Rumah masih cukup jauh, tolong bertahanlah." Mayu kian panik saat Abi tidak juga meresponnya. Reaksinya masih diam membisu. "Kamu bawa parfum?" Tanya Mayu.
Abi mengangguk kaku. "Di dalam tasku, tolong." Katanya hampir mati.
Cepat-cepat Mayu meraih tas ransel Abi di punggungnya. Membukanya lalu mengutak-atik isinya, mencari keberadaan parfum darurat yang selalu pemuda lusuh itu bawa.
"Ketemu." Mayu berteriak girang. Tanpa aba-aba disemprotkannya ke badan Abi hingga isi botolnya tersisa setengah. Dinda yang tidak tahan dengan wangi berlebihan lantas menutup mulut dan hidung.
"Syukurlah." Mayu mendesah lega melihat Abi. Pemuda itu sudah tampak lebih baik wajahnya pun tidak sepucat sebelumnya.
Diana mendekat, wajahnya cukup syok tidak menyangka kalau penyakit aneh Abi akan separah ini. Sebelumnya Mayu sudah menceritakannya, tetapi ia tidak pernah melihatnya secara langsung. Di hari lain, Abi hanya akan terlihat lesu atau lemas bahkan terkadang tidak kuat bergerak. Dan itu sudah biasa. Tetapi yang sekarang jauh lebih mengejutkan, pasalnya Abi sampai terlihat terguncang hanya karena terkena air kubangan__yang sedikit bau__dipakaiannya. Wajahnya bahkan nyaris tidak menunjukkan sisa kehidupan.
Dengan suara bergetar gugup Diana berkata. "Apa Abi selalu seperti ini dengan hal-hal kotor?" Tanyanya, berusaha selembut mungkin agar tidak menyinggung orang yang dimaksud.
Mayu terkekeh, "tidak juga. Dia selalu syok dengan berbagai bau." Kemudian berbisik. "Terutama keringat." Lanjut Mayu diselingi tawa kecil.
Manik Diana melebar, secepat angin ia mengendus dirinya sendiri, lalu menatap Mayu yang masih memasang senyum jahil. "Apa sekarang aku bau?" Tanyanya, panik.
Tawa Mayu yang nyaring lepas. "Tidak. Sebaliknya, Abi selalu menyuruhku meniru dirimu yang selalu harum."
Diana memerah. "Eh? Jadi aku harum kata Abi?"
Mayu mengangguk sembari tersenyum. Maniknya melirik Abi yang sedang memejamkan mata sambil bersandar di tiang besi yang menopang atap halte.
"Katanya aku selalu bau keringat, apalagi kalau habis olahraga. Baunya nyengat kayak bawang." Mayu lagi-lagi tertawa.
Tetapi Diana menatap Mayu prihatin. "Tapi kayaknya Abi tidak masalah, dia bahkan sering menempel padamu." Katanya.
"Hahahah...Itu karena dia bergantung padaku." Mayu melirik Abi kembali. "Benarkan, Bi?" Tanyanya.
Abi mengangguk masih dengan posisi yang sama.
Tanpa sadar, Diana tersenyum melihat dua orang itu. Menunduk sedikit mencoba menyembunyikan wajahnya yang merona malu, dia berkata, "aku jadi iri." Katanya.
Saat hujan mereda dan berhenti, mereka akhirnya pulang lalu berpisah dengan Diana yang arah rumahnya berbeda. Selama sisa perjalanan pun diisi dengan langkah tenang milik Abi dan Mayu. Mereka bertiga tidak selalu pulang bersama seperti sekarang, Diana punya toko bunga dan karenanya gadis manis itu selalu pulang lebih cepat. Diana harus membantu ibunya di toko.
Mayu memegangi lengan Abi mencoba membantunya menopang tubuh pemuda itu. Langkah kaki mereka terasa lambat dan sunyi, hanya terdengar suara sepatu beradu dengan tanah atau sesekali suara desahan resah Abi terdengar sampai ke telinga Mayu. Suasana seolah hening dan canggung. Tetapi sejatinya, hanya Mayu yang merasa demikian.
