Seorang pria berumur pertengahan tiga puluh tahun datang dengan pakaian hitam putih. Di kedua tangannya, memegang nampan yang berisi segelas jus jeruk dan secangkir teh hangat. Ia menggunakan tangan kanan untuk menyajikan dua minuman berbeda tersebut di atas meja kaca berbalut renda emas.
Setelahnya, pria itu pamit undur diri. Entahlah, Helena tidak tahu. Mungkin, ke dapur?
Selena menyilangkan kedua kakinya. Ia berujar, "Minumlah dulu."
Helena mengangguk. Dirinya lekas mengangkat cangkir teh yang terlihat tidak terlalu panas. Ia kemudian meneguknya beberapa kali, hangat.
"Bagaimana?"
"Ini nikmat," jawab Helena setelah meletakkan kembali cangkir teh tersebut ke atas meja.
"Tentu saja. Pekerja-pekerjaku sangat pintar, terutama urusan dapur."
Helena tertawa pelan. "Oh, ya. Saya tadi sempat kagum dengan rumah Anda. Berada di tengah-tengah hutan," ungkap wanita itu. Jujur saja, ia pikir Selena adalah orang metropolitan yang lebih suka berada di kota.
"Orang-orang yang datang ke rumahku selalu mengatakan itu." Selena terkekeh. "Aku hanya suka tanaman akhir-akhir ini. Jadi, yah ... beginilah akhirnya. Aku memakai tempat ini ketika jadwalku tidak sibuk."
"Itu pasti menenangkan."
Selena mengangguk. Namun, detik berikutnya ia mengibaskan tangan pelan. "Kau tidak penasaran dengan Ainsley?"
Helena mengernyit. Tentu saja dia bingung.
"Oh, ayolah. Dia pacarku."
Hampir saja Helena melotot pada Selena saking terkejutnya. Jangan katakan ini nyata. Heran. Siapa artis papan atas yang dengan santainya membocorkan tentang hubungannya? Mungkin, tidak ada. Minimal, lima persen. Yah, Selena termasuk dari lima persen artis papan atas itu.
Satu kalimat pernyataan Selena tersebut, mampu membuat topik pembicaraan yang masih terus berlanjut. Seperti wanita pada dasarnya, Helena dan Selena mulai berbagi cerita. Pembicaraan antar dua wanita yang begitu mengasyikkan.
Hingga akhirnya, Helena sudah harus berpamitan pulang. Waktu memang selalu berjalan cepat saat kita bahagia.
"Terimakasih atas waktu Anda. Hari ini sangat menyenangkan." Helena bangkit dari sofa. Begitu juga dengan Selena yang terpaksa memberikan izin untuk pulang. Padahal, pembicaraan tadi sangatlah seru. Sayang sekali.
"Datanglah lagi kapan-kapan," ucap Selena sambil mengantar tamunya hingga depan rumah.
Selena mencari-cari pria paruh baya yang biasa ada di kebunnya. Hingga, kedua netranya menemukan yang dicari tengah menyirami tanaman. "Jeremy!"
Pria paruh baya itu menoleh, segera mematikan selang air dan langsung menghampiri majikan. "Ya, Selena? Ada yang perlu saya bantu?"
Selena mengangguk. "Tolong antar Nona ini ke depan. Sudah ada mobil yang menjemputnya, atau tanyakan langsung saja padanya," perintahnya dengan menunjuk ke arah Helena.
Pria paruh baya yang mungkin berprofesi sebagai tukang kebun itu mengangguk mengerti. "Baik, Selena. Saya akan mengantarnya dengan selamat."
Tersenyum kecil, Selena kemudian menatap Helena. "Semoga collaboration kita sukses," ucapnya.
"Tentu. Jika dengan Anda, itu sudah pasti."
Tak dapat dipungkiri. Selena pernah menjadi salah satu artis yang memiliki penghasilan tertinggi di dunia.Yah, tentu saja itu tidak luput dari kerja keras dan kemampuannya yang menakjubkan.
Diberi kesempatan berkaloborasi dengan Selena, Helena merasa sangat senang. Ditambah, dapat bertamu dan bertemu langsung dengannya.
"Saya sangat senang hari ini," sambung Helena.
"Sepertinya kita perlu liburan bersama."
Keduanya tertawa singkat.
Sebelum akhirnya, Helena segera mengajak tukang kebun yang sedari tadi menunggu untuk mengantarnya. Sedang Selena, masih senantiasa menunggu punggung tamunya menghilang jauh. Tidak sopan jika dirinya langsung masuk ke dalam.
