Jangan lupa tekan bintang dan beri komentar;)
Mohon maaf jika terdapat kesalahan dalam penulisan.
.
.
.
Suara khas saat kaki menginjak kubangan lumpur di sawah terdengar mengisi pendengaran Abi. Mengalun aneh dengan perpaduan tekstur tanah becek yang terasa lembek, menambah kesan tersendiri untuknya. Bercak-bercak kecoklatan berpadu dengan sedikit warna hitam menghiasi sepanjang betisnya yang kuning langsat, terlihat kontras. Mencoba tenang dengan sekumpulan lumpur yang menghiasi kaki indahnya, Abi lantas mendesah panjang sebagai pengalihan. Selama hidup, ini adalah kali pertamanya menanam padi di sawah.
Benar-benar sebuah pengalaman pertama yang cukup mengesalkan.
Tidak seperti Abi yang sudah memasang tampang ingin kabur, dilain pihak Rio justru terlihat menikmati pekerjaan barunya itu. Pemuda urakan berambut pirang tersebut terlihat senang saat berhasil mengalahkan Mario pada adu balap menanam tercepat, dalam permainan aneh yang kurang dari semenit lalu mereka ciptakan. Sebagai dukungan, Mayu akan melempar jika salah satunya kalah. Gadis itupun terlihat menikmati apa yang tengah ia lakukan.
Abi mendengus jengkel, hanya dia seorang yang merasa ingin pulang.
Dari arah jalan setapak tidak jauh dari sawah milik nenek Mayu, Abi menangkap wanita tua itu tengah tiduran di atas tikar daun sembari mulutnya mengunyah buah pisang. Wajah suram Abi kian menjadi, batinnya bersorak ingin berganti tempat. Abi ingin mengutuk, dia menginginkan posisi nenek Mayu yang terlihat menggoda.
Menyadari tatapan tajam Abi, nenek Mayu yang semula menatap bahagia kearah kedua cucunya beserta Rio, seketika menoleh dengan wajah datar luar biasa saat maniknya berhasil menangkap mimik Abi yang dongkol. Apa-apaan? Mengapa hanya Abi yang ditatap dengan ekspresi permusuhan. Abi mendesah, apa salahnya? Pikirnya. Abi mencoba memasang senyum terbaik, tetapi belum juga dia menarik sejumput ujung bibirnya, tau-tau nenek Mayu sudah membuang muka dengan wajah penuh kebencian.
Perasaan Abi seketika tidak enak.
Sejak mendengar pengakuan Abi kemarin sore nenek Mayu terus saja mengabaikannya, tidak hanya itu, dia bahkan menunjukkan aura permusuhan seperti sekarang. Apakah rintangan untuk mendapatkan Mayu sudah muncul? Dan itu diawali dengan neneknya? Mungkin saja. Mengingat perubahan sikap drastis itu hanya ditunjukkan untuknya, sejak kemarin.
Plok!!
Abi hendak berbalik, tetapi__
Plok!!
Wajah Abi berubah suram, manik kelamnya menemukan dua orang paling menyebalkan sedang balas menyengir memandangnya tanpa dosa, seolah apa yang mereka lemparkan kepadanya beberapa saat lalu bukan merupakan kesalahan. Lumpur sawah yang lengket dan sedikit bau membuatnya nyaris merasa tidak enak badan, bola matanya terasa berputar lalu tidak lama kemudian pemuda lesu itu akhirnya jatuh terduduk dengan mata terpejam. Alhasil, bokongnya menyemplung di kubangan lumpur yang paling tidak disukainya.
Mayu segera berlari ke arahnya dengan wajah pias. Mata lebarnya melotot menatap ke arah kakak dan teman lelaki laknatnya, Rio. Tanpa menunggu perintah, gadis tomboi itu mengambil adonan lumpur, memutar-mutar dikedua telapak tangannya, lantas melemparkannya ke arah Mario beserta Rio yang sudah mengambil ancang-ancang ingin kabur. Tetapi karena tekstur tanya yang becek seakan lengket, memaksa mereka berjalan dengan lamban.