Karenanya, Abi melirik Mayu di sampingnya. Ditatapnya wajah kecoklatan Mayu yang sedang melamun. "Pikir apa, hmm?" Tanya Abi tiba-tiba.
Mayu segera tersadar. Dengan gugup dia menjawab, "tidak, kok." Kilahnya. Tetapi Abi tidak terpengaruh dengan itu, dia tahu Yuyu-nya sedang memikirkan sesuatu.
"Apa ini tentang bau badanmu saat berkeringat?" Tanyanya.
Mayu langsung memasang tampang jengkel luar biasa. "Kok santai banget bilang kayak gitu ke aku?" Tangan Mayu yang sedang memegangi Abi dilepas dengan kasar. Dengan langkah terburu dia berjalan di depan.
Abi terdiam. Apa salahnya?
"Kamu kenapa, Yuyu?" Abi bertanya dari arah belakang, tampang lemasnya kian menjadi saja. Dia tidak tahu apa yang membuat Mayu marah sebab selama ini Mayu selalu biasa saja saat Abi mengatainya bau meski di depan orang lain.
Jadi, apa masalahnya?
"Tidak kok." Jawab Mayu, judes.
Kening Abi kian mengernyit heran, langkahnya mencoba menyamai langkah Mayu yang cepat tetapi dia masih saja tidak bisa menjangkaunya. Secepat apapun dia berjalan, Mayu tetap terlihat jauh.
Abi menyeringai, cara ini harus dilakukan.
"Aduh, aku akan mati. Nafasku tidak ada lagi." Teriak Abi. Tubuhnya sudah bersimpuh di atas trotoar jalan lalu tangannya memegangi perut, bersamaan dengan jatuhnya.
Mayu menoleh, maniknya seketika melebar melihat Abi. Setengah berlari ia menghampirinya dengan perasaan panik luar biasa. "Bi, kamu kenapa? Apanya yang sakit?" Raut kekhawatiran milik Mayu tidak bisa dibendung. Gadis itu hampir menangis melihat keadaan Abi.
"Abiiii...jangan mati, kan belum nikah. Abii__,"
Abi tersenyum meski matanya masih terpejam. Melihatnya, Mayu tanpa segan memukul kepala Abi dengan kerikil kecil, iapun meringis tetapi Mayu sudah tidak peduli. Beraninya dia menipu.
"Jangan marah, Yuyu manis." Kata Abi. Matanya tidak terbuka sama sekali tetapi tangannya bergerak menahan Mayu yang ingin pergi.
Mayu tidak menjawab. Dia merasa sangat kesal sekarang sebab Abi terkadang benar-benar menjengkelkan. Dan itu membuat Mayu sebal.
"Kalau begitu aku bertanya. Kenapa kamu merasa marah saat ini? Aku tidak pernah lupa sering mengataimu bau, lalu kenapa baru sekarang kamu merasa jengkel, Yuyu?"
Tidak ada yang bisa Mayu katakan untuk menjawab pertanyaan Abi, sebab dia sendiri tidak tahu kenapa ia merasa marah. Abi benar, sejak kecil pemuda tampan itu sering mengatainya bau, tetapi dia bahkan tidak pernah protes. Sebaliknya, Mayu akan menjahili Abi dengan cara merangkulnya atau hanya sekedar mendekatkan tubuh mereka.
Jadi, ada apa dengan Mayu?
.
.
.
Jawaban itu, tidak ia temukan selama beberapa waktu.
Tahun ini adalah tahun terakhir mereka di Smp. Tidak seperti Abi yang cerdas, Mayu tentu akan dipusingkan dengan nilai-nilainya yang rendah. Dia tidak ingin pisah dengan Abi, tetapi Mayu yakin pemuda itu akan diterima di sekolah terbaik di Jakarta, sedangkan dirinya sudah pasti hanya bisa melanjutkan SMA di sekolah biasa. Kalau Mayu ingin selalu bersama Abi, itu artinya ia harus mampu menyeimbangkan diri dengan kecerdasan Abi.
Tetapi sekali lagi, dia tidak bisa menyamainya.
