Aku dengar Farida pingsan karena kelelahan setelah mengurus pernikahan ku tadi siang. Maklum lah, usia kandungannya yang bisa di bilang masih hamil muda membuat dia gampang lelah dan perlu banyak istirahat. Sekarang ini, Farida dan Umar masih di rumah bang Fahri. Ayah dan bunda juga ada di sana, mungkin mereka akan menginap untuk semalam.
Sementara aku sudah di boyong oleh suami ku, Habib. Dia membawa ku ke rumah yang sudah dia siapkan. Rumahnya tidak terlalu jauh, hanya butuh memakan waktu setengah jam dari rumah bang Fahri untuk bisa sampai ke sini.
Seharusnya aku senang, Habib memberi ku rumah mewah dua lantai. Meski terlihat minimalis, tapi kemewahan didalamnya tidak perlu di hitung jumlahnya. Bahkan mungkin bisa mencapai ratusan juta.
"Kamu masuk lah dulu ke kamar, Saya mau ke dapur sebentar," perintah Habib.
"Iya," jawab ku patuh.
Canggung sekali aku mendengar ucapannya. 'Saya'? seperti sedang bicara dengan orang asing saja. Padahal aku kan istrinya.
Di dalam sebuah kamar, aku mendudukkan diri. Ini malam pertama ku dan Habib, tapi kenapa malah jadi seperti ini? Maksudku ... ini bukan seperti malam pertama para pengantin pada umumnya. Melihat ranjang dan hiasan kamar penuh kelopak mawar, membuat hati ini serasa tidak enak.
Entahlah, aku tidak bisa menjelaskannya.
Aku masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Baju gamis dan hijab panjang masih senantiasa melekat pada tubuh ku. Saat aku keluar, Habib sudah duduk di kasur. Aku pun terkejut, karena ini untuk pertama kalinya kami berada dalam satu kamar.
"Kenapa memilihku?" Sebuah tanya yang terlontar saat kami duduk bersebelahan dengan Habib.
"Menurutmu?"
"Aku kan bertanya, kenapa malah balik tanya?" Sungutku.
Habib tertawa kecil. Ia menahan tangan ku saat hendak berdiri hingga aku kembali pada posisi semula. Tubuh kami saling berhadapan.
"Kamu tahu kenapa?" Ia menatap lekat mataku.
Aku menggeleng.
"Karena ... Allah yang memilihkanmu untukku. Paham istriku?"
Ser ... hati ini bergetar lagi. Aku tidak berani menatap matanya, sebab aku tidak kuat. Dia memiliki mata yang indah, jauh lebih indah dari pada mata Umar. Alisnya tebal dan bulu matanya lentik. Aku menyukai mata itu, sejak pertama kami bertatapan sedetik yang lalu.
"Saya ganti baju dulu," katanya pula.
"Eh, Habib! Ah, maaf." Aku kembali menunduk saat dia menoleh ke arahku.
Aku merasa tidak sopan karena sudah memanggil namanya. "Kenapa?" tanya nya.
"Boleh, aku minta sesuatu?" tanya ku ragu.
"Nanti ya, saya ganti baju dulu. Kamu juga sebaiknya wudhu dulu, kalau kita mau—"
"Ish, bukan itu yang ku maksud," potong ku yang mengerti arah pembicaraannya.
Habib tertawa. Aku suka caranya tertawa, tapi aku tidak bisa ikut tertawa. "Jadi?" tanyanya.
"Tolong, jangan terlalu formal. Aku adalah istrimu, boleh kah jika aku memanggil mu dengan sebutan, 'Mas'?" tanya ku.
Dia tersenyum, mengelus lembut pucuk kepala ku lalu berkata. "Tentu, maaf karena Mas terlalu kaku. Mulai sekarang, kamu boleh memanggil ku dengan sebutan apapun yang kamu suka," katanya.
Aku mengangguk. Akhirnya dia tidak kaku lagi.
Aku menunggunya di tempat tidur selama dia ganti baju. Jantung, tolong kondisikan dirimu. Aku tidak mau terlihat gugup di depan Habib. Sebab, dari tadi aku terus-terusan merasa gugup. Saat Habib sudah keluar pun, aku masih kelihatan gugup.
"Mas mau keluar sebentar, katanya abi dan umi mau pulang," kata Habib.
Aku memilih untuk diam di kamar, karena memang Habib tidak mengijinkan ku keluar. Malahan, umi yang datang ke kamar untuk berpamitan.
Aku merebahkan diri yang sudah seharian menjalani pesta. Pakaianku sama sekali tidak ku buka, masih dengan gamis dan hijab yang sama, aku pun memejamkan mata. Saat mata ini hampir terpejam, ku dengar Habib masuk ke kamar.
"Mas, biasakan kalau masuk kamar itu diketuk dulu!" Omelku. Entah dapat keberanian darimana aku bisa berkata sesuka hatiku padanya.
Habib tertawa. "Sejarah dari mana itu? Seorang suami masuk ke kamar istrinya pake ketuk pintu dulu?" Ejeknya.
"Tapi kan ..."
"Tapi kan kita udah menikah." Potongnya cepat. Lalu berjalan mendekatiku, dan duduk di sisi ranjang.