"Hahahaha rasakan. Siapa suruh melempar Abi, karena kalian dia hampir mati sekarang." Mayu menunjuk wajah Rio dan Abangnya dengan bangga. Hasil karyanya tercipta dengan sempurna di wajah kedua pemuda itu.
Rio mengeram jengkel. Tidak terima dengan perlakukan Mayu kepadanya, dengan wajah penuh lumpur dia berlari ke arah gadis itu. Tangannya yang kekar menggenggam bola lumpur sawah dengan erat, meski Mayu adalah perempuan tetapi baginya, Mayu adalah setengah laki-laki.
"Tangkap ini Mayu. Hahahahah, rasakan." Rio terbahak puas melihat wajah Mayu yang hampir serupa dengannya. Pembalasannya terbayarkan dengan hasil yang maksimal.
Plok!!
Rio terdiam ditempat. Tanpa ia duga bola lumpur mengenai belakang kepalanya, itu artinya seseorang baru saja melemparnya dari arah belakang. Maniknya berubah datar saat berbalik dan menemukan Abi yang tengah menatapnya lesuh tidak berdaya. Berpindah ke tangan pemuda lemas satu itu, ia menemukan sisa-sisa lumpur masih membekas seolah baru saja memegangnya.
Rio menyeringai, dengan kecepatan penuh langkah kakinya mengarah pada Abi yang hanya bisa menunggu kedatangan Rio. Suara gedebuk kembali terdengar, pemandangan Rio merengkuh Abi sembari menyatu dengan lumpur sawah adalah apa yang terlihat. Untuk beberapa detik manik Abi membelalak terkejut kemudian hilang tanpa sisa, pemuda itu pingsan.
"Apa sih, Rio. Lihat Abi pingsan." Mayu mendekat, lantas menarik Rio dari atas tubuh Abi yang sudah menggelepar cantik di bawah kubangan lumpur sawah. Wajah tampannya sudah tidak terlihat karena tertutupi benda becek dan berwarna pekat itu.
"Ya ampun, Bi, kamu tidak beneran pingsan kan? Aduh bagaimana ini?"
Bang Mario mendekati keduanya. "Kamu sih, sudah tahu orangnya alergi bebauan, lah, malah dilempar lumpur. Kan jadi KO."
Rio mengetok kepala Mario, "kayak aku saja yang lempar. Tidak ingat, yang mulai duluan itu kamu, bang." Katanya, jengkel.
Mario terkekeh.
Mayu melotot, dia bergerak cepat membantu Abi duduk meski tidak sadarkan diri, lalu kepala pemuda itu dibiarkan tiduran di pahanya sendiri. "Bantu angkat, kita bawa kembali saja." Manik kejam Mayu menusuk Rio bagai belati, dia berkata. "Dan kamu, mandikan Abi."
"Hah?? Yang benar saja?"
Mata Mayu kian memerah marah, memaksa Rio mengangguk tidak rela.
Dengan begitu, Rio membawa Abi ke punggungnya, membawanya kembali ke rumah nenek Mayu.
Di tepian sawah nenek Mayu muncul, ditatapnya Abi yang tengah digendongan Rio lantas menyeringai setan. "Huh! Yang beginian yang akan menikahi cucuku, pulang saja sana, aku tidak rela Mayu bersama pemuda lemah yang pingsan hanya kerena kena lumpur."
Mayu menatap neneknya dengan mimik protes. " Nenek kok bilangnya gitu, kan sudah kubilang kemarin Abi hanya bercanda. Jangan dihubungkan terus kearah sana, dong." Katanya.
Nenek Mayu mencebikkan bibir tetapi kemudian dia hanya diam.