Satu bulan lagi ujian nasional akan berlangsung. Dan sudah selama itulah para wali kelas prestasi, mengajak murid-murid cerdasnya untuk bergabung di Numangsa High School__salah satu SMA terbaik. Abi belum menjawab satupun undangan masuk itu. Tetapi Mayu yakin, Abi akan menerimanya tanpa berpikir panjang. Kesempatan bagus tidak selalu datang dua kali dan akan menunggu, sebelum terlambat keputusan harus diambil dengan cepat, termasuk Abi. Dan cepat atau lambat dia akan memilih Sma Numangsa.
Mayu mendesah panjang.
Mungkinkah ini saatnya mereka berpisah? Mayu tahu, sangat tahu kalau mereka tidak akan selalu bisa bersama. Akan ada dimana mereka hanya bisa saling menyapa tanpa saling melihat. Dan akan ada waktunya, mereka hanya akan menjadi sebatas teman dekat dan teman masa kecil. Memikirkan itu, Mayu merasa ingin menangis. Rasanya ini terlalu cepat. Pikirnya.
Mayu ingin Abi selalu ada bersamanya, tetapi Mayu tidak yakin kalau Abi akan merasakan hal yang sama. Sejatinya, Mayu pun tidak berani memikirkan hubungan yang lebih dekat bersama Abi selain sahabat. Itu sudah pasti. Tetapi tetap seperti sekarang, Mayu merasa akan baik-baik saja. Dia sudah merasa cukup saat Abi masih terus bergantung padanya. Dia pun sudah puas kalau Abi masih ingin mengandalkannya, menopangnya saat tidak sanggup berdiri, atau membantunya menyemprotkan parfum saat ia merasa jijik karena bau.
Itu saja, sudah membuatnya senang.
Dan akhirnya, malapetaka itu datang. Abi benar-benar memilih masuk SMA Numangsa yang hebat. Dan Mayu pun sudah mencoba mendaftarkan diri, dan hasilnya bisa ditebak__gadis itu ditolak. Mayu merasa hancur, ternyata berpisah sekolah dengan Abi adalah hal paling menyakitkan. Selama seminggu penuh dia hanya berdiam diri di dalam kamar, hanya menangis dan terus menangis. Dia sama sekali tidak membiarkan siapapun mengganggu__termasuk Abi yang datang menjenguk.
Satu minggu setelah lulus Smp bersamaan dengan pengumuman penerimaan siswa baru di tingkat SMA, dan sudah selama itulah Mayu menghindari Abi. Mayu tidak tahu, bagaimana kacaunya Abi saat gadis itu menolak bertemu dengannya, akan tetapi Mayu tidak peduli.
Meski Bang Mario telah membujuk dengan 1001 rayuan agar Mayu mau keluar kamar, sayangnya Mayu sama sekali tidak mengubris, masih tetap bergeming di dalam kamarnya. Bukan hanya Abi atau Mario, Rio pun selalu datang untuk sekedar membujuk Mayu. Namun nihil, hasilnya sama saja.
Mayu masih saja bungkam.
Meski selalu memaki Mayu, Tiara tentu tidak akan senang melihat puterinya sedih terus menerus. Diapun tidak akan mungkin merusak masa depan Abi hanya untuk pindah dengan Mayu. Andai ia mau mengatakan niatnya, Abi pasti akan setuju selama itu untuk Mayu. Tetapi di sisi lain, sekolah itu adalah impian orang tua Abi. Masa depan Abi akan lebih terarah dengan melanjutkan SMA di sana.
SMA Numangsa tidak serta merta mendapat julukan__SMA terbaik. Sekolah swasta itu sudah sangat di akui oleh banyak pihak. Setelah lulus dari sana, siswanya akan langsung digiring ke universitas naungan Numangsa Grup, dan akan mendapat peluang kerja lebih besar menuju perusahaan-perusahaannya.
Karena itulah, mereka hanya menerima murid cerdas dan berprestasi. Meski orang kaya sekalipun, kalau tidak cerdas tentu tidak akan bisa masuk, sebab SMA Numangsa benar-benar memprioritaskan kualitas.
Setiap tahun ajaran baru, SMP Mayu dan Abi akan mendapat kesempatan tiga orang tercerdas untuk uji coba undangan, dan salah satunya adalah Abi. Sebagai peringkat pertama di SMP, Abi tidak mungkin akan ditolak. Meski tahun lalu hanya peringkat ketiga, tetapi Abi bahkan bisa menyusul dengan cepat hingga mencapai posisi utama.
