Aku menutup mushaf dengan perlahan setelah bermuraja'ah. Sholat isya baru saja aku tunaikan dan kini saatnya aku tidur. Atau mungkin menyelesaikan tugas kuliahku. Tapi, aku lihat tidak ada tugas untuk hari ini, akhirnya aku memilih untuk tidur saja.
Baru saja kepalaku jatuh ke bantal, mbak Anisa sudah mengetuk pintu.
"Ada apa, Mbak?" tanyaku begitu pintu sudah ku buka.
"Kamu sedang apa?" Mbak Anisa malah balik bertanya.
"Aku baru saja mau tidur, Mbak."
Mbak Anisa tersenyum tatkala mendengar jawabanku. "Ayah dan bunda ingin bicara padamu, ayo turun ke bawah sebentar," ajaknya pula.
"Tapi, aku sudah ngantuk, Mbak. Besok pagi saja, ya?"
Mbak Anisa menggeleng kuat. Wanita berkerudung biru itu menarik tanganku sambil tersenyum. Aku tidak tahu apa yang akan di bicarakan ayah dan bunda, tapi aku sangat mengantuk.
"Ayo, El! Ayah dan bunda sudah menunggumu di bawah."
Akhirnya, mau tidak mau aku pun turun. Dengan langkah gontai, aku menuruni anak tangga. Rasa kantuk sudah tidak dapat aku tahan lagi, bahkan aku sampai hampir jatuh karena menahan kantuk. Lagian, kenapa tidak dari tadi siang saja bicaranya?
Bunda tersenyum setelah melihatku sampai. Dia menarik tanganku untuk bisa duduk di dekatnya. Semua orang berkumpul di ruang keluarga malam ini, termasuk Umar dan Farida. Aku terus menarik napas jengah saat melihat pasangan suami istri itu bergandengan tangan.
'Sabar, Elyana. Ingat! Orang sabar di sayang Allah' ucapku menabahkan hati.
"Ada apa, Yah?" tanyaku lemah karena kantuk.
"Jam segini sudah mengantuk?" tanya bunda yang melihatku menguap.
"El capek Bunda," keluhku pada ibunda tercinta.
Bunda mengelus pelan kepalaku. Ah, itu semakin membuatku ngantuk.
"Jadi begini, Ayah mau menanyakan sesuatu padamu. Ini tentang masa depanmu, El." Ayah buka suara dan langsung membicarakan pokok pembahasan.
Mendengar kata 'masa depan' membuat mataku langsung melek. Masa depan? Apa maksudnya itu?
"Masa depan?" tanya ku bingung.
Ayah mengangguk. Dia tersenyum aneh menatap bang Fahri yang sedang memangku Azka, anaknya. Aku semakin bingung. Sebenarnya itu kode apa? Belum lagi bunda yang kelihatan begitu gembira.
Farida yang duduk di sebelah Umar juga kelihatan sangat senang. Dia senyum-senyum tak jelas sambil sesekali menaikkan alisnya saat menatapku. Mereka semua kenapa?
"Bunda, sebenarnya ada apa?" tanyaku pada bunda yang sudah tidak bisa menahan tawa.
"Biar Ayah jelaskan." Malah ayah yang menjawab. "Jadi begini, kemarin Umar sempat bercerita tentang temannya yang sedang mencari istri. Ayah sudah bertemu dengannya, dan Ayah rasa dia cocok denganmu. Jadi, ayah berniat menjodohkan kamu dan dia," imbuh Ayah lagi.
Menjodohkan? Aku tidak mau di jodohkan. Aku sendiri belum pernah bertemu dengan lelaki yang ayah maksud, kenapa main jodoh-jodohin aja?
"Tapi, aku kan belum pernah bertemu dengan lelaki itu, Yah," sahutku.
"Tidak apa-apa. Kita bisa atur waktu untuk bertemu keluarganya," jawab bang Fahri.
"Tapi—"
"Mbak! Ayolah, dia lelaki yang baik. Aku sendiri sudah melihat fotonya, dan dia juga seorang hafizh. Benar kan, Mas?" Farida menatap Umar dengan tatapan berbinar di akhir kalimatnya.
Umar sendiri hanya menjawabnya dengan anggukan pelan saja. Dari tadi dia tidak bicara, lagi sariawan kah?
Pandanganku beralih ke bunda. Biasanya dia yang selalu mendengar keluh kesahku selain bang Fahri. Aku memasang wajah cemberut dengan harapan dia mau menolong ku untuk bicara pada ayah kalau aku menolak perjodohan ini.
"El, Habib itu lelaki yang baik. Dia sudah menyandang gelar sarjana lulusan Belanda. Dia terlalu sayang kalau di tolak." Jawaban bunda hanya bisa membuatku makin sebal.
Memangnya aku wanita apaan? Mau dia lulusan Amerika sekalipun aku tidak akan tertarik. Kecuali aku di pelet olehnya. Mau sebaik apapun dia, jika hatiku masih tertaut pada Umar, aku tidak akan bisa hidup bahagia.
