Mohon maaf jika ada kesalahan penulisan ;)
Jangan lupa tekan bintang dan beri komentar >.<
.
.
.
3 Juni, 2011.
"Bi, ambil bolanya."
Mayu berteriak dari balik net voli, meminta Abi mengambilkan bolanya yang menggelinding jauh kearah batang pohon, tempat di mana Abi tiduran. Abi membuka mata dengan malas, rasa kantuk yang kuat menyerang memaksanya tetap di tempat. Ini sudah pukul lima sore, dan mereka masih berada di Padang.
Sejak menginjak kelas dua Smp, Mayu sangat gemar bermain voli. Bahkan memaksa papanya mendirikan lapangan voli di Padang. Untung saja pihak tanah menyetujui, jadi tempat ini pun ramai tiap sorenya. Orang-orang dari kompleks lain berdatangan hanya untuk menonton atau ikut bermain. Kompleks mereka bukan termasuk yang besar, sehingga tidak ada lapangan khusus untuk berolahraga.
Jadi, Mayu berinisiatif membangun lapangan voli dengan bantuan papanya.
Mayu menatap sebal ke arah Abi. Teman-teman setimnya sudah menunggu kedatangan bola, tetapi Abi bahkan tidak beranjak dari tidurannya. Dengan langkah tersentak yang keras, Mayu mendekat menghampiri Abi lalu mengambil sendiri bolanya.
Di tatapnya Abi yang tengah tiduran di atas rumput. "Bi, sesekali ikutlah bermain, kamu benar-benar pemalas." Mayu melipat tangan di dada. Kian kesal menatapnya.
Abi membuka mata, lalu pandangannya bertemu dengan raut jengkel milik Mayu. "Pemalas?" Ulangnya. "Sepertinya kamu salah, Yuyu. Aku hanya tidak ingin berkeringat lalu menjadi bau sepertimu, dan tiduran adalah alternatif paling sempurna karena tenaga juga tidak terkuras." Kemudian Abi terduduk di rumput, tangannya ia rentangkan lalu mengambil pose layaknya yoga.
Mayu memutar bola mata. "Apa gerakan itu termasuk." Tanya Mayu dengan mata memicing.
Abi mengangguk.
"Yu, mana bolanya, tandingnya mau mulai, nih." Mayu segera menoleh saat mendengar suara satu timnya berteriak dari arah lapangan.
Mayu sekali lagi menatap Abi, namun Abi tidak mengubris, terlalu sibuk dengan kegiatannya sendiri. "Ok, aku ke sana." Teriak Mayu akhirnya. Langkah cepatnya segera terarah menuju lapangan.
Pertandingan akhirnya berakhir setelah pukul enam kurang lima belas menit. Azan magrib sebentar lagi akan berkumandang dan Abi memburu untuk segera pulang. Siapa yang tahu, dia menggerutu menyalahkan Mayu karena telambat. Ia masih harus mandi dan ke masjid. Bagi Abi, mandi adalah hal paling utama dalam hidupnya. Dia bahkan bisa mandi berjam-jam. Kalau Mayu bertanya, Abi menjawab semua kotoran harus di basmi. Tubuhnya tidak boleh ada kotorannya, apa lagi keringat.
Abi sungguh benci keringat.
Meski begitu, Abi juga tidak maniak kebersihan. Dia tidak alergi dengan tempat-tempat kotor. Buktinya dia selalu tiduran di rerumputan hanya untuk melepas penat atau makan di warung-warung kecil di pinggir jalan sepulang sekolah. Terakhir kali Mayu ingat, Abi hanya pernah pingsan sekali karena merasa jijik.
Saat kelas enam SD, mereka tamasya ke kebun binatang menggunakan bis dengan 30 murid lainnya. Karena alasan tertentu, Mayu dan Abi tidak duduk dikursi yang sama. Mayu duduk dengan teman perempuannya dan Abi duduk dengan seorang bocah laki-laki; bertubuh gemuk, beringus, dan suka menangis. Kalau sudah menangis, ingus di hidungnya akan melumer sampai ke mulut. Tetapi bukan itu yang Abi permasalahkan hingga pingsan.
