Chereads / Miliki Aku Dengan Ketulusanmu / Chapter 10 - Aku Ingin Menangis

Chapter 10 - Aku Ingin Menangis

Colombia University

Di dalam kelas…

Kelas berakhir di pukul sebelas siang, semua mahasiswa segera meninggalkan kelas dan lagi-lagi menyisakan tiga gadis yang terlibat perdebatan kecil.

"Oh ayolah, Gretta. Ini sudah kesekian kali kamu menolak ajakan kami loh, apa kami ini orang yang tidak penting bagimu. Kami ini teman kamu loh."

Suara kesal itu berasal dari seorang wanita berambut panjang, si lembut namun paling tajam mulutnya apalagi jika sedang berdebat dengan Gretta.

"Tapi Nenek memintaku menghadiri acara. Lain kali ya, Elena," sahut Gretta membela diri dengan pernyataan nyata.

Ya, Elena adalah yang berdebat saat lagi-lagi Gretta membatalkan acara 'pesta' mereka.

Nyatanya ia sendiri tidak tahu, akan sampai pukul berapa acara makan siang itu, siapa yang akan tahu kejadian setelah makan siang. Ia hanya tidak ingin membohongi temannya, yang katanya sudah menyiapkan pesta untuknya.

Elena bahkan sampai membuang wajahnya ke samping dan menghembuskan napas kasar. Sedangkan gadis satunya, lebih memilih untuk tetap tenang dan memasang wajah seakan mengerti, meski nyatanya ingin sekali mengumpat.

"Apa acara ini berhubungan dengan perusahaan?" tanya Starla dengan nada lembut, berbeda dengan Elena yang kini berdecih dalam hati.

"Ya, ini mengenai perusahaan keluarga," jawab Gretta terpaksa berbohong. Ia tidak ingin sampai dua temannya ini tahu, jika ia dijodohkan oleh neneknya dan berujung dengan semua penghuni kampus tahu.

"Huft…, mau bagaimana lagi. Kalau sudah soal-

"Starla! Tidak bisa begitu dong!" Elena menyela tajam ucapan si gadis satunya—Strala yang menatapnya dengan kode untuk diam, membuatnya berdecih merasa kesal dengan apa yang dilakukan Starla.

"Tidak apa-apa, Gretta. Tapi, lain kali itu harus pasti ya. Kami…, hanya ingin berkumpul denganmu, kok," lanjut Starla dengan nada manis dan menatap Gretta sambil mengangguk meyakinkan.

Gretta menatap satu per satu gadis di depannya dengan senyum kecil, merasa beruntung karena dua temannya mengerti keperluannya. Ia pun melakukan tindakan yang di luar dari biasanya, membuat dua gadis di depannya ini terdiam seketika.

Grep!

"Terima kasih, kalian memang teman terbaik. Aku akan mengusahakan untuk menghadiri pesta kecil kita."

Tidak ada jawaban, karena baik Starla atau bahkan Elena saat ini sedang memproses apa yang sedang dilakukan oleh Gretta.

Apa-apan ini? Gretta memelukku, jerit keduanya tidak percaya dalam hati.

Ya, Gretta bahkan tidak sadar sangking merasa dua temanya berubah perhatian seperti ini. Hingga rasa senang membuatnya lupa, jika pelukan dengan dua temannya adalah hal paling langka di kehidupannya.

Gretta pun melepas pelukannya perlahan dan tersentak kecil saat merasakan getaran pada handphonen yang ada di atas meja.

"Ah! Randie sudah menjemputku. Kalau begitu sampai jumpa, Starla, Elena," lanjut Gretta seraya beranjak dari duduknya dan meninggalkan keduanya yang masih terdiam memikirkan tindakannya.

Starla yang pertama sadar, ia melihat di mana Gretta keluar dan hilang dari pandangan, sebelum akhirnya menyenggol Elena yang akhirnya ikut sadar dari speechless-nya.

"Gretta memeluk kita?" gumam Elena tidak percaya.

Ia segera menghadap Starla yang mengangguk, dengan wajah seakan masih mencerna apa yang terjadi.

"Itu seriusan Gretta mengucapkan terima kasih?" lanjut Elena masih belum mempercayai apa yang didengar dan dirasakannya.

Pelukan Gretta yang terasa hangat.

"Ya, semuanya benar dan ini membuatku takut," gumam Starla menyahuti, wajahnya masih menampilkan ekspresi bingung.

