Suasana canggung mendera saat aku harus duduk berdua bersama Habib dalam satu mobil. Dia fokus menyetir sedangkan aku fokus menatap jalan. Pikiranku melayang jauh pada pesan beruntun yang Umar kirim. Sebenarnya apa yang ingin dia bicarakan? Kenapa dia ingin bicara tentang Farida padaku?
Mobil berhenti tepat di depan sebuah caffe yang terletak tak jauh dari kampus tempat Habib mengajar. Aku masih tidak mau turun, aku hanya bisa memandangi seorang lelaki yang tengah duduk sendirian di dalam sana.
Untungnya dinding caffe sebagian terbuat dari kaca, jadi aku bisa melihat aktivitas orang-orang di dalamnya. Termasuk Umar.
"Sana keluar, pasti Umar sudah menunggumu sejak tadi."
Aku menoleh pada Habib. "Mas beneran mengijinkan? Kalau Mas mau, Mas bisa ikut aku ke dalam," kataku.
Habib menggeleng. "Tidak, Mas tunggu di sini saja. Kamu masuklah, kasihan Umar sudah menunggumu."
Habib tersenyum. Aku tahu dia terpaksa melebarkan senyum yang sebenarnya sulit di lakukan. Posisinya sama sepertiku, harus mencintai seseorang yang bahkan masih menutup pintu hatinya untuk orang lain. Tapi bedanya, dia pandai berpura-pura, sedangkan aku tidak.
Dengan berat hati, aku pun keluar dari mobil dan pergi menuju caffe. Aku sempat berbalik untuk melihat Habib sekali lagi, dia tampak tersenyum sambil melambaikan tangan. Aku balas senyumnya lalu kembali berjalan.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam," jawab Umar.
Aku duduk di kursi yang berhadapan dengan laki-laki itu. Dia juga sudah memesan sebuah minuman coklat. Umar memang sudah tau apa yang aku suka, dan apa yang tidak aku suka. Karena setiap kali aku ke pesantren milik abinya, aku selalu meminta minuman coklat hangat untuk menemani kami mengobrol.
Masa itu adalah masa-masa paling indah dalam hidupku. Bisa bercerita banyak dengan Umar dan juga ustadzah di sana. Sesekali, kami juga jalan-jalan mengelilingi pesantren sambil terus mengobrol. Jika saja itu memungkinkan, aku ingin sekali kembali ke masa itu.
Tapi itu tidak mungkin, manusia tidak bisa kembali ke masa lalu dan harus menjalani masa sekarang. Sepahit apapun itu, aku harus tetap menjalaninya.
"Apa yang ingin kamu bicarakan? Aku tidak punya banyak waktu," kata ku menegaskan padanya.
"Kamu tidak mau pesan makan dulu?"
Ah, Umar! Kenapa dia mengulur waktu seperti ini? Apa dia tidak tahu kalau singa jantan ku sedang menunggu di dalam mobil. Yang ada, aku di ceramahi nanti kalau sampai dia merasa tidak nyaman menunggu di sana.
Aku juga tidak mau sampai umi atau bundaku tahu tentang pertemuan kami, itu bisa bahaya. Apalagi kalau sampai Farida tau, bisa perang dunia nanti.
"Umar, tolong jangan mengulur waktu. Aku tidak punya banyak waktu karena aku harus mengurus suamiku," ucapku ketus.
"Oh, begitu? Jadi kamu sudah melupakan aku?"
Aku tertawa hambar. "Umar, sejak kamu menikahi Farida, sejak itulah aku berusaha melupakanmu. Aku tahu, tidak semua mimpi bisa jadi nyata dan kamu yang mengajarkan itu padaku."
Umar terdiam. Dia bahkan tidak berani menatapku meski hanya untuk sedetik. Aku mulai tak nyaman dengan keadaan ini, rasanya seperti deja vu dengan momen kebersamaan ku dan Umar dulu.
Belum lagi tatapan Habib yang terus memperhatikanku, membuatku semakin tidak leluasa dalam bicara. Rasanya seperti di awasi kamera cctv.
"Baiklah, jika tidak ada yang ingin kamu bicarakan, sebaiknya aku pergi."
"Tidak! Aku mohon jangan pergi, kali ini aku akan bicara."
Aku kembali duduk setelah di hentikan oleh ucapan Umar. Aku kembali duduk setelah tadi sempat mengangkat tubuh untuk beranjak pergi.
"Cepatlah, aku tidak punya banyak waktu," desakku pada Umar.
Aku curiga, sepertinya dia sengaja mengulur-ulur waktu agar bisa berada lebih lama bersamaku.
"Ini tentang Farida."
"Ada apa dengan Farida?" Aku mulai tertarik dengan topik pembicaraannya.
Jantungku deg-degan menunggu Umar bicara. Dia kelihatan gugup dan sepertinya takut untuk menyampaikan hal yang sedang mengganggu hati dan pikirannya.