Masalah utamanya adalah, si gendut itu muntah di baju Abi.
Abi syok bukan main, nyaris saja kehilangan nyawa saking ngerinya. Sisa-sisa makanan yang bocah gemuk itu makan beralih tepat di atas baju Abi yang bersih, wangi, dan sudah ibunya setrika.
Mayu ingat betul, bagaimana wajah Abi saat itu. Kalau di ingat kala dewasa tentu akan jadi kisah lucu. Wajah tampan Abi benar-benar pucat, hampir membiru. Rambut beserta lehernya basah karena keringat, ibu guru sampai harus mengipasinya. Dan karena tidak sanggup, Abi memilih pingsan hingga tamasya berakhir.
Abi memang malas bergerak, tetapi ketika menyangkut ibadah sholatnya dia tidak pernah main-main. Sifatnya akan berubah drastis. Seperti sekarang, dia menyeret Mayu di belakangnya. Memaksa gadis itu untuk berjalan cepat. Dia tidak ingin terlambat ke masjid kerena ulah Mayu. Abi tahu, ini bukan sepenuhnya kesalahan Mayu. Kalau ingin dia bisa pulang sendiri saat pukul lima sore. Dengan begitu waktu mandinya akan lebih dari cukup. Tetapi dia justru memilih menunggu hingga sekarang.
Abi tentu punya alasan dengan itu.
Dia jelas tidak ingin kejadian dua hari yang lalu terulang kembali. Itu benar-benar akan membunuhnya karena khawatir.
Seperti biasa, Mayu akan bermain voli di Padang dengan kawan-kawan dari satu kompleks atau dari kompleks lain. Mereka bertanding hingga menjelang malam seperti ini. Dan Abi selalu mengikut meski tidak ikut bermain. Kalau kata anak-anak voli lain, Abi adalah bumbu penyemangat bagi pemain wanita, walaupun kerjanya hanya tiduran di atas rumput bawah pohon.
Karena alasan ingin mandi lama sebelum ke masjid, Abi akhirnya pulang sendiri saat pukul lima sore. Tetapi celakanya, Mayu tidak kunjung pulang bahkan ketika jam di dinding menunjukkan angka 9. Semua orang dibuat kalang kabut, termasuk Abi yang sudah menggila. Untuk kedua kalinya, dia berlari dengan sekuat tenaga. Bibirnya tidak pernah berhenti mengucap doa sepanjang langkahnya menuju lapangan voli. Abi benar-benar khawatir, ditambah saat dirinya tidak menemukan sosok Mayu di mana pun.
Abi ketakutan. Itu perasaan baru baginya, sebab selama ini mereka tidak pernah berpisah tanpa tahu keberadaan masing-masing. Meski hanya beberapa jam.
Hingga tiga puluh menit kemudian, Mayu muncul dari arah jalan raya diboncengi seseorang. Abi sama sekali tidak mengenal pemuda pirang berwajah sangar yang mengantar Mayu pulang. Dengan langkah mantap Abi menghampiri mereka, hampir saja mengamuk kepada si pemuda andai Mayu tidak menjelaskan detailnya.
Usut punya usut, dia adalah Rio. Teman bermain mereka ketika mengadu jangkrik saat berusia 5 tahun, yang badannya gemuk dan ibunya gemar memaki Mayu dan Abi. Rio sudah tumbuh dengan penampilan baru. Wajahnya tidak lagi menyerupai bakpao dan tubuhnya pun tidak pendek. Yang Abi lihat, dia adalah pemuda berusia sepantaran dengannya, berwajah tirus cukup tampan, berambut pirang, bertubuh tinggi hampir menyamai Abi, kulit cokelat terbakar sinar matahari, dan jangan lupakan penampilan urakannya; telinga ditindik, dan ada tato di lehernya.