Sebagai hasil dari permainan mereka, sawah nenek Mayu belum selesai di tanami padi. Dua hari kemudian pekerjaan melelahkan itu baru selesai ditangan Rio dan bang Mario. Sudah jelas, Abi tidak akan ikut membantu sebab sejak pingsan pemuda lemas itu kian dimanjakan oleh Mayu. Dia sama sekali tidak membiarkan Abi mengerjakan apapun selain makan dan tidur.
Benar-benar kegiatan paling menyenangkan untuk Abi yang tidak suka bergerak.
Alih-alih protes dengan pilihan Mayu, baik Rio atau bang Mario mereka berdua tampaknya setuju-setuju saja. Selain karena dibendung rasa bersalah kerena menjadi penyebab Abi pingsan, mereka berdua jelas tidak ingin kejadian tersebut terulang kembali.
Pada dasarnya, bukan hanya Mayu yang ikut memanjakan Abi tetapi juga Rio beserta Abangnya.
Namun itu tidak membuat hati nenek Mayu segera luluh. Setiap hari dan setiap kali dia berpapasan atau tidak sengaja bertemu pandang dengan Abi, nenek tua itu akan mengabaikannya tanpa kata. Abi pun mendesah berat setiap kali itu terjadi. Ini hanya bentuk rintangan awal yang harus ia jalani dan tentu saja harus Abi taklukkan. Tidak peduli apa yang akan terjadi dia harus mencoba melakukannya, atau cita-cita mulianya hanya akan jadi impian kosong tanpa terwujud.
Abi tidak ingin itu terjadi.
Sore hari, saat Abi baru saja keluar dari WC yang berada di luar rumah, desahan panjangnya kembali terdengar dari mulutnya. WC-nya berada di belakang rumah dekat perkebunan milik nenek Mayu, lalu wanita tua itu sedang membajak tanah sekaligus mencabuti rumput disekitar tanaman tomatnya. Hal itulah yang memaksa helaan berat Abi kembali muncul setelah tujuh kali dalam hari ini.
Abi ingin menghindar saja, tetapi memikirkan Mayu tidak akan pernah bisa dia capai membuatnya tidak punya pilihan selain menghampiri neneknya. Ini adalah kesempatan langkah mereka bisa mengobrol berdua dan Abi akan meluruskan segalanya.
"Nek!" Panggilnya.
Nenek Mayu sama sekali tidak menoleh seakan tahu siapa yang tengah memanggilnya.
"Nek!" Ulangnya.
Lagi, nenek Mayu masih mengabaikannya, tangannya bahkan masih sibuk mencabuti rumput seolah rumput-rumput itu jauh lebih penting.
"NENEKKK!!!"
"SIALAN KAMU, PIKIRNYA SAYA BUDEK."
Abi merasa dongkol sendiri. Nafasnya berhembus kian berat, dia berkata dengan mimik lemas seperti biasa. "Oh kupikir nenek sudah tuli, soalnya kupanggil dari tadi tidak menyahut." Kata Abi.
Selang beberapa detik ia memukul bibirnya sendiri. Gawat, pikirnya. Bukannya dia berniat mencari muka? Kalau begini jadinya__
Benar saja, wajah nenek Mayu yang keriput sudah memerah lalu matanya yang nyaris memutih menatap Abi dengan aura permusuhan tiada dua. Abi meneguk liur ditenggorokannya sendiri. Dia merasa seluruh tubuhnya dipanasi dengan api bersuhu tinggi dengan kayu bakar berkualitas langit. Keringatnya sampai muncul dari dahi turun ke leher.
Abi menunduk lesu, lantas berkata. "Apa yang membuat nenek tidak suka padaku? Apa karena pengakuanku kemarin?" Tanyanya.
Wajah Abi menunjukkan keseriusan, seakan mimik ketakutannya beberapa detik lalu bukanlah apa-apa.
