Chereads / Elyana : Jodoh Dari Allah / Chapter 10 - KEBAHAGIAAN YANG KUDAPAT

Chapter 10 - KEBAHAGIAAN YANG KUDAPAT

Aku membuatkan teh kesukaan Habib untuk menemaninya malam ini. Sebagai seorang dosen, Habib sangat sibuk. Di tambah lagi, usaha restoran yang baru di rintisnya beberapa bulan lalu, membuatnya menghabiskan lebih banyak waktu di balik meja.

Umur pernikahan kami baru memasuki tiga minggu, dan aku tidak lagi mendengar permintaan Habib sejak malam itu. Aku takut dia merasa kecewa, sebab aku sudah menolaknya.

"Mas, ini tehnya," kata ku ketika menaruh teh di meja kerjanya.

"Terimakasih."

Aku masih berdiri di depannya. Sebenarnya aku agak ragu menanyakan ini, tapi ini sungguh menggelitik hati. Aku takut dia tersinggung, atau mungkin dia akan marah jika aku menanyakan hal ini.

"Kenapa? Ada yang ingin kamu sampaikan?" tanya Habib menyadari keraguanku.

"Eum ... tapi Mas jangan marah ya?" Aku sudah wanti-wanti duluan, takut dia marah.

"Tidak akan. Apapun itu, tanyakan saja," jawabnya santai.

"Sebenarnya Mas cinta pada ku atau tidak? Mas menikahi ku karena paksaan dari ayah, 'kan?"

Habib langsung menutup laptopnya dan menatapku. Tidak seperti biasanya saat dia menatap ku dengan mata teduhnya, kali ini ada sedikit api di matanya. Aku takut, sungguh! Ujung jilbab terus aku mainkan untuk menghilangkan rasa gugup.

Habib menarik pundak ku hingga kami saling bertatapan. "Elyana, kamu dengarkan Mas! Mas menikahimu karena Mas memang suka denganmu. Dan yang terpenting adalah ... karena Allah. Jadi jangan berpikir yang tidak-tidak."

"Lalu kenapa tak pernah menyentuhku? Apa karena malam itu?"

"Karena belum saatnya, El!" Tegasnya.

"Saat seperti apa yang Mas tunggu? Aku tidak mau lagi menolak ajakan Mas, aku tidak mau menyakiti hati Mas Habib." Ujar ku hampir menangis.

Lelaki itu menatapku tajam. "Saat nama Umar hilang dari hati dan pikiranmu."

Deg!

Aku terperanjat.

"Mas tidak mau, saat ragamu Mas dapatkan tapi jiwamu bersama orang lain." Pungkasnya. "Mas mengerti, dan Mas tidak akan menyentuhmu sebelum Umar hilang dari sini," kata Habib menunjuk dadaku.

Aku bergeming. Tidak tahu harus berkata apa untuk menimpali. Hanya ada setitik air mata yang turun membasahi pipi, tapi buru-buru kuhapus sebelum Habib melihatnya.

Ah, aku semakin merasa bersalah pada suami ku itu. Tapi, tunggu! Kenapa dia bisa tahu tentang Umar? Atau jangan-jangan ...

"Ya, Mas sudah tau semuanya. Karena Umar sudah menceritakan semuanya pada Mas. Awalnya Mas ragu, tapi begitu melihat fotomu, Mas yakin dan Mas mau menikahimu. Mas paham, kamu tidak mencintai Mas, tapi ijinkan Mas mencari kunci itu agar Mas bisa masuk ke dalam hatimu," jawab Habib setelah aku bertanya.

Sungguh, Habib ini baik sekali. Aku tidak pernah menduga akan mendapat suami sebaik dia. Bahkan setelah dia tau hatiku bukan miliknya, dia masih mau menerima ku. Istri macam apa aku ini? Bisa-bisanya menelantarkan suami seperti Habib.

"Hei, jangan menangis." Habib mengusap air mata ku yang tumpah. "Mas tidak suka melihatmu menangis."

"Maafkan aku, Mas. Tidak seharusnya aku mengharapkan lelaki lain di saat aku sudah menjadi istri orang, maafkan aku," sesal ku padanya.

Habib membawaku kepelukannya yang hangat. "Tidak apa, Mas akan bantu kamu melupakan Umar. Mas janji," katanya.

Ya, Allah ... malaikat ini begitu baik. Aku sangat tidak tega melihatnya. Meski kepalaku ada dalam dekapannya, aku bisa merasakan air dingin membasahi bagian atas hijab ku. Dan aku yakin itu air mata Habib.

***

Untungnya besok Habib tidak terlalu banyak kelas. Dia mengajar hanya dari jam 10 sampai jam tiga, dan kami bisa pergi ke rumah bang Fahri setelah sholat ashar. Tidak terlalu lama memang, aku juga tidak tahu berlama lama kami di jalan, sebab aku ketiduran.

"El .., bangun!" Ku dengar suara berat Habib memasuki indra pendengaranku.

Tangannya juga berusaha membangunkanku lewat tepukan pelan di bahu.

"El, bangun. Kita sudah sampai di rumah bang Fahri," katanya lagi.

Dengan malas, aku membuka mata. Benar saja, kami sudah sampai dan ... ternyata ada Farida dan juga Umar di dana. Aku bisa melihat mobil yang biasanya Umar pakai terparkir di samping mobil kami.