Oh, ayolah, Umar. Jangan membuatku tambah penasaran. Sikapnya membuat menunggu dengan harap-harap cemas.
"Ada apa dengan Farida, Umar?" tanyaku lagi sedikit mendesaknya dengan lebih tegas.
"Aku takut kamu marah."
Ah, dia semakin membuatku berpikiran yang tidak-tidak. "Aku tidak akan marah kalau kamu berkata jujur. Ada apa dengan Farida?"
Aku bingung, kenapa tiba-tiba Umar bertingkah aneh. Aku tidak mau bersuudzon, tapi dia benar-benar membuat ku bertanda tanya besar.
"Umar, cepat jelaskan! Ada apa ini sebenarnya?"
"Aku tidak yakin dengan dugaanku ini, tapi ..." Umar menggantung ucapannya.
"Tapi apa? Jangan membuatku penasaran. Cepat katakan."
Umar menarik napas berkali-kali seolah ada beban berat di pundaknya. "Sebenarnya ... aku curiga kalau ..."
"Kalau apa?"
"Aku curiga, kalau Farida sudah hamil sebelum kami menikah."
Deg!
Aku menelan saliva dengan susah payah setelah mendengar ucapannya. Mendadak hati ini terasa panas. Nama Farida yang di sebut, tapi aku yang ikutan geram.
"Maksudmu apa? Farida hamil anak orang lain?" tanyaku sedikit kasar.
"Aku tidak tahu, ini hanya dugaanku saja. Sebab, kehamilan Farida sudah lebih besar dari pada yang seharusnya."
Aku menggebrak meja karena kesal. Dia ini benar-benar sudah membuatku emosi, secara tidak langsung dia sudah mengatai kalau Farida perempuan tidak baik. Adikku yang di katai seperti itu, maka aku juga bisa merasakan sakitnya.
Lagi pula siapa dia? Memangnya dia dokter yang bisa tahu usia kehamilan seseorang?
"Farida tidak mungkin seperti itu! Dia adikku, aku sangat mengenal Farida luar dalam. Dia bukan wanita seperti itu!" ucapku tegas.
"Aku juga tidak yakin dengan dugaanku ini. Maka dari itu aku ingin membuktikannya sendiri."
Aku beristighfar berkali-kali untuk mendinginkan hati. Tidak, semua itu tidak benar. Umar hanya mengada-ngada. Iya, dia hanya mengada-ngada. Adikku Farida tidak mungkin seperti itu. Dia wanita alim yang taat beragama. Aku kenal betul siapa dia, dia tidak mungkin menjadi wanita yang Umar tuduhkan.
Aku yakin dan percaya bahwa adikku tidak seperti itu. Umar yang salah, dia salah paham pada Farida. Sebisa mungkin aku meyakinkan hati ini untuk memberi kepercayaan seutuhnya pada Farida.
"Aku akan membawa Farida ke rumah sakit, dan di sana aku bisa tahu usia kandungannya," ucap Umar lagi.
"Lantas, apa yang akan kamu lakukan jika dia memang bukan hamil anakmu?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku.
Entah kenapa, aku malah berharap jika itu memang bukan anak Umar.
"Jika itu memang bukan anakku, aku terpaksa menceraikannya."
Jawaban Umar sangat mengejutkan. Aku melotot sambil menatapnya. Tidak percaya jika rumah tangga yang baru seumur jagung itu bisa jadi sepelik ini. Jika saja berbahagia di atas penderitaan orang lain tidaklah berdosa, apa aku boleh bahagia dengan berita ini?
Tidak, aku tidak seharusnya melakukan ini. Akan sangat berdosa jika aku bahagia di atas penderitaan adikku sendiri. Ya, Allah. Maafkan aku. Aku tidak bermaksud seperti itu.
"Itu saja yang ingin aku sampaikan. Aku tidak tahu harus bercerita kepada siapa lagi, jadi aku bercerita padamu," kata Umar seraya menarik napas lega. "Jika kamu mau pergi, silahkan. Terimakasih sudah mau mendengarkan ceritaku, dan juga maaf karena harus mengatakan hal ini padamu."
"Jika saja kamu belum menikah dengan Habib, mungkin kita bisa bersama setelah ini."
Aku tidak tahu harus senang atau sedih mendengar pertakaan Umar barusan. Dia pikir pernikahan adalah permainan hati? Bisa kawin cerai sesuka hatinya? Aku tidak akan melakukan itu, sebab Allah sangat benci perceraian.
"Aku permisi. Assalamu'alaikum."
Aku memilih pergi setelah membenahi hatiku yang sedikit goyah tadi. Jika Habib bertanya, apa yang harus aku katakan padanya?
[Aku tau ini salah, tapi aku tidak akan mempertahankan wanita yang berkhianat dan akan kembali pada wanita yang tepat]
Sederet pesan singkat aku terima setelah aku keluar caffe. Dari Umar.