Mata nenek Mayu memicing, "sudah jelas, kamu tidak akan bisa mengambil Mayu." Hardiknya keras. Saking kerasnya gerimis tak diundang sampai keluar dari dalam mulutnya yang keriput diselingi giginya yang menghitam.
Abi bergidik, lalu mundur dua langkah. "Jaga jarak nek, cipratan ludah nenek hampir mengenaiku. Maaf, tapi aku tidak suka bau." Abi menatap tubuhnya sendiri. "Lihat, aku baru saja selesai mandi."
Lagi-lagi Abi menutup mulut tidak percaya. Kebiasaanya sungguh buruk dalam berkomentar.
Bukan merah lagi, wajah nenek Mayu sudah nyaris menghitam saking marahnya. Diposisinya pun Abi sudah siap dicaci maki atau dihujani ribuan hujatan menyakitkan. Tetapi selama beberapa detik menunggu, tidak ada suara apapun yang terdengar memaki. Abi mengangkat wajah lantas menatap si wanita tua galak yang sialnya adalah nenek perempuan impiannya.
Sejatinya Abi cukup terkejut dengan reaksi yang ditunjukkan nenek Mayu sekarang, Abi syok melihat lekukan senyum dibibir tua keriputnya. Untuk sesaat dia hanya terdiam mencoba memastikan itu hanya khayalannya semata. Tetapi, itu lah kebenarannya.
Nenek Mayu tersenyum sembari menatapnya.
Abi tidak bisa bergerak saat tubuh tua ringkih yang telah membungkuk berjalan mendekat, lantas menepuk pinggangnya. Nampaknya, dia bermaksud menepuk pundak Abi namun karena pemuda itu sangat tinggi, nenek Mayu pun hanya bisa menepuk pinggangnya. Suasana berubah canggung saat Abi merendahkan tubuhnya lalu menatap nenek Mayu seolah berkata 'silahkan tepuk pundakku'.
Guratan kejengkelan langsung menghiasi wajah nenek Mayu. Dengan keras dia menendang tulang kering Abi hingga pemiliknya melengking kesakitan.
"Kok ditendang sih, nek. Aku kan sudah berbaik hati membiarkan nenek menepuk pundakku alih-alih hanya pinggang." Protes Abi, tangannya bergerak mengelus tulang keringnya yang seakan berdenyut.
"Huh! Aku merasa terhina, dasar bocah sok tinggi."
Abi semakin lemas. "Hah? Itu bukan hinaan nenek, tetapi kebaikan." Lagi-lagi Abi protes tidak ingin kalah, dia seolah lupa apa tujuannya mendekati nenek Mayu.
"Bocah kurang ajar." Makinya, lantas menjauh.
Manik kelam milik Abi sontak meredup saat melihat kepergian nenek tua itu mulai menghilang dari titik pandangnya.
Abi pun mendesah berat di tempatnya.
Ini sungguh gagal.
Tetapi tanpa pemuda itu sadari,
.
.
.
Nenek Mayu tersenyum dibalik makiannya.
"Bi, kok nggak ikut makan." Rio muncul dari arah dapur, langkahnya terayun membawanya menghampiri Abi yang tengah tiduran sembari membaca buku pelajaran.
Dari arah yang sama, bang Mario muncul dengan langkah cepat lantas memukul kepala Rio dengan keras. "Ini kan hari Kamis." Katanya. Tubuhnya ikut duduk di dekat Abi.
Rio menepuk jidat, "aduh, sorry Bi. Aku lupa kamu lagi puasa."
"Alasan. Bilang saja mau aneh-aneh." Kata Mayu, baru saja ikut bergabung dengan mereka di teras belakang. Tempat ini memang manjadi tempat favorit mereka. Udaranya sejuk dan kebun nenek Mayu menambah kesan tersendiri.
Abi menoleh dengan tampang lemas, puasa atau tidak, mimik wajahnya selalu terlihat sama. Karena hal itulah Rio sangat jengkel dengan wajah Abi yang masih saja terlihat tampan meski tampangnya demikian.