"Mas mau ngapain?" Tanyaku ketus sambil beringsut menjauh.
"Ya Allah, aku baru tahu istriku ini galak banget ya Allah," ucapnya dengan mimik wajah lucu. Tak kusangka ia sekonyol ini. Semua wibawanya yang terlihat olehku hilang seketika.
"Kamu udah mandi ya? Wangi amat. Pasti udah nggak sabaran ya?" godanya sambil mengendus.
"Apaan sih?" Wajahku terasa panas digoda begitu.
"Santai aja, Sayang. Kita punya banyak waktu kok. Mas wudhu dulu ya? Awas, jangan tidur duluan! Kita shalat sunnah dua rakaat dulu,"
"Iyaa, makanya buruan!"
"Hayo ... nggak sabaran kan?" Tubuhnya menghilang di balik pintu kamar mandi saat aku hendak melemparkan bantal ke arahnya.
Tak sadar aku tersenyum sendiri melihat tingkahnya. Dia mampu menghangatkan suasana yang seharusnya terasa kaku. Padahal belum sehari aku menjadi istrinya, tapi kenapa terasa begitu dekat?
***
"Kamu mau langsung tidur?" tanya Habib setelah kami selesai bertilawah.
"Iya, aku capek, Mas."
"Nggak mau ... sunnah rosul dulu?" tanya Habib tampak ragu.
Gerakan tangan ku yang sedang melipat mukenah jadi terhenti. Aku menatap Habib yang sedang duduk di pinggiran kasur. Dia sepertinya sudah siap dengan celana pendek dan baju kaos. Aku sampai tidak sadar kalau dia sudah ganti baju.
Aku duduk di sebelahnya dan terdiam. Dia meraba kepala ku, dan berusaha menarik hijab ku. Aku segera menghindar, rasanya agak aneh jika ada lelaki lain selain bang Fahri dan ayah yang menyentuh bagian leher ku.
"Maaf, Mas. Aku masih belum siap. Aku tidak mau membuka hijab ku," kata ku menunduk sopan.
"El, kamu tahu? Kita sudah menikah. Mungkin, jika dulu kamu sering sembunyi-sembunyi saat wudhu agar para akhwat tidak melihat aurat mu meski hanya sehelai rambut. Tapi sekarang ini aku adalah suami mu, suami sah-mu." Aku mendengarkan penuturannya. "Setelah kita menikah, maka satu helai rambut yang kamu tunjukkan pada suamimu ini, akan jadi ladang pahala, El." Imbuhnya lagi.
Habib memang benar. Tapi ... aku belum siap. Apa katanya tadi? Sunnah rosul? Ah, aku benar-benar belum siap. Membayangkannya saja sudah membuat ku bergidik ngeri.
"Ya, aku tau, Mas. Tapi ..." aku menggantung ucapan ku.
"Tidak apa, El. Kalau kamu memang belum siap, Mas tidak akan memaksa," potongnya.
Aku merasa tidak enak. Aku pernah baca hadis yang aku sendiri lupa siapa prawi-nya. Yang jelas, hadis itu menegaskan bahwa, seorang istri tidak boleh menolak jika suami meminta haknya. Tapi apa yang aku lakukan? Aku jadi merasa berdosa.
"Tidurlah, sekarang sudah malam. Mas tau kamu pasti lelah," katanya lagi.
"Mas mengizinkan?" tanyaku dengan mata berbinar.
"Kenapa tidak? Mas juga capek banget ini," sahutnya sambil membaringkan tubuhnya. "Ayo sini, kita tidur. Kan udah suami istri, kenapa masih malu aja sih?" Habib menarik tanganku hingga aku berbaring di sisinya. Ia menjadikan lengannya sebagai alas kepalaku. Kami begitu dekat, aku bisa mendengar detakan jantungnya. Mungkin juga dia mendengar detakan jantungku yang tak karuan iramanya.
"Mas?"
"Hm? Kenapa?" Suara Habib mulai melemah, sepertinya dia memang begitu lelah.
"Nggak apa-apa."
Habib memiringkan tubuhnya, hingga kini kami saling berhadapan. Embusan napasnya yang segar menghadirkan sebuah rasa yang tak mampu kugambarkan. Tangan kokohnya ia lingkarkan ke tubuhku. Matanya sudah terpejam. Kurasa ia sudah terlelap karena ada dengkuran halus yang terdengar.
Tak pernah kubayangkan akan memiliki seorang suami setampan dia. Dan kini, ia benar-benar nyata dan berada dalam satu selimut bersamaku. Habib memiliki banyak kelebihan dibanding Umar. Mungkin inilah yang di bilang bang Fahri, sesuatu yang terbaik dari Allah. Allah mengambil sesuatu dari tanganmu hingga tanganmu kosong, agar bisa menerima "hadiah" yang jauh lebih besar lagi dibanding apa yang telah hilang darimu.
Entah keberanian dari mana, hingga aku mengecup dahi Habib sebelum aku memejamkan mata dikala kantuk mulai menyerang. Tanpa kusadari Habib terbangun, dan ia tersenyum memandang wajah lelapku.