"Sudah siap?"
Aku menolah saat Habib bertanya. "Sudah," jawabku.
Siang ini, aku dan Habib akan pergi ke kampus bersama. Aku sudah siap dengan mengenakan baju gamis berwarna hijau lumut dan juga khimar senada. Tak lupa tas kulit berwarna coklat melengkapi outfit ku siang ini.
"Ya sudah, ayo berangkat!"
"Eh, tunggu!" seru ku menghentikan langkah kaki Habib.
Dia ingin mengajar, tapi dasinya tidak di pakai. Aku segera berlari ke arah lemari dan mengambil sebuah dasi panjang berwarna biru navy. Kemudian aku memakaikannya pada Habib yang masih berdiri di dekat lemari itu.
"Mas, kalau mau mengajar itu harus rapih, biar enak di lihatnya."
"Memangnya, kamu tidak takut kalau suamimu ini di incar wanita lain?"
Aku langsung menatapnya sinis."Memangnya ada yang mau sama Mas?" tanyaku seolah meremehkan.
"Tentu saja ada. Suamimu ini kan tampan, gagah dan pastinya kuat."
Aku mencubit pelan pinggang Habib. Bisa-bisanya dia bicara seperti itu di depanku, maksudnya apa? Ingin membuatku cemburu? Tapi aku tidak akan cemburu, sebab aku tidak gampang cemburu. Apalagi pada laki-laki yang tidak aku cinta, bisa di pastikan rasa cemburu itu tidak ada.
"Kalau memang ada yang mau, Mas akan menikah lagi?" sungutku.
"Kalau kamu mengijinkan, kenapa tidak?" Ucapan itu sontak membuat tanganku dengan spontan menarik dasi dengan kuat, sampai-sampai aku hampir membuat Habib tercekik.
"Haduh, sakit, El. Kamu mau membuat suamimu mati?"
"Bukan begitu, Mas saja yang bicaranya sembarangan. Membuatku sebal," dengusku kemudian.
"Mas kan hanya bercanda, kenapa kamu jadi sensi begini?"
Bibirku melengkung ke bawah. Dengan malas, aku melangkah kan kaki tanpa menjawab pertanyaan Habib.
Tentu saja Habib mengejarku. Saat di tangga, dia juga terus berusaha bicara denganku. Dasar Habib, suka sekali membuat istrinya ini kesal. Tapi terkadang, dia juga bisa membuatku tiba-tiba tersenyum tanpa sebab.
"El, maafkan Mas. Mas hanya bercanda, sungguh!" ucapnya mengharapkan belas kasihan dariku.
'Dia berani jahil, aku juga bisa lebih jahil'
Melihat tingkahnya seperti ini, membuat hatiku tergerak untuk mengerjainya. Aku pura-pura marah dan tetap cemberut. Untuk mendukung aktingku, aku sengaja keluar rumah tanpa masuk ke mobilnya. Niatnya aku ingin menaiki taksi saja, supaya dia tau rasa.
"El, kamu mau kemana?"
"Aku mau naik taksi, Mas. Aku malas satu mobil dengan Mas Habib!" dengusku berakting.
"Kenapa harus naik taksi kalau ada mobil sendiri? Ayolah, jangan membuat Mas memaksamu," pujuknya.
"Paksa saja kalau bisa," tantangku.
Aku tetap berdiri di sisi jalan untuk menunggu taksi lewat. Meskipun aku tahu, bahwa jarang sekali ada taksi yang lewat di jalan raya depan rumahku ini.
Aku terus menunggu meski terik matahari pada pukul dua siang itu sangatlah panas. Sampai akhirnya aku merasa ada yang mengangkat tubuhku dan membawaku kembali masuk ke halaman rumah. Siapa lagi kalau bukan Habib.
Dia menggendongku ala bridal style lalu dengan cepat membawaku masuk ke mobil yang sudah terparkir di halaman rumah. Aku tidak bisa berontak karena saat itu ada tetanggaku yang sedang ngobrol di depan rumah mereka, aku takut ulah Habib mencuri perhatian mereka dan mengira kami sedang KDRT.
"Mas, apa yang kamu lakukan? Turunkan aku!" titah ku sambil memukul manja punggung Habib.
"Kamu yang bilang kan, kalau aku boleh memaksamu masuk ke mobil. Dan beginilah caraku," jawabnya sambil membuka pintu mobil.
Dengan pelan, dia menaruhku di jok mobil. Aku sempat merasa malu, takutnya dia merasa aku gendut karena harus memikul ku dari jalan sampai ke mobil.
Dia mengitari mobil lalu masuk dan duduk di kursi kemudi. Aku tidak berani berkata apa-apa karena wajahku masih belum hilang merahnya. Dia benar-benar membuatku malu.
"Sepertinya kamu harus diet," katanya pula.
Dengan spontan, aku mendelik ke arahnya. "Maksud Mas apa? Apa aku terlalu gemuk?"
"Sepertinya begitu."
