Chereads / Cute Alligators / Chapter 26 - Nafas Buatan

Chapter 26 - Nafas Buatan

"Woy ada Pitbull ngamuk bawa papan reklame woy!"

"Mana-mana?!"

"Itu! Ayo kabur!"

Teriak para warga yang mulai menyingkir karna ketakutan.

Dubruk!

Dubruk!

Dubruk!

Glodak!

Si anjing Pitbull terus berlari, dan seluruh warga menjadi sangat ketakutan dengannya.

Mereka mengira si anjing sedang mengamuk, padahal si anjing berlari karna takut dengan Jamillah, yang saat ini muka dan tingkat kegalakannya naik 200% dari sebelumnya.

Sedangkan Kong Oesman berlari-lari di belakang si Pitbull mengejar hewan peliharaannya itu.

"Rocky! Tungguin woy!" teriak Kong Oesman dengan nafas yang kembang-kempisnya.

Tak sadar perburuan mengejar si hewan peliharaan itu hingga sampai di Kampung Rawa Ceban.

Dan tak sengaja saat berlari-larian, Kong Oesman, bertabrakan dengan seseorang.

"Aduh, sakit!" teriak seseorang yang baru saja di tabrak oleh Kong Oesman itu.

Lalu sebagai cowok yang gentleman, keren dan tidak sombong, Kong Oesman pun langsung mengulurkan tangannya untuk membantu seseorang yang sedang terjatuh dan menunduk itu.

"Kamu, gak apa-apa, 'kan?" tanya Kong Oesman.

"Enggak, aku gak apa-apa cuman bagian otak aku agak oblak sedikit," jelas wanita itu seraya mengangkat wajahnya ke atas.

Dan ternyata wanita itu adalah Jeng Oktaf.

Wanita pujaan Kong Oesman, yang sudah di rebut oleh Rene sahabatnya.

"Oktaf, kamu beneran Oktaf?" tanya Oesman memastikan.

"Yaiyalah! Oktaf, masa Mika Tambayong!" jawab Oktaf.

"Hehe! Si Oktaf bisa aja, ayuah berdiri  jangan boboan di situ," ujar Kong Oesman.

"Ayu!"

Setelah itu, mereka pun menepi di pinggir jalan, sambil duduk menikmati angin senja dan di temani satu gelas besar es cendol.

Oktaf dan Oesman tampak sangat asyik duduk berduaan sambil mengobrol.

"Dedek Oktaf, gimana kabarnya?" tanya Kong Oesman.

"Baik, Oesman," jawab Oktaf.

"Cendolnya gimana? Enak, 'kan?"

"Enak, Oesman, cuman agak asem dikit, kayaknya basi deh!"

"Ah, masa sih? Oesman mau coba dong,"

"Boleh ini," Oktaf menyodorkan gelasnya.

Lalu Oesman, mencoba es cendol yang baru saja dia belikan untuk Oktaf itu. Karna kebetulan mereka hanya beli satu gelas, bukan karna Oesman pelit, tapi karna Oesman sedang tidak membawa uang.

Hanya ada 5 ribu itu aja nyelip di celana dalam, kembalian dari mini market tadi.

Srottt!

"Iya, ya, Rasanya agak asem," tukas Kong Oesman seraya mengernyitkan alisnya.

"Tapi, buat memastikan, Oesman, coba sekali lagi deh," ujar Oesman.

"Ok, deh!" jawab Oktaf.

Srottt ...!

Oesman menyedot lagi es cendol milik Oktaf untuk memastikan, hingga satu gelas besar itu hampir habis.

Sedangkan Oktaf, hanya bisa melongo, es cendolnya di habiskan, tapi mau melarang tidak enak.

"Kok, tiba-tiba kepala aku jadi pusing begini ya?" ujar Oesman seraya memegang kepalanya.

"Hah, pusing?!" Jeng Oktaf pun memijit-mijit hidung Oesman.

"Oktaf, yang pusing kepalnya bukan hidungnya!"

"Eh, iya maaf, hehe, kamu gak apa-apa, 'kan?" tanya Oktaf.

"Semuanya jadi muter-muter," jawab Oesman.

"Waduh, berarti pusingnya parah banget dong?!"

"Ho'o!"

Dubrak!

Dan kong Oesman pun terjungkal dari tempat duduknya lalu pingsan, dari mulut Kong Oesman, keluar busa.

Nampaknya Kong Oesman baru saja mengalami keracunan, karna es cendol yang basi.

"Aduh, ini bagimana, dong!" Oktaf pun tampak sangat bingung, ingin menuntut kepada tukang cendol, tapi sayangnya abang-abangnya sudah kabur duluan.

"Aduh, gimana ini, kalau sampek mati di sini?! Dasar, Tukang Cendol Sialan!" umpat Jeng Oktaf.

Jeng Oktaf yang kebingungan tampak berdiri dan sambil garuk-garuk kepala.

Lalu dari kejauhan muncul Abah Rene, suami dari Jeng Oktaf.

Dan kebetulan dia sedang berjalan santai dengan Didi Blue.

"Eh, itu, 'kan si Papi, panggil enggak ya?" Kembali Jeng Oktaf menggaruk-garuk kepalanya.

"Tapi, kalau Papi tau aku sama, Oesman bisa bahaya banget, nanti dia cemburu lagi," gumam Jeng Oktaf.