Abi memang malas bergerak, tetapi dia tidak malas belajar atau beribadah.
Dan hasilnya, Abi bisa sampai sejauh ini.
.
.
.
Meski harus mengorbankan perasaannya.
Bogor, Mei 2014.
"Ya ampun, Yu. Kan nenek sudah bilang, yang belum matang jangan ikut dipetik, bagaimana sih."
Mayu menyengir menatap wajah keriput yang sudah jengkel memandangnya. Meski begitu, Mayu tetap memajang buah tomat muda yang sudah ia petik dari pohonnya, di kebun milik neneknya. Si nenek mendengus jengkel, cucunya yang satu ini sungguh menyebalkan. Gender saja yang perempuan tetapi karakternya sama sekali tidak ada feminimnya.
Mayu merengkuh neneknya dengan sayang, "jangan marah nek. Kan tomatnya bisa berbuah lagi. Heheh.." tepukan keras dibahu Mayu sebagai balasan atas perkataanya. Alih-alih merasa bersalah, gadis itu justru terbahak dengan keras.
"Cucu kurang ajar. Ya Tuhan, kenapa kamu harus pindah ke sini." Ratapnya.
Mayu pura-pura cemberut, lantas berkata. "Ih nenek jahat, kan nenek tinggal sendirian jadi Mayu temani. Ingat loh nek, kemarin sore hantunya kakek berkeliaran disekitar rumah." Kata Mayu dengan muka dibuat menakutkan. Ia tahu neneknya penakut seperti abangnya.
Sontak neneknya bergidik kengerian.
Sudah dua tahun Mayu tinggal bersama neneknya di Bogor. Tidak ingin melihat Abi berangkat pagi ke SMA Numangsa, dia memilih melanjutkan sekolah di Bogor, tempat tinggal neneknya dari pihak papanya berada. Meski sudah merelakan Abi sekolah di sana, tetapi sakit hatinya tidak bisa hilang jika harus melihat seragam sekolah Abi__yang menjengkelkan.
Dan karena keputusan Mayu itulah yang membuat Abi uring-uringan selama dua Minggu penuh.
Sebagai gantinya, Abi akan datang berkunjung setiap kali liburan semester lalu menginap di rumah nenek Mayu. Tentu tidak sendirian, Mayu justru akan khawatir jika Abi pergi seorang diri, ia tidak bisa membayangkan akan seperti apa Abi jika duduk di bus dengan orang lain. Apalagi yang bau keringat. Jadinya, Rio beserta Abangnya akan ikut datang.
Hitung-hitung sebagai agenda jalan-jalan selama libur semester. Begitu kata Bang Mario.
Karena bang Mario sudah kuliah, pemuda itu tidak bisa sering-sering datang berkunjung. Ada banyak kegiatan kampus yang dia ikuti dan lumayan aktif sebagai anggota. Bahkan di salah satu organisasinya, ia menjabat sebagai wakil ketua. Sejatinya Mario cukup sibuk di usianya sekarang.
Walaupun Bang Mario sering menjahili Mayu, tetapi dia sangat menyayangi adik perempuannya. Itu sebabnya dia tidak ketinggalan mengunjungi Mayu di Bogor meski tidak selalu. Hanya disaat kesibukannya benar-benar tidak bisa ditinggali, lalu Rio dan Abi dibiarkan berdua.
"Sudah jam berapa ini? Mereka bertiga mungkin sudah hampir sampai, masakanmu juga belum ada yang masak." Nenek Mayu memaki, tanpa peringatan di memukul kepala cucunya dengan buat tomat, "sana masak dulu."
Mayu mencibir, "ia nenekku sayang." Kekehnya, bercanda.
"Dasar, pergi sana, biar nenek yang petik sayuran."
Mayu mengerling. "Ok, bos."
.
.
.