Yang aku pikirkan adalah, nasib rumah tanggaku nanti, bagaimana jika lelaki bernama Habib itu tau kalau aku tidak mencintainya setelah kami menikah?
"El, Abang juga sudah bertemu dengan Habib. Dia baik dan ... tampan! Kamu akan menyesal jika menolaknya," kata bang Fahri ikut menimpali.
"Bagaimana, El?" Tatapan Ayah sungguh membuatku bingung.
Tatapan semua orang seakan berharap aku mengiyakan tawaran itu. Mata penuh binar dari bunda dan ayah yang membuatku berat. Aku tidak tega kalau harus menolaknya, sebab ayah tampak sangat antusias dengan perjodohan ini.
"Kalau itu yang terbaik menurut Ayah, insyaAllah aku menerima perjodohan ini," jawabku lemah.
Ucapan hamdalah terdengar saling bersahutan. Meski aku keberatan, tapi aku akan berusaha menerima Habib nanti. Mungkin dialah jodoh dari Allah untukku. Aku akan berusaha ikhlas menerima pernikahanku dan melepas Umar.
Selepas obrolan itu, aku pun naik kembali ke kamar. Rasa kantuk yang tadi begitu mendera kini hilang seketika.
'Tenang, El. Ini keputusan yang terbaik. Kamu harus belajar melupakan Umar dan membina rumah tangga bersama Habib.' Ucapku meyakinkan diri, memantapkan hati untuk menerima perjodohan ini.
Saat tengah malam, tiba-tiba saja aku terbangun. Mungkin ini waktu yang tepat untuk sholat tahajud. Sebab, aku tidak bisa tidur nyenyak karena kepikiran tentang rencana perjodohan itu.
***
"Pagi istriku," ucap Umar sambil memeluk Farida dari belakang.
Sial! Pagi-pagi begini sudah di suguhkan dengan momen kebersamaan Umar dan Farida. Mereka bermesraan di dapur seperti tidak ada orang lain saja.
"Pagi, Mas."
Tanganku mengepal kuat melihat kemesraan mereka. Hatiku sakit, rasanya hancur sekali melihat mereka berdua-duaan seperti itu. Padahal, dulu Umar pernah bilang kalau dia akan menikahiku. Tapi nyatanya apa? Dia malah menikahi Farida.
Air mataku jatuh begitu saja saat sebuah kecupan lembut mendarat di dahi Farida. Aku tidak mau melihat kemesraan itu lebih lama lagi. Aku memilih pergi ke belakang rumah tanpa menghiraukan mereka yang keheranan melihatku.
Aku menangis dalam diam. Suara tangis hampir tidak terdengar meski air mata mengucur deras. Aku sengaja tidak mengeluarkan suara, itu supaya tidak ada yang tahu kalau aku sedang menangis.
"Aku menyukaimu, Elyana. Ijinkan aku untuk melamarmu."
Itulah ungkapan yang ku dengar dari Umar beberapa minggu lalu. Tapi kenyataan memang tidak semanis yang di bayangkan, dia malah menikahi Farida seminggu setelah mengatakan itu. Bisa di bayangkan betapa hancurnya aku saat itu. Hati ini tercabik-cabik oleh kenyataan pahit ini.
"El? Kamu nangis?"
Cepat-cepat aku mengusap air mata saat bang Fahri datang. Dia itu memang selalu begitu, datang dan pergi sesuka hatinya saja. Kadang masuk kamar juga tidak ketuk pintu.
"Tidak, Bang," jawabku cepat.
"Jangan bohong, Abang lihat matamu basah," pungsanya lagi.
Aku tidak bisa menjawab selain dengan desahan napas. Tidak perlu di jelaskan pun, seharusnya bang Fahri tau apa yang aku rasakan. Secara, aku sudah menceritakan semua yang aku dan Umar rasakan sejak dulu.
"Apa kamu tidak setuju dengan rencana perjodohanmu?"
Aku menggeleng cepat. "Bukan itu, tapi ..." Aku tidak sanggup mengatakannya. Bibirku juga bergetar menahan isak tangis.
"Abang mengerti. Tapi cobalah mengerti, Farida sangat menyukai Umar. Oleh sebab itu mereka menikah. Umar hanya tidak ingin mengecewakan Farida," kata bang Fahri menjelaskan.
"Tapi, kenapa harus Umar? Abang tahu kan seberapa besar rasa suka ku pada Umar? Aku masih tidak rela, Bang ..." jawabku sambil sesenggukan.
Bang Fahri tidak lagi menjawab. Dia hanya memberikan ketegaran padaku lewat pelukan saja. Andai dia merasakan apa yang aku rasa, sesak rasanya dada ini ketika melihat orang yang dicintai malah menikahi wanita lain. Aku merasa ini benar-benar tidak adil.