"Apa sekarang lo bakal bilang, 'ah, aku ketahuan' gitu?"
Binar mengernyitkan dahinya, "Maksud kamu?" tanyanya lugu,
"Gak usah berbelit-belit, lo mau bubarin geng gue karena lo bagian dari mereka yang pernah gue sakitin kan?"
"Ha—"
"Bin, gue sama anak buah gue yang lain udah bener-bener berubah. Gue gak sama sekali nyakitin orang lagi,"
Binar tertawa sumbang, "Nyakitin?" dia menggaruk telinganya, mengernyit, kemudian memejamkan matanya dan membuka kembali saat itungan dua detik.
"Emang kamu nyakitin siapa? emang aku siapa, apa gak aku buat ngurusin kegiatan kamu dan geng kamu itu?" tanya Binar membalikkan situasinya.
"Terus kenapa lo bersikap aneh waktu kita berdua di mall, kenapa lo terus megang telinga lo, kenapa lo suka tiba-tiba mengangguk atau berdehem, kadang juga lo ketawa sendiri. Apa lagi kalau bukan lo lagi cari informasi tentang gue dan geng gue?"
Binar melepas earphones nya, dia memang jarang mengikat rambutnya akhir-akhir ini saat detik-detik mendekati Athala. Itupun diberitahukan oleh seniornya.
Waktu itu Binar baru saja kembali dari sekolah, saat itu pertama kalinya dia bertemu dan menatap Athala ketika pria itu dan para anak buahnya berniat membolos dengan melompati pagar belakang sekolah yang tidak di tanami serpihan kaca atau setidaknya kawat agar tidak ada yang kabur lagi. Binar mendengar bahwa Athala juga sering memperhatikan dirinya dari jauh saat sedang mengawasi mereka, dan saat itu senior menyuruhnya membeli earpod untuk berjaga-jaga dan selalu memakainya, bilang pada Athala bahwa dia sering mendengar podcast karena sekarang dia menjadi seorang pengisi radio jika waktu istirahat tiba. Itu adalah alibi paling masuk akal yang akan membantunya nanti, tepat hari ini.
"Earpod ini? Kamu masih curiga?" tanya Binar,
Athala mengangguk, tatapannya bahkan berbicara seolah-olah dia sangat curiga pada Binar.
"Alasan apa yang bikin kamu mempunyai keberanian langsung menuduhku seperti itu?"
"Satu, sikap lo saat pertama kali kita ketemu, lo selalu stay perhatiin gue sampai-sampai kadang lo gak merhatiin temen gue yang lain."
Binar mengernyit, "Dua?"
"Dua, kelakuan lo yang suka menyendiri dan gue nanya ke temen-temen lo. Mereka bilang lo gak pernah mau kalau mereka minta buat kerja kelompok di rumah lo—"
"Karena aku miskin," potong Binar, jelas-jelas alasan semacam itu tidak bisa dijadikan bukti yang merujuk pada dirinya tentang praduga yang Athala berikan, meskipun kebenarannya adalah hal itu sekalipun.
"Karena sebenarnya lo gak miskin!"
Binar tertawa, "Kalau aku gak miskin, aku gak bakal sekolah disini. Aku bakal ambil homeschooling karena aku gak bisa bergaul, dari situ udah jelas bukan?"
Binar tahu jelas bahwasanya jika dia menambahkan banyak alibi, semakin jelas kecurigaan Athala pada dirinya. Tetapi sekali lagi Binar sangat paham dengan Athala, sedari kecil pria itu tidak pernah memiliki pendirian yang kokoh untuk memecahkan fakta yang Binar sangkal.
Athala terdiam, entah kenapa membuat Binar merasa menang.
"Bodoh,"
Binar tanpa sepatah kata pun pergi ke kelasnya, hari ini ada mata pelajaran olahraga. Karena dia tidak pernah sama sekali mengikuti mata pelajaran olahraga karena dia tidak menyukai itu, Binar dibolehkan untuk berdiam di kelas atau berjalan-jalan asal tidak pergi ke kantin saat pembelajaran berlangsung. Binar tidak berkata bahwa dia tidak menyukai olahraga saat meminta izin, tetapi dia melampirkan surat dokter yang memang 'pernah' dia dapatkan dulu, agar tidak disuruh berolahraga.
"Darimana lo?"
"Oh, hai...."
"Darimana?"