Sudah dua kali Abi muntah di dalam bus, tampangnya pun sudah lesu luar biasa, dan kalau Rio tidak segera menukar tempat duduk dengan seorang wanita genit yang terus menyosor Abi. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi pada pemuda itu. Saat akan naik bus, Mario meminta Rio menemaninya ke toilet sebelum berangkat. Lantas, Rio meninggalkan Abi seorang diri dengan satu kursi kosong di sampingnya. Abi yang sedang memejamkan mata sembari menggunakan earphone, tidak melihat pun mendengar kepergian Rio serta Abang Mario.
Dia hanya terus duduk anteng, dan tidak menyadari satu penumpang wanita tanpa tahu malu duduk di sampingnya. Setengah perjalanan, Abi terpaksa duduk dengan wanita berlipstik tebal itu, bau parfum gadungan bercampur dengan bau keteknya menjadi bumbu yang pas untuk membuat Abi muntah. Karena tidak tega, Rio memberanikan diri untuk berganti tempat dengan si wanita dibarengi perkataan manis, agar tidak membuatnya tersinggung.
Mayu hampir berteriak melihat kedatangan Abi yang sudah dibopong Rio dibelakang punggungnya, dia tidak menyangka Abi akan jadi seperti itu. Saat Abangnya menceritakan kejadiannya, mimik khawatir milik Mayu lantas berubah menjadi lautan tawa yang membahana. Sontak Abi merasa jengkel dibuatnya.
Mayu masih cekikikan saat berkata pada Rio, "kenapa tidak minta nomor hp-nya sekalian. Hitung-hitung, biar mantan pacarmu bertambah." Katanya.
Rio mengutuk dengan tidak sopan. "Sialan! Amit-amit jabang bayi. Kalau kamu liat sendiri, Yu. Pasti mau muntah juga." Makinya. Mayu kembali terbahak, sangat lucu melihat ekspresi jijik Rio yang jauh berbeda dengan Abi.
Di liriknya Abi yang tengah tiduran di atas lantai papan beralas tikar milik neneknya, pemuda itu tampak lemas dan hanya bisa meringkukkan badannya yang tinggi. Dia pasti punya pengalaman yang buruk dengan bus setelah ini.
Menghampiri Abi, Mayu kemudian mengusap pelipis pemuda itu dengan pelan. "Capek ya, Bi, Harus datang kesini terus? Kalau sudah nggak kuat, kamu tidak harus datang setiap libur." Suara Mayu terdengar lirih, dia bahkan tidak sanggup mengatakan kalimatnya sendiri.
Meski memejamkan mata, dan terlihat seakan sudah tidak sanggup berucap bahkan hanya untuk satu kata. Tetapi nyatanya, Abi masih bisa berkata, "ini masih mending dari pada tidak melihat Yuyu-ku sama sekali. Kalau rintangannya cuma gini terus mundur, aku tidak akan memulai, Yu. Ke depannya akan jauh lebih sulit, ini hanya permulaan." Ujarnya pelan, nyaris redup.
Tetapi semua orang yang ada di ruang tengah dengan luas tidak seberapa itu, masih bisa mendengarnya dengan jelas. Rio bahkan sudah terbatuk keras, nenek Mayu sudah menjatuhkan piring, Mario sudah mangap, lalu Mayu__wajahnya merah bukan main.
Semoga saja, Abi hanya membual, pikir Mayu.
Dengan canggung, Mario berdiri dari duduknya, lantas berjalan menuju halaman belakang rumah neneknya yang di penuhi beraneka tanaman buah dan sayuran. "Yu, makanan sudah siap belom. Dah lapar nih." Teriaknya.
Mayu terperanjat. Dengan gerakan cepat, dia bangkit dari duduknya lantas melepaskan tangannya di pelipis Abi. "Ia, sudah kok. Sebentar, aku ambilkan."
Mayu sudah hampir beranjak berdiri, namun tanpa diduga, Abi menariknya kembali. Setengah badan Mayu membungkuk menatap Abi dengan heran.
"Kamu butuh sesuatu, Bi? Masih mules?" Tanyanya.
Abi menggeleng. "Aku cuma butuh kamu, Yuyu. Disini saja." Abi lalu menoleh ke arah Rio yang wajahnya memerah malu karena perkataan Abi, yang bahkan pemiliknya sendiri tidak sadar apa yang dia bicarakan.