Rupanya, dia tidak melanjutkan sekolah.
Alasan Rio membawa lalu mengantar Mayu, karena mereka baru saja pulang dari warung bakso pinggir jalan raya, sembari mengobrol hingga lupa waktu. Tanpa Abi tahu, Rio merupakan salah satu teman Mayu bermain voli di Padang.
Mereka tidak pergi berdua, satu tim inti mereka yang berjumlah enam orang ditambah empat pemain cadangan, pun ikut serta. Permainan voli di Padang tidak terlalu mengikuti aturan permainan voli pada umumnya; tidak membedakan antara tim voli wanita dan tim voli pria. Dalam satu tim, mereka bisa bermain dengan lawan jenis. Sebab pada dasarnya, ini hanya permainan yang mengisi waktu luang di sore hari.
Tetapi tetap saja, Abi tidak terima.
.
.
.
Dia tidak akan membiarkan Mayu sendiri dan pulang terlambat diantar orang lain.
Pagi-pagi buta di hari minggu, Rio sudah ada di depan rumah Mayu dan Abi. Sejak kejadian itu, Rio jadi sering mengikuti mereka berdua kemanapun. Meski tidak melanjutkan sekolah, namun Rio bekerja di salah satu bengkel yang cukup besar di ujung jalan raya. Kalau sedang tidak bekerja ia akan datang ke rumah Abi dan Mayu untuk melepas hari.
Biasanya, mereka akan menonton film horor di kamar bang Mario Atau saling mengoper bola voli dengan Mayu di pekarangan rumah. Dan seperti biasa, Abi hanya akan duduk menonton di kursi teras sembari mengunyah kue kering buatan ibunya, atau Tante Tiara. Abi tidak pernah punya niat untuk membuang keringatnya. Karena sudah tahu karakter Abi, Rio pun tidak ketinggalan menjahili Abi. Saat berkeringat dia dengan sengaja menempelkan diri pada Abi yang sudah hampir pingsan sebab menahan nafas. Lantas, pemuda urakan itu akan terbahak dengan keras
Hari ini, Rio tidak datang untuk bermain terlalu pagi. Dia bermaksud mengajak Mayu ke gereja untuk menunaikan ibadah mingguan. Motornya pun sudah siap, terlihat licin pun mengkilap dimana-mana. Tetapi tampaknya, orang yang ditunggu masih belum bangun dari alam mimpi. Sebagai bukti, suara mamanya terdengar keras memaki Mayu beserta abangnya.
Mayu sungguh malas beribadah.
Pintu rumah Abi berderak terbuka dan sosok pemuda tampan bermimik lemas keluar dengan jaket tebal. Sejenak dia mendengus melihat keberadaan Rio yang menyengir menatapnya. Dan kian melongos saat Rio berjalan memasuki pekarangan rumahnya lalu duduk di kursi seberang meja yang kosong.
"Mayu belum bangun?" Tanya Abi kemudian.
Rio menatap Abi yang terlihat kedinginan, lalu menggeleng. "Belum. Karena itulah aku datang, aku akan membawa Mayu secepat mungkin agar tidak terlambat." Katanya begitu antusias.
Abi mendengus sembari mencibir. "Jangan terlalu dekat dengan Mayu." Katanya. Manik Abi meredup hampir tertidur. Tetapi segera membuka saat Rio berucap serius sembari menatap Abi.
"Memangnya aku tidak boleh suka pada Mayu?"
Abi menghadap Rio sepenuhnya. Bibirnya menipis dan matanya memicing tajam. Dengan suara dalam Abi menjawab, "tidak."
Tanpa diduga, Rio terbahak keras. Saking kerasnya ayam yang tidak sengaja lewat depan pagar terkejut lantas melompat pergi. Rio menatap Abi. "Jangan terlalu serius, Bi." Katanya. "Tenang saja, Mayu masih milikmu, tetapi sebelum itu aku akan memastikan dia rajin ibadah dulu. Hehehe.." Kekehnya.