Aku dan Habib masuk ke rumah. Ternyata, Farida dan Umar sedang menemani Azka bermain. Aku langsung saja beralih ke dapur. Tidak mau melihat Umar dan Farida terlalu lama. Selain karena takut tidak bisa mengontrol hati, aku juga takut Habib akan marah nanti.

"Mbak, biar aku bantu masaknya, ya?" kata ku menawarkan bantuan pada mbak Anisa.

Makan malam kali ini hanya di isi percakapan dua keluarga, semuanya tertawa dan bersenang-senang. Saling menanyakan kabar dan berceloteh betapa nikmatnya masakan yang terhidang.

Bahkan, si kecil Azka juga ikutan nimbrung sambil terus mengunyah ayam goreng. Aku sendiri hanya terdiam, menyatap hidangan di piring ku. Perasaan ku terngah berperang, antara bahagia dan terluka. Aku bahagia karena bisa memiliki Habib sebagai suamiku.

Tapi aku juga terluka melihat kemesraan Umar dan Farida. Sejak tadi mereka terus-terusan tertawa, menyebalkan!

"Astaghfirullah, El! Kenapa piring kamu masih penuh?" tanya mbak Anisa, kebetulan wanita itu duduk tepat di samping ku.

Aku mengangkat kepalanya, menatap orang-orang yang kini balik menatapnya heran. "Maaf, aku malah ngelamun."

"Memangnya apa yang kamu pikirkan?" Bang Fahri ikut bertanya.

Aku tersenyum dan menggelengkan kepala. "Bukan hal penting, Bang. Silahkan di lanjut makannya."

Saat mengalihkan pandangan dari bang Fahri, tak sengaja mataku bertemu dengan mata Umar. Sepertinya dia memang memperhatikan ku sejak tadi. Alisnya terangkat seolah pertanda bahwa dia bertanya, 'ada apa?'

Aku hanya menggeleng. Untungnya Habib peka, dia memegang tanganku lalu tersenyum. Hati ini memang sedang gusar, tapi Habib mampu menjadi penenangnya.

"Jadi, kapan El dan Habib akan punya momongan?"

Pertanyaan bang Fahri barusan sungguh membuat ku terbatuk hebat. Habib sampai panik, dia mengambil air minumku dan menepuk-nepuk punggungku.

"Makanya, kalau makan itu harus hati-hati." Mbak Anisa menasehati.

"Maaf, Mbak."

Aku sungguh malu. Setelah acara makan malam selesai, aku memilih mengurung diri di kamar dari pada harus ikut berkumpul di ruang keluarga. Di sana ada bang Fahri, mbak Anisa, Farida, Habib dan juga Umar tentunya. Sedangkan Azka pasti sedang belajar di kamar.

Sedang asik membaca buku, tiba-tiba Farida datang. "Mbak? Aku boleh masuk?"

"Tentu, Farida. Masuklah!"

Farida masuk dan tanpa ragu mendudukkan diri di samping ranjang ku. Dia tersenyum, aku hapal betul senyumannya itu. Kalau sudah begini, yang pasti dia sedang ada maunya.

"Mau apa?" tanya ku langsung.

Dia nyengir. "Mbak, sisirin rambutku, dong ... lagi pengen di sisirin." Ya, dulu aku memang hobi menyisir rambutnya. Rambut Farida yang panjang dan lebat membuat ku senang memainkannya.

Akhirnya aku menurut dan menyisir rambutnya p=secara perlahan.

"Mbak, ternyata Umar itu baik banget, lho! Dia selalu menuruti apa yang aku mau, kemarin aku minta di belikan kopi dari lampung, dia langsung pergi ke lampung untuk membeli kopinya. Aku tidak menduga kalau dia mau membelinya untukku," kata Farida memulai curhatan malam ini.

Meski hati merasa tersayat, tapi aku berusaha tersenyum. Seperti kata bunda, 'jaga perasaan Farida, dia sedang hamil.' Jadi, aku tetap tersenyum, meskipun di paksa.

"Terus?" Aku pura-pura tertarik dengan pembicaraan ini.

"Terus, setiap malam Umar juga selalu nyanyiin sholawat untukku sebelum tidur. Dia benar-benar romantis."

Aku hanya bisa melepas napas dengan kasar. Berat sekali rasaya mendengar semua itu. Ini yang Umar bilang kalau dia salah lamar? Seharusnya kalau dia memang salah lamar, tidak seromantis itu pada Farida. Aku paham, mungkin Umar sudah mulai mencintai Farida sekarang.

"Udah selesai, Mbak mau tidur. Kamu juga tidur ya, jangan begadang, nanti bayimu stres," nasehat ku pada Farida.

"Mbak nggak mau elus perutku dulu?"

Mata sudah berkaca-kaca, hati sudah teriris tipis. Bahkan tanganku pun tak sanggup untuk menyentuh perut itu. Ada benih Umar di sana, aku hanya akan merasa sesak jika melakukannya.

"Mbak ngantuk, Farida. Besok aja ya?"

"Baiklah. Aku permisi, assalamu'alaikum." Farida menghilang di balik pintu.

"Wa'alaikumsalam."

Aku menelungkupkan badan, membenamkan wajah pada bantal. Aku menangis sejadi-jadinya, rasanya seperti ada bongkahan batu yang aku panggul.

'Kenapa? Kenapa ya, Allah? Kenapa selalu Farida yang mendapat kebahagiaan? Kenapa?!'