Meskipun Jeng Oktaf berniat untuk tidak memberitahunya, namun sayangnya, Rene sudah melihat keberadaan Oktaf terlebih dahulu.

"Mami!" panggil Rene seraya melambaikan tangannya.

"Eh, Papi," jawab Oktaf, yang juga melambaikan tangan dengan ragu-ragu.

"Loh, Mami, ngapain di sini?" tanya Rene.

"Mami, lagi ... lagi ...." Jeng Oktaf tampak bingung mencari alasan.

"Mami, lagi apa? Jawab dong!" paksa Rene.

"Iya, Tante Oktaf! Jangan malu-malu," imbuh Didi Blue.

Seketika Jeng Oktaf melemparkan tusuk konde ke arah Didi Blue, dan menancap tepat di bagian ubun-ubun Didi Blue.

Seketika tubuh Didi Blue langsung kejang-kejang tak karuan. Karna tusuk konde itu bukan sembarangan tusuk konde, melainkan warisan dari Nenek Moyang yang seorang pelaut.

Siapa yang terkena tusuk konde itu  bisa pingsan, stres, dan terkadang juga malah bisa menjadi waras.

"Mi, kok Si Didi Blue, di anuin sih?" tanya Rene.

"Abisnya  dia bawel banget, Pi. Mukanya juga ngeselin," jawab Jeng Oktaf.

"Yaudah, kalau begitu, terus yang tiduran di selokkan itu siapa?" tanya Rene.

Seketika Jeng Oktaf, merasa sangat bingung, karna harus menjawab apa.

"Dia itu, adalah ...." Kembali Jeng Oktaf menggaruk-garuk kepalanya.

"Mami, belum keramas ya?"

"Udah, kok, Pi, minggu lalu,"

"Terus yang pingsan itu siapa?" tanya Abah Rene lagi.

"Siapa ya?" Jeng Oktaf mulai bingung mencari alasan lagi.

"Spiderman?" tebak Rene

"Bukan!"  jawab Oktaf.

"Ironman?"

"Bukan!"

"Saras 008?"

"Bukan juga!"

"Terus siapa dong? Orang gila?"

"Eh,"

"Gembel!"

"Eh, bukan!"

"Oesman!?"

"... iya ... hehe,"

Jeng Oktaf langsung memasang cengiran kuda yang tak berdosa, sedang kan tubuh Rene mulai memanas, karna melihat istrinya berduaan dengan mantan saingannya dulu.

"Mami, ngapain berduaan sama siluman biawak ini? Mami, selingkuh ya?" tuduh Abah Rene.

"Ih, enggak, Pi. Ta-tadi, Mami, gak sengaja tabrakan sama dia, Pi. Terus Mami di beliin es cendol," jelas Oktaf.

"Terus, Mami, mau-mau aja gitu?!"

"Ya, Mau, dong, Pi. Kita kan gak boleh nolak rezeki!"

"Terus, kenapa, si Oesman, bisa pingsan?"

"Keracunan, cendol, Pi!"

"Hah?! Keracunan cendo?! Kok bisa?!"

"Cendolnya basi, Pi!"

"Kok, Mami, gak keracunan?!"

"Mami, kan udah bisa makan begituan, Pi. Jangankan cuman cendol basi, urapan daun kecubung basi aja, Mami makan juga gak apa-apa tuh!"

"Oh iya!" Rene manggut-manggut, "kalau begitu, kita apain nih orang?" tanya Rene.

"Ya kita bikin sadar, dulu, Pi," jawab Oktaf.

"Gimana caranya?"

"Ya, sini, biar Mami, aja yang kasih nafas buatan ke dia, Pi?"

"EH JANGAN!" teriak Rene.

"Loh, emangnya kenapa, Pi?"

"Masa, Mami, yang mau kasih nafas buatan! Papi gak rela, Mami, cium-cium, mulut tu curut! Pokoknya biar Papi, aja yang kasih nafas buatan,"

"Ok, Pi, silakan!"

"Gini-gini, walaupun dia ngeselin, dia itu tetap sahabat Papi lo,"

"Iya, Pi, buruan di tolongin, Pi."

"Dan tau enggak, sebelum Papi dapetin Mami, dulu Papi, sempat tinggal satu rumah sama dia lo!"

"Iya, Pi!"

"Dan, Oesman ini pernah, nolongin, Pa—"

"IYA-IYA! PI! MAMI UDAH TAHU! KAN PAPI UDAH CERITA BOLAK-BALIK SAMPAI 1000 KALI! MAMI UDAH KHATAM, PI! BURUAN KASIH NAFAS BUATAN SEBELUM TU ORANG METONG!" oceh Jeng Oktaf dengan suara soprannya, mirip orang kesurupan.

"Eh, iya Mi. Maaf, Papi langsung kasih nafas buatan nih!"

" BURUAN!" sergah Jeng Oktaf.

1 menit kemudian.

"PAPI!" teriak Oktaf.

"Iya, ada apa sih?!"

"Kenapa yang di kasih nafas buatan Didi Blue! Bukannya Oesman?!"

"Eh, iya, Papi, salah orang, abisnya mirip sih!"

"Mirip dari mana, yang satu kerempeng, yang saru bengkak bisa ketuker!"

"Maaf, Mi, mata Papi, lagi mines!"

"Ah kelamaan, sini Mami aja!"

JANGAAAAAAAAN....!

To be continued