Abi mendengus jengkel. "Terserah."
Sekali lagi Rio melirik Abi di sampingnya. Untuk waktu yang lama mereka hanya saling diam. Abi menatap pekarangan rumahnya yang sudah bersih di sapu ibunya. Dan Rio menatap sepatunya yang mengkilap habis disemir.
"Abi." Panggil Rio. Menoleh, Abi menemukan mimik serius Rio yang tidak biasa. Pemuda urakan itu berkata. "Kamu yakin dengan Mayu."
Abi tidak menjawab, tetapi rahang kokohnya yang berubah keras dan raut wajahnya yang serius membuat Rio ikut terdiam.
Dengan itu, Rio sudah tahu jawabannya.
Sampai akhirnya, Mayu muncul dengan wajah ditekuk. Tetapi, baik Rio dan Abi, kedua pemuda belia itupun dibuat terkejut dengan penampilan Mayu pagi ini. Mayu terkesan tomboi, dia tidak pernah memakai rok selain di sekolah. Mayu terlalu sering memakai pakaian longgar dan celana training. Tetapi hari ini, dia bahkan memakai make up walau masih terkesan natural. Jangan lupakan dress putihnya yang membalut tubuhnya dengan baik. Karena sering berolahraga, bentuk tubuh Mayu terbilang bagus. Jadi, dress dan make up-nya benar-benar bekerja.
Mayu terlihat cantik.
Secepat Abi terpesona, secepat itu juga dia memalingkan wajah ke arah samping. Dan karena reaksi Abi yang demikian membuat Rio tidak bisa menahan tawanya. Dia terbahak sangat keras, menambah kejengkelan di wajah Abi. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Abi segera memasuki rumahnya. Menguncinya dari dalam.
Melihat reaksi Abi, Mayu tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Dia pikir Abi tidak menyukainya. Apalagi saat Abi berteriak dari dalam rumahnya dengan keras sampai ibunya yang ada di dapur menegurnya.
"YUYU, GANTI BAJUMU. PAKAI BAJU LONGGAR SAJA, LALU BAKAR DRESS MU."
Dan Rio terpingkal hebat di kursinya.
.
.
.
Wajahnya bahkan memerah dengan puas.
"Yuyu, tunggu sebentar. Aku butuh bernafas."
Mayu berdecak menatap Abi di belakangnya. Mereka sedang mendaki sekarang, dan kegiatan ini membuat Abi nyaris kehilangan nyawa. Terkutuk lah ide Rio dan bang Mario. Kedua orang itu mengusulkan sesuatu yang tidak disangkah-sangkah__yaitu mendaki gunung lalu mendirikan tenda di atasnya. Sejatinya, ini dimulai dengan Rio, dia baru saja mendapatkan bonus gaji dari bengkel karena keuletannya. Tidak ingin bahagia sendiri, maka diajaknya Abi, Mayu, dan Mario untuk mendaki.
Sejak ada Rio, Abi jadi sering menderita. Ditambah Mayu yang selalu sependapat.
Menyebalkan!
Sebentar lagi mereka akan sampai di atas puncak gunung kalau saja Abi tidak meminta beristirahat di antara pohon dan bebatuan. Itu sudah yang ke empat kalinya. Bang Mario beserta Rio sudah sampai puncak sejak beberapa menit yang lalu. Mayu pun demikian andai ia tidak menunggui Abi. Tetapi, sekesal-kesalnya Mayu dia tidak akan membiarkan Abi dalam keadaan menderita.
"Mau ku gendong." Tawar Mayu, tidak tahan dengan Abi yang sudah hampir pingsan.
Abi menatap Mayu dengan pandangan lemas luar biasa. Lantas menggeleng dengan sisa tenaganya. "Tidak perlu." Katanya ngos-ngosan. "Mulai sekarang kamu tidak boleh sembarangan menyentuhku, paham." Katanya, masih sempat memperingati Mayu.
