Kiara tiba-tiba berpegangan pada dinding, wajahnya pucat. Dia terhuyung setelah mendengar perkataan pelayan itu, "Asih, berapa harganya?"
"Lebih dari 100 milyar, nona." Wajah Asih tidak kalah ketakutan saat ini.
"Ap… apa?" Kiara tidak bisa menahan dirinya. Dia memegangi dadanya, hampir muntah darah. Dia berjongkok di tanah, mengulurkan tangan untuk menyentuh vas yang sudah tidak seperti vas lagi. Dia terkejut dengan harganya yang sangat mahal, lalu bergumam dengan hampa, "Sudah berakhir… ini semua sudah berakhir…"
"Nona, apa yang Anda lakukan?" Asih buru-buru pergi ke arah Kiara dan membujuk, "Lantai ini penuh dengan pecahan vas, jangan menyentuhnya, Anda bisa terluka. Biarkan saya membersihkan ini dulu."
"Aksa akan membunuhku." Kiara tidak bisa berdiri, tubuhnya sangat dingin, tapi hatinya panas sekali. Dia merasa sangat cemas sekarang.
"Tidak, nona. Tidak akan. Tuan pasti akan memaafkan Anda." Meskipun Asih takut, dia mencoba menenangkan dan membujuk Kiara, "Nona, Anda sedang mengandung anak Tuan Aksa. Dia pasti memperlakukan Anda dengan sangat baik, bahkan jika ada yang Anda rusak di sini, dia akan memaklumi. Lagipula, ada banyak vas lain yang tidak kalah bagus."
"Anakku dan aku tidak mungkin setara dengan 100 milyar. Bahkan mungkin tidak sampai setengahnya." Kiara menangis, mengambil beberapa pecahan vas. Setelah itu, dia bertanya, "Apakah ada lem? Bolehkah aku meminjam untuk menempelkan ini semua?"
"Tapi, Nona Kiara, Anda tidak bisa menyentuh pecahan ini. Tangan Anda akan terluka jika Anda tidak hati-hati." Asih dengan cepat melemparkan pecahan-pecahan vas itu ke samping dan berkata, "Nona, ketika Tuan Aksa kembali, Anda dapat menjelaskan kepadanya, saya juga akan membantu. Dia tidak akan marah pada Anda. Baginya saat ini, Anda dan anak di dalam kandungan Anda itu jauh lebih penting. Tenanglah, tidak akan terjadi apa-apa."
Dengan cahaya tenang di benaknya, Kiara dengan cepat meraih lengan Asih, "Asih, cepat carikan aku baju."
"Baju apa, nona?" tanya Asih dengan curiga.
"Baju hamil. Aku mau baju hamil!"
____
Kantor utama Grande Group.
Aksa duduk di kantor melihat dokumen-dokumen itu, punggungnya menghadap ke jendela kaca. Tubuhnya diselimuti oleh cahaya matahari yang sebentar lagi akan terbenam. Dia memegang pena di tangannya. Sambil duduk tegak, wajahnya terlihat tiga dimensi dan menawan dari samping. Dia terkadang mengerutkan kening, terkadang menulis atau menggambar di atas kertas. Setiap tindakannya ini selalu terlihat penuh pesona.
Sayang sekali tidak ada yang melihat 'keindahan' Aksa saat ini. Bahkan Aksa sendiri tidak menyadarinya. Karena dia begitu sibuk, dia tidak bisa istirahat, bahkan meluangkan waktu untuk minum pun, dia tidak akan sanggup.
Ketika seseorang berdiri di puncak dunia dan menikmati kemuliaan, harga yang harus dibayar di belakangnya seringkali sangat menyakitkan. Mereka selalu dikejar pekerjaan dan kesibukan. Tapi apa yang hilang Aksa bukan hanya waktu.
KRING!
Telepon di atas meja berdering, tanpa mengangkat kepala, Aksa menekan speaker dan bertanya, "Ada apa?"
Suara Ramon melewati penerima, "Tuan Aksa, apakah Anda bisa kembali ke rumah sekarang?"
"Ada apa? Apa Asih yang menyuruhmu meneleponku?" Aksa mengerutkan kening. Dia mengangkat kepalanya, dan menatap telepon, "Mengapa aku harus pulang sekarang? Apa ada masalah di sana?"
Hidup Aksa selalu ditentukan oleh dirinya sendiri. Karena tidak ada orang yang penting di dalam hidupnya, dia tidak pernah meluangkan waktu selain memikirkan pekerjaan. Apakah dia pulang atau tidak, itu adalah haknya sendiri. Panggilan untuk menyuruhnya pulang ke rumah ini benar-benar sebuah hal yang tidak pernah dibayangkan Aksa.
"Uh… ini… Nona Kiara yang meminta Anda pulang, tuan."
Kiara? Aksa tiba-tiba menyadari bahwa dia telah melupakan Kiara. Dia berdiri tegak dan bertanya, "Apakah Kiara mencariku untuk sesuatu?"
