"Sudah kuduga, melukaimu hanya sia-sia. Kamu hanya merasakan rasa sakit sementara waktu. Tanda yang bagus di lehermu dan di Awan juga, bulan sabit. " Sain memejamkan matanya ketika telinganya bergemuruh oleh emosi yang menguasai dirinya. Kemudian Renjana kembali berbicara yang dalam sekejap darah Sain mengalir cepat. "Bagaimana jika aku melakukan padanya? Kamu juga pasti akan merasakannya, kan?"
Sain menggeram. "Jika kamu berani melakukannya, atau bahkan menyentuhnya? Tidak peduli pria dan wanita aku akan membuat kamu menyesal."
Sain mulai memaksa dirinya bergerak untuk bangkit berdiri yang terasa sia-sia. Dia sangat kesulitan, bahkan hanya bergeser sedikit saja. Yang justru semakin membuat tubuh Sain menempel sejajar dengan lantai.
"Kemana ucapanmu barusan?" Renjana tertawa kembali,