Mayu cemberut. "Ia, ia."
"Yu, naik duluan sana. Biar aku yang gendong Abi." Rio muncul kembali dari atas puncak. Ia tahu hal ini akan terjadi, karena itu dia hanya meletakkan barang bawaan lalu kembali untuk membantu Abi.
Abi mendesah lega melihat Rio. Menghampiri Abi sembari cengengesan, Rio kemudian membopongnya lantas membawanya kebelakang punggung.
Abi segera bersandar di pundak Rio yang cukup kekar untuk anak usia 13 tahun. Mungkin karena terbiasa bekerja sejak usia dini, diapun bisa mengangkat beban lebih. Termasuk menggendong Abi di punggungnya.
"Aku tertolong Rio." Kata Abi, suaranya redup nyaris hilang.
Sembari mendaki kembali, Rio terkekeh mendengarnya. "Hitung-hitung sebagai balasan. Mayu tidak akan ikut kalau kamu tidak ada." Ujarnya dipenuhi senyum.
Abi mengangguk, lalu tanpa sadar tertidur saking lelahnya.
Abi baru terbangun saat hari sudah mulai gelap. Dua tenda sudah didirikan; satu untuk Mayu, dan satu lagi tenda berukuran besar untuk tiga anak laki-laki. Mario pun sudah menyalakan api unggun ditengah-tengah, lalu Mayu sedang memanaskan makanan kaleng yang mereka bawa. Abi segera bangun, lalu mendapati Rio keluar dari arah tenda besar sambil menenteng gitarnya.
"Sudah bangun, Bi? Sana sholat magrib, waktunya hampir habis." Rio menegur, tapi tangannya sibuk menyetel gitarnya.
Abi mengangguk, lalu beranjak mengambil wuduh dengan air yang mereka bawa.
Meski hanya Abi yang beragama Islam, baik Mayu, Rio, atau bahkan bang Mario sangat tahu kegiatan Abi mengenai ibadah sholat lima waktunya. Mereka juga hapal kapan waktu sholat dan puasa sunnah yang akan Abi kerjakan.
Pada dasarnya mereka saling memahami dan toleransi.
Menjelang malam Rio tidak berhenti bernyanyi dengan gitarnya. Suaranya tidak buruk, tetapi mimik wajah serta tindakannya sungguh berlebihan. Abi bahkan sudah menguap tiga kali melihat Rio terus menggoda Mayu. Lantas, Bang Mario akan terbahak saat Mayu mulai kesal dan memukul kepala Rio dengan batu yang ada di sekitar mereka. Jelas, Abi pun memekik senang melihat Rio menderita.
Tepat tengah malam, Bang Mario memaksa mereka untuk tiduran di atas tanah berbatu sambil menatap langit gelap yang dipenuhi bintang. Katanya, biar kesannya romantis. Padahal Abi sudah sangat mengantuk. Dia adalah tipe yang sudah tidur sebelum jam sembilan malam. Pemuda itu mendesah berat, hidupnya tidak akan pernah tenang selama dia masih bersama ketiga orang ini.
Jika hanya Mayu, Abi tidak masalah.
"Bang, punggungku sakit." Mayu menggerutu. Tubuhnya bergerak dari sisi kiri ke sisi kanan. Dia sungguh tidak nyaman dengan posisinya.
Mario menatap adiknya, lantas cengengesan. "Itu terapi rematik, Yu." Katanya asal. Sontak tertawa sendiri.
Mayu mendecih jengkel. Abangnya itu memang tidak pernah membuatnya bahagia. Yang ada malah sebaliknya. "Kenapa harus tiduran di batu, sih. Kan bisa di rumput." Balas Mayu, tangannya terangkat menunjuk ke arah rerumputan dekat tenda.
"Kalau di sana, bintangnya tidak kelihatan Mayu cantik." Balas Mario tidak ingin kalah.