"M–maaf, Anda ... Helena, bukan?"
Helena menoleh, tersenyum, lalu mengangguk singkat. "Ya. Ada apa?" tanyanya sambil terus berjalan menyusuri jalanan setapak.
Tukang kebun itu menghentikan langkahnya. Dia menatap Helena ragu. "Anak perempuan saya sangat menyukai Anda. Dia masih berumur tiga belas tahun. Apa ... boleh jika saya meminta tanda tangan Anda untuk anak saya? Itu hanya jika boleh."
Helena termenung. Ternyata, hanya itu yang ingin dikatakan.
Wanita itu tertawa pelan. "Tentu saja boleh. Bahkan saya ingin berkenalan dengan anak Anda. Karena mungkin rumahnya jauh, saya hanya akan berkenalan lewat video call. Boleh?"
Tampak pria paruh baya itu terkejut dengan apa yang barusan Helena katakan. Dengan cepat, ia mengangguk beberapa kali. "Tentu! Terimakasih banyak. Sebentar!" Ia merogoh saku celananya terburu-buru, mengeluarkan sebuah benda pipih dan menyerahkan pada Helena.
"Apa saya menelepon lewat nomor istri Anda?" tanya Helena memastikan. Ia menunjuk layar handphone yang diberikan tukang kebun tersebut. Terdapat nomor dengan nama 'My Wife' di sana.
"Iya, Nona. Putri saya tidak memiliki handphone, jadi masih satu nomor dengan istri saya," jawabnya cepat.
Helena tersenyum. Ia lekas menekan 'Video Call' pada layar benda pipih itu. Berdering beberapa detik, hingga muncullah wajah seorang wanita paruh baya dengan mengenakan baju longgar khas ibu rumah tangga.
"Halo," sapa Helena.
"Oh? Anda ... bukankah yang kemarin ada di televisi?!"
Helena tersenyum melihat wanita itu yang terkejut dengan menutup mulutnya. Mungkin, ia sedang tak percaya. Yah, kemarin Helena, 'kan, menjadi bintang tamu di sebuah acara televisi Amerika Serikat. Lagipula, orang mana yang tidak terkejut mendapat Video Call dari soloist terkenal. Terlebih, lewat nomor suaminya.
Jika saja Helena bukan soloist terkenal. Mungkin, wanita itu akan menganggap bahwa ia sedang ber–Video Call dengan orang yang merebut suaminya.
"Apa putri Anda ada di rumah?" tanya Helena pelan. Ia berusaha untuk tidak membuat wanita paruh baya itu kembali terkejut. "Suami Anda berkata bahwa putrinya ingin bertemu saya. Jadi, saya bermaksud ingin berVidio Call dengan putri Anda," sambungnya kemudian.
Terlihat, wanita paruh baya tersebut mengangguk cepat. Ada perasaan senang di dalam dirinya. "Ya! Saya akan memanggilnya."
"Jesselyn! Kemari, Nak!"
Helena mendengar suara seorang gadis menyahut, "Ya, Mom?"
Beberapa detik kemudian, Helena dapat melihat gadis tersebut menghampiri, wajahnya terlihat jelas. Tatapan matanya tertuju pada layar handphone yang sedang dipegang ibunya.
Ia terlonjak kaget. "Mom? Sedang menonton Helena Eonnie?" tanyanya polos.
Sang ibu menggeleng pelan. "Tidak, Jes. Nah, nona ini ingin menyapamu."
Helena tersenyum saat melihat ibu tersebut menyerahkan handphone pada putrinya. Layar pun nampak setengah bergerak, akibat dari pergerakan handphone di ujung sana.
Salah satu tangan Helena bergerak ke kanan dan kiri pelan. "Halo," sapanya kemudian.
"W–what?!"
"Siapa namamu, Cantik?"
"Eonnie ...? Aku sedang berbicara dengan Anda?!"
Helena mengangguk sembari tertawa pelan. "Ya! Aku sedang berbicara denganmu. Juga, bertanya siapa namamu? Kau belum menjawabnya."
Tampak gadis berambut pirang terurai itu terdiam sejenak. Tolong, ia butuh beberapa saat untuk menetralkan degup jantungnya. Baru kemarin dia melihat Helena di televisi. Lalu, sekarang?
"S–saya ... nama saya, Jesselyn, Eonnie." Gadis yang bernama Jesselyn itu akhirnya menjawab. Mungkin setelah hampir satu menit terdiam.
"Jesselyn? Wah, nama yang sangat cantik!"