Binar menaruh tas nya di samping Alvino, "Baru berangkat, bus yang lewat terlambat. Terus bus sebelumnya penuh, so?"
"Bangun terlambat kan lo?"
Binar meringis, padahal dia harus pergi ke kantor pusat untuk menyerahkan data-data yang diminta oleh klien nya.
"Hari ini lo ada kerja paruh waktu?" tanya Alvino, Binar mengangguk.
"Cafetaria bukan?" tanyanya lagi, dan Binar hanya mengangguk.
"Gue boleh mampir ke sana? Sekalian ngerjain tugas,"
Gadis itu berkedip, bagaimana bisa Alvino kesana jika Binar tidak bekerja disana?
"Oh, boleh. Lagian Cafetaria kan umum,"
Dia ingat Cafe milik Frang, meminjamnya sebentar mungkin boleh. Hanya satu atau dua jam, setelahnya dia akan pergi ke kantor untuk memberikan datanya.
"Betewe Bin,"
"Hm, kenapa?"
"Lo tau gak, ibu peringatan hari kematian ibu Athala ke 8 tahun." ucapnya, "Biasanya Alvin bakal ke tempat pemakaman, karena dia, Dirga, sama Galin yang paling deket sama Athala."
Binar mengangkat kelopak matanya, "So?"
"Lo kemarin bukannya kencan sama dia?"
"Ngga, cuman dia nepatin janji buat nurutin apa yang aku mau. Dan aku milih buat pegi ke mall karena gak pernah pergi ke sana," jawabnya santai,
"Lo bisa minta ke gue,"
Binar menoleh ke arah Alvino, "Ha?" tanyanya,
"Kalau lo kau pergi kemanapun, lo bisa minta ke gue. Gue bisa ajak lo kemanapun yang lo. mau, inget Bin kita itu temen. Kalau lo gak bisa, ada gue." ucapnya,
Binar hanya tersenyum dan mengangguk saja, lagipula itu hanya kalimat pembawa kebahagiaan saja.
Entah kenapa, Binar merasa bahwa membohongi Alvino lebih mudah padahal dia sangat pintar di bidang akademik maupun non-akademik. Tetapi, saat Binar cari tau kebenaran mengapa Alvino sangat tidak peka terhadap lingkungannya. Ternyata Alvino selalu saja memakai kepintarannya, dia tidak cerdas. Semua yang Alvino lakukan hanya tentang rumus dan sesuai apa yang dia pelajari, nilai logikanya juga buruk. Itu sebabnya Alvino sangat bodoh terlebih lagi saat sudah memakai perasaannya. Dan kebenarannya adalah, Alvino mudah tertipu meski dia pintar.
"Aku bakal dispen kayanya, gak enak badan. Next time aja kayaknya, kamu pergi ke tempat kerja ku. Sorry ya...."
"Tiba-tiba?"
Tugas Binar yang terakhir akan segera selesai jika dia hanya menghabiskan waktu untuk duduk menunggu jam pelajaran jasmani dan olahraga yang terbilang lama, dia lebih baik pergi saja izin pulang dan menyelesaikan tugasnya.
"Apa perlu gue mintain surat izin?" tanya Alvino menawarkan dirinya,
Binar menggeleng, "Aku aja yang minta, sekalian pulang. Izin ya, aku juga izin kumpulan OSIS. Sorry, anak baru sering izin." ucap Binar tertawa pelan,
Alvino mengangguk, "Gak apa-apa kali, lagipula lo kan sakit bukan males apalagi bolos," ucapnya,
Binar mengangguk dan berjalan pergi meninggalkan Alvino.
Dia tidak butuh surat izin, hanya tinggal pergi keluar saja dan berjalan ke kiri untuk mendapatkan mobil miliknya yang terparkir di rumah Frang. Sangat dekat dengan sekolah, dan dia juga membangun Kafetaria untuk menutupi rumah gelapnya yang sangat besar. Tetapi saat sedang fokus menatap jalan, Binar merasa ada yang mengikuti dirinya. Prasangka itu membuat dia memilih untuk berbelok ke kanan, dan mencari celah untuk melihat wajah seseorang yang dengan penuh berani mengikuti dirinya dan belakang.
"Cari mati,"
Binar menutup kepalanya dengan tudung hoodie miliknya dan berjalan memutari jalan dan dia berhasil membalikkan situasi menjadi dirinya yang mengikuti pria gila itu, "Ini sangat menyenangkan!"