Leher Rio terasa gatal, lantas berkata. "Bang, kan sama saja. Pohon juga tidak ada. Jadi bintangnya juga kelihatan dari sana." Ujarnya kebingungan.
Mario berdecak. "Ikuti sajalah. Tadi kan sudah kubilang biar romantis." Mario teguh pada pendiriannya. Tidak ingin disanggah lagi.
"Romantis gundulmu, bang. Yang ada sakit punggungku." Teriak Mayu di sebelah Rio. Yang dibalas pemuda urakan itu dengan anggukan.
Mario sekali lagi berdecak lalu berdiri. "Ya sudah. Abang bawa laptop, mending kita nonton." Dengan langkah cepat Mario masuk ke dalam tenda. Mengambil ransel gunungnya dan mengeluarkan laptopnya dari dalam.
Rio segera beranjak mendekat, tidak lupa menggendong Abi yang sudah tidur. Sebelum ikut bergabung dengan Bang Mario beserta Mayu, Rio terlebih dulu memindahkan Abi ke dalam tenda. Memakaikannya selimut, dan menaruh bantal kecil di bawah kepalanya.
"Abi sudah tidur?" Mayu bertanya tepat setelah Rio keluar dari dalam tenda.
Rio mengangguk, lantas mendekat ke arah Bang Mario dan Mayu. Ikut bergabung di atas tikar kecil yang sudah mereka gelar.
"Sudah dipakaikan selimut? Bantalnya bagaimana? Abi tidak bisa tidur kalau tidak pakai bantal apalagi kedinginan." Mayu berkata dengan cepat, tubuhnya hampir berdiri untuk memastikan hasil kerja Rio. Tetapi pemuda itu segera menariknya duduk kembali.
"Sudah, Yu. Seperti yang kamu perintahkan, tidurnya pun sudah pulas. Kita nonton saja."
Mayu mendesah lega, biasanya di saat seperti ini dia yang akan melakukan itu untuk Abi. Tetapi sekarang punggungnya terasa sangat sakit. Semua itu karena ulah Abangnya. Jadinya, dia meminta tolong pada Rio.
"Sudah, sana duduk. Filmnya mau mulai." Mario menarik kedua bocah itu, menuntunnya duduk paling depan sedangkan dirinya bersembunyi dibalik punggung Mayu dan Rio.
"Bang, hantunya belum muncul. Jangan sembunyi dulu dong, kan tidak seru." Protes Rio, menarik Abang yang satu itu untuk keluar dari penyembunyiannya.
"Huaaaa__lihat, lihat, kan, kan, hantunya sudah muncul." Tau-tau Mario sudah berteriak. Matanya terpejam dan badannya gemetar. Rio segera terbahak di tempatnya.
"Kok Abang cupu. Tampangnya saja yang kayak preman, tapi aslinya Hello Kitty." Ejek Mayu. Abangnya benar-benar penakut tetapi sukanya nonton film horor. Semua film di laptopnya pun tidak jauh dari hal-hal yang berhubungan dengan hantu.
Dasar!
Mario tidak ingin kalah, dijewernya telinga Mayu. "Enak saja, begini-begini Abang itu fuckboy tahu."
"Hah? Mantan Abang memang sudah berapa?" Rio bertanya dengan seringaian dibibir. Dia bisa menentukan sendiri pendapatnya setelah mendapat jawaban.
Mario tampak berpikir, keningnya sampai mengerut seolah-olah dia berusaha mengingat siapa-siapa saja mantan kekasihnya. "Hmm, kayaknya cuma dua. Sekarang Abang jomblo, dua hari yang lalu putus." Katanya.
Sekali lagi Rio terbahak keras. Tanpa rasa takut ia mengetok kepala Mario meski tua beberapa tahun. "Itu mah bukan apa-apa, bang." Rio masih terbahak. Tangannya dengan keras menepuk-nepuk punggung Mario. "Aku, begini-begini mantannya sudah lima belas. Sekarang lagi deketin Mayu." Katanya bangga sembari melirik Mayu sudah yang melotot garang.