"Dia hanya menanyakan apakah Anda bisa kembali sekarang." Suara Ramon sedikit ragu.
Aksa mengangkat alisnya, "Katakan padanya, aku akan kembali." Dia ingin kembali dan lihat apa yang ingin dilakukan gadis itu.
"Oke, akan segera saya sampaikan."
"Tunggu sebentar!" Aksa menghentikan Ramon yang hendak menutup telepon. Setelah merenung lama, dia bertanya, "Apakah ada yang menemukannya?"
"Tidak."
"Tidak ada berita sama sekali?" Aksa sedikit marah dan tidak percaya.
"Tidak ada."
Aksa mencubit pangkal hidungnya, "Baiklah, teruskan tugasmu."
"Ya, tuan."
Menutup telepon, Aksa tidak bisa memusatkan pikirannya untuk sementara waktu. Dia menatap titik tertentu di kejauhan, dan berpikir keras.
____
"Apakah Aksa benar-benar akan kembali?" Di rumah, Kiara mendapat kabar dari Asih dan segera berkata, "Asih, tolong minta dapur menyiapkan hidangan favorit Aksa, apa pun yang dia suka makan. Aku akan mengurus semuanya, dan aku akan bertanggung jawab atas uangnya."
Asih tersenyum hingga matanya tampak seperti bulan sabit. Dia menganggukkan kepalanya lagi dan lagi sambil berpikir bahwa Kiara ini sangat baik kepada tuannya.
Setelah Kiara selesai berbicara, dia berjalan ke atas sambil memegang baju hamil yang baru saja dia dapatkan. Dia merasa sangat gugup. Dia meletakkan tangannya di perut, lalu mengusapnya dengan penuh kasih sayang. Dia bergumam, "Ibu akan membantumu, nak."
Ketika langit semakin gelap, Kiara sedang duduk di ruang tamu utama di lantai bawah dengan baju hamilnya. Dia menjaga meja yang penuh dengan makanan lezat, tetapi tidak nafsu makan.
"Nona Kiara, mobil Tuan Aksa sudah masuk ke halaman!" Saat ini, Asih masuk dari luar. Dia tersenyum dan berkata, "Dia akan segera masuk ke rumah."
"Ah? Benarkah?" Kiara tiba-tiba duduk dari kursi mewah, berlari keluar, "Aku akan menjemputnya!"
Aksa mendorong pintu mobil dan melangkah keluar dari mobil mewah dengan kakinya yang panjang. Begitu dia mendongak, dia melihat sosok gadis berlari ke arahnya. Gadis itu tersenyum hangat, seolah ingin meluluhkan hatinya.
Kiara mencoba yang terbaik untuk tetap anggun dan berlari ke arah Aksa. Dia buru-buru berbicara, mengangkat kepalanya dengan senyum cantik, "Apakah lelah setelah seharian bekerja? Apakah panas? Makan malam sudah siap, sayang."
Ketika Aksa hendak melangkah, dia berhenti tiba-tiba karena mendengar kata terakhir dari mulut Kiara. Tangannya gemetar, kakinya lemas. Dia hampir jatuh. Setelah beberapa saat, dia berkata dengan marah, "Kiara, kamu memanggilku apa?"
"Sayang!" Kiara mengatakannya begitu saja. Dia mengulurkan tangan dan menyentuh perutnya. Dia dengan sengaja berkata dengan manis, "Nak, lihat, ayahmu sudah kembali."
Aksa tanpa sadar memandangi perut rata Kiara. Dia mengerutkan kening, "Kiara, apakah kamu gila?"
Mulut Kiara berkedut, dan hampir menunjukkan senyum marah, tapi dia berpikir bahwa itu akan merusak rencananya. Jika dia tidak memecahkan vasnya, dia tidak akan pernah bersikap seperti ini pada Aksa!
Kiara tersenyum menyanjung, "Aksa, apa yang kamu bicarakan? Bukankah kamu menginginkan seorang anak? Aku sudah melakukan apa yang kamu inginkan. Aku tinggal di sini."
Aksa melirik Kiara, bibir tipisnya terbuka, "Kenapa? Tadi memberontak, sekarang jadi lembut? Apa ini agar aku bisa melepaskanmu? Kiara, aku tidak akan terpengaruh. Bagaimanapun, anak di perutmu, aku yang akan membuat keputusan, jadi jangan membuat drama di rumah ini."
Setelah berbicara, Aksa menjentikkan lengan bajunya dan pergi dengan langkah lebar.
"Hei!" Kiara berteriak dengan keras. Dia menatap Aksa yang beberapa langkah menjauh, dan bergegas mengejarnya, "Aksa! Aksa, tunggu aku! Sayang, tunggu aku!"
Sungguh mengejutkan. Ketika Aksa mendengar kata "sayang", dia ingin memotong leher Kiara. Jika bukan karena anak dalam perutnya, dia pasti akan melakukannya sekarang.