"HUH!!" Rio menggerutu keras.
"Napa sih." Kata Abi.
Rio kian berdecak, "gak papa. Mukamu saja yang bikin jengkel."
Abi tiba-tiba memasang seringaian keji. Lantas berkata dengan penuh percaya diri. "Ah, makasih. Wajahku memang diberkahi tuhan lebih banyak." Katanya tanpa dosa.
Mayu dan Abangnya sontak tertawa keras.
"Makan tuh."
Wajah Rio semakin tidak sedap dipandang. Wajah sangarnya sudah berubah mengancam tetapi ketiga orang itu sudah terlalu biasa dengan tampang tersebut, lantas mengabaikannya tanpa memikirkan harga diri Rio yang seolah diinjak, diremas, lalu dicincang habis.
Tuttt!!
Semua orang terdiam. Secepat angin Abi menoleh, Mayu melotot ditempat, lalu bang Mario menutup hidung dengan spontan. Bau kentut Rio segera menguar memenuhi tempat itu walau sekilas, sebab terhembus angin tetapi baunya mampu membuat Abi nyaris kehilangan kesadaran.
"Gila, Rio sialan kentut. Baunya kayak orang gak pernah berak sebulan." Bang Mario melompat kencang dari tempat duduknya. Tangannya meraih handuk lantas membekap mulutnya sendiri dengan perasaan kesal.
Rio terbahak. "Makan tuh, kentut dewa. Hahahahah."
"Apaan, ih. Jorok banget sih." Kaki Mayu yang kecoklatan menendang ke arah Rio lantas segara ditangkis si empunya dengan cengiran lebar.
"Hitung-hitung, balasan setimpal."
"Kayak kamu gak jorok aja." Celetuk Abi tiba-tiba. Mayu sontak ikut menyengir.
Bang Mario melirik Abi, pemuda lemas itu sedang meringkuk dengan badan sedikit bergetar. "Lihatkan, Abi jadi aneh lagi." Katanya prihatin.
Abi menggeleng. "Aku baik. Cuma gak tahan aja baunya sama kayak muka orangnya, sama-sama bau busuk." Katanya, santai.
Mayu terbahak dengan keras, tangannya bergerak menepuk punggung Rio seolah berkata 'yang sabar, yah'.
"Jangan gitu lah, Bi. Kan kalo gak ada aku, siapa yang gendong kamu kalo lagi pingsan." Rio cemberut menatap Abi yang balas menatapnya dengan wajah lemas terkesan santai.
"Maaf kalau begitu." Abi tiba-tiba berbalik menghadap ke arah kebun yang hijau. Dia melanjutkan, "semoga orang gak ikhlas nolong orang kena karma."
Lagi-lagi Mayu dan Abangnya terbahak. Mereka sangat senang mem-bully Rio yang kini memasang tampang pasrah.
"Jangan gitu lah, Bi. Kan kamu puasa." Balas Rio.
Abi mengangguk. Lantas berkata, "ok."
Rio terdiam. Hanya itu? Pikirnya.
Dasar Abi SIALAN.
.
.
.
Udara kian dingin, suara dengung nyamuk memenuhi telinga Rio yang dipenuhi kotoran. Sesekali, dihempaskannya tangan besarnya mencoba mengusir makhluk kecil berisik itu. Badan besarnya bergerak dari satu sisi ke sisi lain hanya untuk mencari kenyamanan dalam tidurnya. Beberapa detik kemudian, dia bersin lantas mengenai Mario di sebelah kirinya.
Mario terbangun karena terganggu, dengan wajah kesal kakinya mendorong Rio hingga hampir menyentuh Abi yang tidur paling sudut, seolah sengaja menjauh dari dua orang itu. Gantian Abi yang terbangun setelahnya, alarm di kepalanya seakan berbunyi nyaring jika ada orang lain yang mendekatinya saat tidur. Wajahnya berubah kaku saat maniknya menangkap kaki kumal Rio hampir menyentuh wajahnya. Dalam sekali dorong, Rio berhasil terhempas kembali menuju kearah Mario yang sudah terlelap.