"Tidak perlu takut. Pokoknya kita tetap akan membencinya," tandas Elena kembali mengeraskan hatinya dan berusaha tidak peduli dengan apa yang dilakukan Gretta.

Baginya, Gretta tetaplah seseorang yang pantas dibenci.

Starla terdiam sejenak dan menghembuskan napasnya, saat ia pun kembali menyadarkan diri dengan rasa benci yang dimilikinya.

"Huft…, kamu benar. Dia tetaplah keturunan Grinson. Seorang tamak dengan kekayaan," sahut Starla pada akhirnya ikut mengeraskan hatinya.

Kembali pada Gretta, yang saat ini sedang di perjalanan menuju butik sesuai perkataan neneknya.

Di depan, Randie yang mengemudi sesekali melirik ke arah nona mudanya dan terdiam, saat melihat tatapan sedih itu.

Dulu, Randie sangat menyukai saat bibir itu tersenyum bahkan tertawa lebar. Namun, semenjak kejadian itu, ia tidak lagi melihat wajah nona mudanya tersenyum sedikit pun.

Randie menganggumi nona mudanya dari mereka kecil, ia bahkan tahu bagaimana nona mudanya tumbuh dari bayi hingga umur enam tahun dan terpaksa berpisah dengan ayah serta saudara kembar sang nona.

"Huft…, semoga suatu saat Nona bisa tersenyum dan mendapatkan kebagaiannya," batin Randie tulus.

Akhirnya, mereka sampai di butik langganan keluarganya. Gretta turun dari mobil dan membiarkan Randie sendiri di dalam mobil.

Brakh!

Di dalam butik, Gretta dilayani sebagai pelanggan VIP, karena ia datang atas nama keluarga Grinson yang terkenal dengan usaha periklanan dan juga banyak usaha lainnya.

Gretta hanya diam saat pelayan memakaikan sebuah dress backless selutut, dengan punggung yang kini terpampang polos dan ia pun hanya diam saat didudukan di sebuah kursi.

Gretta melihat bagaimana seorang penata rambut membuat rambut pirang lurusnya menjadi keriting di bagian ujung. Ia tampak semakin dewasa di pantulan kaca, apalagi saat kelopak mata dengan iris sewarna birunya diberi sentuhan nude dan eyeliner-nya sendiri memiliki buntut di ujung.

Gretta sama sekali tidak tidak menampilkan senyum meski tipis untuk menganggumi dirinya sendiri. Padahal, para penata di belakangnya sudah menampilkan wajah kagum yang berlebih untuknya.

"Nona! Anda sangat cantik, apalagi warna bola mata biru itu. Meskipun ada yang memilikinya juga, namun punya anda lebih jernih," puji salah satu dari mereka tulus.

"Benarkah? Bola mata ini mengingatkan saya pada Ayah saya," sahut Gretta tanpa melepaskan pandangannya dari cermin.

Bayangan sang ayah memenuhi pendangannya, berikut sang adik yang tersenyum dan ia tersadar segera saat suara si penata rias menyambangi telinganya.

"Benar dan saya iri, ingin punya juga. He-he…"

Untuk sedetik Gretta ikut tertawa meski hanya bibir berlipstik merah batanya saja yang bergerak singkat. Setelahnya, Gretta berdiri dari duduknya dan meninggalkan butik setelah mengucapkan terima kasih pada mereka.

Beberapa saat kemudian…

Gretta sampai di restoran dan berjalan anggun memasuki area dalam dengan sapaan ramah. Ia menyebutkan pesanan atas nama keluarganya dan jalan mengikuti si pelayan yang mengantarnya.

Tatapan memuja tak pelak mengiri setiap langkah seorang Gretta Fernanda. Namun, nona muda ini sama sekali tidak menggubris dan meluruskan tatapannya, serta menampilkan wajah dingin tak tersentuh.

Gretta ingin menangis. Tapi, kepada siapa ia harus bersandar?

"Silakan, Nona. Ini ruangannya," ucap si pelayang seraya mengetuk dan pintu pun terbuka dari dalam.

Tok! Tok! Tok!

Ceklek!

Gretta melihat tiga orang di dalam menoleh ke arahnya dan seorang pria yang asing di penglihatannya tersenyum menatapnya dalam.

Dan Gretta, ingin sekali kabur saat ini juga.

"Masuklah Gretta!"

Deg!

Bersambung.