Mario mencibir. Dia menatap pemuda urakan itu dengan tampang kasihan. "Kalau kamu maunya Mayu, kayaknya bakal susah. Sebagai Abangnya, kalau kamu macam-macam aku tidak akan pandang bulu, loh." Mario terkekeh, tetapi tangannya meremas bahu Rio dengan kuat. "Belum lagi, kamu harus menghadapi Abi. Kamu pasti belum pernah lihat dia marah, kan."
Mario mendekat ke arah Rio, lantas berbisik. "Abi memang keliatan kayak orang mau mati. Tapi kalau menyangkut Mayu dia bisa berubah kapan saja. Kayak punya kekuatan gaib, gitu." Katanya.
Rio seketika bergidik.
"Ia sih, kadang Abi nyeremin kalau soal Mayu. Aku angkat tangan deh mau dekati Mayu. Nanti malah dibunuh Abi." Rio ikut terkekeh.
Sebagai balasan karena digosipkan di depan wajah sendiri, Mayu melempar Rio serta Abangnya dengan batu. Sayangnya, mereka berhasil menghindar.
.
.
.
Selesai sholat subuh, Abi keluar dari dalam tenda. Hal pertama yang dia lihat adalah gelap menjelang pagi. Udara kian dingin dan pemuda itu segera merapatkan jaketnya. Menghirup udara segar sebanyak mungkin, iapun duduk diantara bebatuan yang cukup tinggi. Diliriknya tenda Mayu yang masih sunyi dan tertutup, artinya gadis itu belum bangun. Pandangannya beralih menatap gunung lain dari tempatnya. Dia sedang menunggu matahari terbit.
Mendesah, Abi mencibir pada Rio dan Bang Mario yang ingin bangun lebih dulu. Nyatanya, mereka masih bergumul dengan selimut. Mungkin karena tidur terlalu larut.
Beberapa menit kemudian, cahaya matahari pagi menyembul keluar dari balik gunung sebelah. Abi tersenyum ketika cahaya hangat itu menerpa wajahnya. Begitu indah dan menakjubkan. Abi tersadar, lalu berlari ke arah tenda Mayu. Diguncangnya tenda itu dengan keras sembari berteriak menyebut namanya. Mencoba membangunkan gadis itu.
"Yuyu, bangun, mataharinya sudah terbit. Kamu selalu ingin melihat ini, kan. Ayo bangun." Abi berteriak lemas, tetapi tangannya masih kuat mengguncang tenda.
Alih-alih Mayu yang bangun, sebaliknya Rio dan Mario lah yang berhamburan keluar dari dalam tenda.
"Huaaa...lihat, lihat, Rio, itu matahari terbit di atas gunung. Hahahahaha menakjubkan." Mario berteriak kesenangan, lalu merangkul Rio di sebelahnya.
Pemuda urakan itupun balas mengangguk dengan wajah mengantuk.
Abi mulai panik, matahari sudah hampir terbit sepenuhnya tetapi Mayu bahkan belum bangun. Karena tidak punya pilihan, Abi terpaksa menerobos tenda lantas menggendong gadis itu menuju tempat Rio dan Bang Mario berada.
Di guncangnya tubuh Mayu dengan kuat, sampai akhirnya Mayu terbangun dalam keadaan lemas.
Abi tersenyum lesu. Tenaganya sudah terkuras pun tubuhnya kian terasa rapuh. Dengan perlahan Abi merosot turun dan akhirnya terduduk. Ia bersandar di bebatuan. Tetapi tanpa ia duga, Mayu pun ikut bersandar di bahunya.
Gadis itu berbisik. "Bi, aku bahagia karena ada kamu. Jangan hilang yah, Bi."
Abi memejamkan mata, meresapi rasa letihnya. Dia menjawab.
"Tidak akan."
Masa muda adalah hal paling indah,
.
.
.
Tetapi terkadang, indahnya menjadi pahit dikemudian hari.