Ya, Allah. Jangan bilang kalau Habib bercanda lagi kali ini. Karena kalau memang dia bercanda, aku akan memarahinya habis-habisan. Tapi, aku juga memang merasa gemuk. Apalagi setelah menikah selama sebulan lebih bersama Habib, rasanya berat badanku naik drastis.
'Tidak, itu tidak boleh terjadi. Aku harus diet, agar Habib tidak mencari wanita lain'
Tiba-tiba saja pemikiran itu terlintas di kepalaku.
***
Sebagai mahasiswi di Universitas Indonesia, aku mengambil jurusan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Aku sangat menyukai budaya dari berbagai negara dan juga ilmu filsafatnya. Menurutku itu sangat keren dan salah satu mimpiku adalah, bisa mengunjungi negara yang aku pelajari sekarang.
Salah satunya adalah sastra jepang. Ya, sedikit banyak aku sudah mempelajari beberapa hal mengenai negri matahari terbit itu. Sekarang pun aku sedang menunggu dosen yang mengajar sambil memainkan ponsel.
"Selamat siang!"
Aku merasa tidak asing dengan suara itu. Mataku mengerjap sebelum akhirnya aku melihat siapa dosen yang masuk ke kelasku. Astaghfirullah! Habib?
"Perkenalkan saya Habib Al-Zikri, dosen baru yang mengajar dalam fakultas sastra Jepang. Kalian bisa memanggil saya dengan sebutan Sensei Habib."
Aku tertegun diam. Aku merasa tak percaya dengan apa yang aku lihat ini. Habib Al-Zikri, suamiku yang menjadi dosen kampusku?! Tapi, bukannya dia kuliah di London? Kenapa dia bisa mengajar sastra Jepang?
Ah, kenapa aku jadi harus bertemu Habib di kelas? Bukannya tidak senang, hanya saja aku masih merasa malu karena kejadian tadi. Lagi pula, aku sangat canggung kalau di tatap Habib terlalu lama. Lihat tuh, barusan dia baru saja mengedipkan sebelah matanya padaku. Apa dia tidak takut mahasiswi lain akan curiga?
"El, dia bukannya suami kamu, ya?" bisik Ayu bingung yang sudah sejak dulu mengetahui kalau Habib adalah suamiku.
"Iya," jawabku.
"Wah ... enak dong, di ajarin sama suami sendiri. Cei ..." Si Ayu malah meledek ku.
Aku hanya mengabaikannya dan kembali melihat buku tebal yang ada di meja.
"Hari ini kita akan belajar mengenai bahasa jepang, khususnya huruf kanji. Kanji secara harfiah berarti, "aksara dari Han", adalah aksara tionghoa yang di gunakan dalam bahasa jepang. Kanji adalah satu dari empat set aksara yang di gunakan dalam tulisan modern jepang selain kana dan romaji."
Entah kenapa, aku langsung terpesona saat melihat Habib menjelaskan materi di papan tulis. Dia terlihat sangat tegas dan penuh wibawa. Tapi sikapnya di kampus sangat berbeda dengan sikapnya saat di rumah bersamaku.
Di kampus dia kelihatan begitu tenang dan dingin, tapi ketika di rumah dia sangat menyebalkan dan kadang membuatku kesal. Meskipun begitu, aku sama sekali tidak melihat ada kekurangan dalam dirinya. Dia laki-laki yang sempurna.
"Elyana? Bisa kamu jelaskan ulang apa yang baru saya jelaskan di depan?"
Aku bengong memandangi Habib sampai tidak sadar kalau dia sedang bicara padaku. Sampai akhirnya Ayu menepuk pundak ku dan akhirnya menyadarkan ku.
"Ah, iya kenapa?" tanyaku gagap.
"Itu, kamu di tanya Sensei Habib!" ketus Ayu.
"Kamu kenapa? Melamun?" Aku menggelengkan kepala saat Habib bertanya. "Kalau begitu, bisakah kamu menjelaskan apa yang tertulis di buku dan papan tulis?"
"Maaf, Mas. Aku tadi tidak memperhatikan, Mas tadi bilang apa?" tanyaku polos.
Tanpa aku sadari, kalimatku itu mengundang tatapan aneh satu kelas. Mereka menatap dengan dahi yang berkerut. Aku pun jadi ikutan heran, apa yang salah dengan pertanyaanku?
Sampai aku kembali menatap Habib yang senyum-senyum tidak jelas, barulah aku sadar akan kesalahan yang aku perbuat. Ya, Allah aku lupa. Ini di kelas, bukan di rumah. Seharusnya aku tidak memanggil 'Mas' pada Habib.
Aku menepuk jidat. "Astaghfirullah, maaf Sensei. Saya tidak fokus, saya benar-benar minta maaf," ucapku.
Habib terlihat menahan tawa karena tingkah ku. Lagian ini semua salah dia, kenapa harus memiliki kharisma seperti itu? Membuatku gagal fokus saja.
Habib berjalan mendekati meja ku, lalu berkata. "Makanya, fokusnya ke saya aja."
Sekali lagi, dia mengedipkan mata padaku. Ah, lihat saja nanti. Akan ku balas perbuatannya jika kuliah sudah selesai.