Abi sudah bangun saat pukul empat pagi. Setelah sholat subuh dia beranjak menuju teras belakang.
Lagi-lagi tempat itu.
Tetapi__
Dia terbelalak menemukan Mayu yang sudah duduk di sana. Abi tidak menyangka Mayu sudah bangun pukul setengah enam pagi begini, pasalnya gadis itu biasa terbangun siang. Mayu hanya akan bangun cepat jika memiliki sesuatu untuk diselesaikan esok harinya. Itu artinya Mayu sedang punya sesuatu untuk diselesaikan sekarang.
"Eh Abi, duduk sini." Mayu menepuk lantai kayu di sampingnya. Abi mengangguk lantas bergerak menuju kearah yang dimaksud Mayu.
Abi melirik Mayu, lalu tangannya bergerak merapatkan jaket milik Rio sebab udara pagi di pedesaan serasa menusuk dan merasuki jiwanya. "Kok sudah bangun?" Tanya Abi, memastikan sesuatu.
"Aku tidak bisa tidur." Katanya. Kakinya dibiarkan terayun ke depan dan ke belakang. Abi jadi teringat saat mereka kecil, Mayu seringkali melakukan gerakan itu ketika duduk dikursi teras rumahnya.
"Jadi kamu tidak tidur semalaman?"
Mayu mengangguk. Maniknya menoleh lalu menatap Abi dengan tatapan sendu. "Hari ini kalian pulang. Liburannya sudah selesai." Kata Mayu, nada sedih mengalun dengan jelas dari suaranya.
Abi terdiam. "Ia. Besok sudah balik sekolah." Balasnya, mencoba tetap tenang.
Hening menghampiri mereka. Mayu tidak tahu harus berkata apa untuk mencegah Abi kembali ke Jakarta, dia sadar diri untuk tidak egois. Abi harus sekolah begitupun dengan dirinya. Seminggu ini rasanya sungguh menyenangkan dan Mayu tidak ingin mengakhirinya.
"Abi." Panggil Mayu.
Abi menoleh.
Mayu tersenyum manis, "tidak terasa, kita sudah kelas dua SMA, yah. Lalu sebentar lagi kuliah." Katanya. Gadis itu memang tersenyum tetapi nada suaranya yang sedih membuat perasaan Abi tidak baik.
"Mayu, kamu sudah tahu akun akan kuliah di Numangsa University, kan. Karena itulah aku memilih masuk SMA-nya." Abi menatap Mayu yang sedang menunduk sembari mengangguk.
Abi melanjutkan. "Kamu percaya aku kan?" Tanyanya.
Mayu lagi-lagi mengangguk.
Abi tersenyum manis, "Mayu, kalau kamu percaya padaku, kamu tidak akan ragu dengan pilihanku memilih masuk SMA Numangsa." Ujarnya.
Mayu langsung menangis ditempat, rasanya aneh dan Mayu tidak bisa menerimanya. Melihat Mayu menangis Abi terdiam dengan wajah masih setenang biasanya. Ini tidak biasanya, sebab pemuda itu tidak akan mendiamkan Mayu ketika melihatnya menangis.
Tetapi yang dia lakukan sekarang bertolak belakang dengan keinginannya.
"Mayu, aku ingin punya pekerjaan bagus tanpa mengandalkan bantuan ayahku. Meski aku pewaris bisnis satu-satunya, tetapi aku tidak ingin terlalu santai dan membiarkannya terlalu mudah." Abi menatap kearah Mayu yang balas menatapnya dengan bulir air mata.