Abi berkata pada Rio. "Sana, siapkan makanannya."
Seketika wajah Rio ditekuk jengkel. Hentakan keras dilantai kayu rumah terdengar menyusul setelah Rio menginjaknya dengan tekanan kuat. Rio balas menatap manik Abi yang yang nyaris tertutup. "Dasar bocah!" Katanya, kesal. Walaupun begitu, dia tetap melangkah menuju dapur menyiapkan makanan di atas meja.
Pada malam hari, suasana terasa begitu sunyi. Sesekali, suara motor atau mobil terdengar dari arah jalan bercor beton tidak jauh dari rumah nenek Mayu. Rumah ini memang sedikit berada di ujung jalan perkampungan. Dan jarak rumah satu dengan yang lain cukup berjauhan, biasanya dipisahkan oleh pepohonan atau tanah lapang berumput. Tetapi selebihnya, tempat ini sangat asri.
Udaranya dingin dan terasa lembab, Abi bahkan sudah memakai jaket Rio yang paling tebal. Sedangkan si empunya, hanya mengenakan kaos berlengan panjang yang cukup tipis. Katanya dia tidak bisa dingin, padahal kalau tidak diperhatikan bibirnya bergetar tidak karuan.
Sekarang Abi dan Mayu tengah duduk di teras belakang rumah. Tidak jauh di depan, nenek Mayu yang sudah tua masih sanggup melayani tamunya dengan baik setiap kali berkunjung. Beliau sedang menyalakan api untuk membakar jagung. Sebab kali ini, mereka akan makan jagung sepuasnya. Sedangkan semester lalu, mereka makan buah semangka sampai tidak sanggup bernafas.
Rio jadi penasaran, libur semester depan, nenek Mayu akan menanam apa lagi.
"Yu, keranjangnya mana, jagungnya sudah banyak ini." Dari balik pohon jagung, Rio dan Abangnya muncul dengan tumpukan jagung muda.
Mayu segera beranjak dari teras menuju dapur untuk mengambil keranjang.
Ketika Mayu kembali dengan barang bawaannya, Rio segera menyambut lantas mengambil alih keranjang ditangan Mayu. "Bantu kupas kulitnya. Biar bisa dibakar cepat." Kata Rio dan Mayu mengangguk.
Nenek Mayu menatap Abi yang masih duduk lesu di teras sembari menatap ketiga temannya. "Kamu tidak ikut bantu?" Tanyanya.
Abi tiba-tiba memasang senyum canggung, lantas berkata. "Maaf, nek. Kulit jagung kadang bikin aku gatal-gatal." Ucapnya malu, tangannya bergerak menggaruk belakang kepalanya.
Nenek Mayu berdecak. "Kamu kan laki-laki, masa begitu saja tidak bisa ditahan. Wajah tampanmu kan jadi percuma." Wanita tua itu lantas melirik Rio dan Mario cucunya. "Lihat mereka berdua. Itu baru namanya laki-laki." Telunjuknya menunjuk ke arah keduanya.
Rio dan Bang Mario segera menatap Abi dengan bangga. Menepuk dada dua kali, mereka berkata bersamaan. "Lihatlah kaki-laki ini, Abi. Sangat perkasa. Haha.."
Abi segera mendengus jengkel. Lalu maniknya beralih kearah nenek Mayu yang rupanya masih menatapnya.
"Aku memang begini, nek. Tapi nenek tidak perlu khawatir kalau Mayu sama aku. Di masa depan, aku pastikan punya pekerjaan bagus, jadi Mayu tidak perlu bekerja." Abi tersenyum lemas. Kemudian melanjutkan dengan nada penuh keyakinan. "Ah, aku lupa. Mayu masih punya kerjaan kok. Jangan khawatir, sebab dia masih harus mengurus keperluanku, memasak, membereskan rumah, bersih-bersih." Abi menjeda. Manik kelamnya yang indah menatap Mayu yang terbengong.
"Dan yang paling penting, Mayu masih harus melahirkan anak-anak kami." Tambahnya.
Cita-cita Abi, sungguh sempurna.
Tidak hanya Mayu yang syok dengan perkataan Abi.
.
.
.
Neneknya bahkan sudah pingsan di tempat.