"Aku ingin punya sesuatu yang bisa kubanggakan padamu di masa depan. Aku ingin punya pekerjaan yang kudapat kerena ada kamu sebagai alasannya. Seperti kisah ayahku yang mencapai bisnisnya karena ingin ibu bahagia, akupun demikian Mayu, aku menginginkan ada kamu di setiap hidupku saat memilih sesuatu. Sama seperti tuhanku selalu ada untukku, aku juga berharap kamu selalu ada untukku meski hanya alasan sepele."
Tangis Mayu kian pecah, wajahnya memerah dan jantungnya berdegup dengan kencang. Perkataan Abi membuatnya tenang tetapi tangisnya bahkan tidak bisa mereda.
Namun Mayu harus menyadari, jika Abi dan usahanya akan sia-sia. Meski keluarga mereka dekat, bukan berarti papa mamanya akan menyetujui impian itu.
Mayu pun tahu betul, dia tidak bisa memilih antara Abi dan agamanya.
Mereka tidak seharusnya seperti ini.
Ini harus diakhiri.
"Kok tambah nangis. Kamu tidak tahu bagaimana susahnya merangkai kata, itu bikin lelah loh." Abi cemberut, walau begitu tangis Mayu masih saja sekeras sebelumnya.
Menghela nafas Abi berucap, "kamu tahu, sekarang rasanya aku ingin memelukmu seperti saat kita kecil." Abi tersenyum. "Tapi sekarang sudah tidak boleh, soalnya belum halal."
Abi memejamkan mata, nafasnya terhembus ringan seakan menyatu dengan tangis Mayu yang terus mengalun pedih.
"Bang, tolong peluk Mayu untukku, dong. Sekarang dia hanya butuh pelukan."
Mario dibalik dinding kayu seketika terperanjat. Dengan wajah malu dia keluar dari persembunyiannya lalu melangkah menuju kearah Mayu dan Abi duduk.
Sembari menyengir, Mario memeluk adiknya yang menangis. "Sudah dong, Yu. Kalau kata Abi gitu, yah tunggu saja. Abang dukung kok pilihanmu di masa depan, apapun itu."
Tanpa mengatakan apa-apa lagi Mayu berbalik lantas memeluk Abang dengan erat. Rasanya menyedihkan mencintai sahabat baiknya sendiri, apalagi jika berbeda agama.
Rasanya benar-benar sakit.
Abi melirik ke arah dinding kayu lain di sebelah Mario menguping sebelumnya. "Sampai kapan kamu mau disitu terus, Rio. Kamu gak mau peluk aku? Aku juga butuh dipeluk sekarang."
Rio tiba-tiba muncul dengan tampang konyol. Sial, Abi selalu peka dan menyadari keberadaan mereka.
"Kok kamu tahu, Bi." Kekehnya.
Abi memandang Rio yang sudah hampir memeluknya lantas menghindar secepat mungkin. "Itu karena bau busukmu." Kata Abi tanpa dosa. Lantas mendorong tubuh Rio menjauh.
"Hah? Enak saja. Sini biar kupeluk."
Abi mencibir, "sorry, aku hanya bercanda saat minta dipeluk. Kamupun tahu aku tidak suka disentuh orang bau, kecuali Mayu."
Mayu yang masih menangis langsung mencebik jengkel dipelukan abangnya. "Dasar, Abi." Kekehnya.
Lalu mereka berempat tertawa.
Menghabiskan sisa pagi dengan canda tawa.
Sebagai pelepas salam perpisahan yang manis.
Meski sekarang mereka seperti ini, tapi masa depan akan selalu menanti dengan sejuta kisah yang siap menjungkirbalikkan perasaan mereka. Masa muda adalah hal paling indah dan murni. Rasa suka pada seseorang adalah hal biasa dan mudah terjadi, namun mempertahankan rasa sukanya hingga kepelaminan adalah hal luar biasa.
Bagi abi__
.
.
.
Dia pun ingin mencapai batas luar biasa dalam mempertahankan perasaannya.