"Kenapa kau tersenyum?" tanya Bardhom ketika mendapati pria dalam cengkeramannya itu justru tidak lagi menampakkan ketakutan.
"Aku tidak perlu menjawab pertanyaanmu yang konyol itu!"
Bardhom mendengus dan menyeringai, ia semakin mengencangkan cengkeramannya di dagu Martin Hasibuan.
"Kau pikir aku suka memakan otak kalian yang primitif?"
Hanya saja, cengkeraman yang semakin kuat itu membuat sang detektif polisi kesulitan untuk berbicara.
"Menjijikkan!" dengus Bardhom sembari membawa wajah Martin mendekat ke wajahnya. Sesaat ia menelisik lebih jauh wajah yang menggelembung dan memerah itu. Bardhom menyeringai. "Tapi aku memang suka melihat kalian menderita. Kau lihat chimaira itu!"
Gerakan bola mata Bardhom diikuti pula oleh Martin Hasibuan, tertuju pada sosok serupa singa yang memiliki dua kepala berbeda di bagian depan, dan satu kepala lainnya di bagian ekor.
Chimaira? Gumam Martin di dalam hati. Bukankah itu nama makhluk di dalam mitologi?
"Setelah aku mengunyah otakmu dan menguliti tubuhmu," ujar Bardhom dengan kilatan di bola matanya, "sisa tubuhmu akan menjadi santapan bagi chimaira itu."
Dan setelah itu, Martin membelalak ketika menyaksikan Bardhom membuka mulutnya dengan begitu lebar, seolah-olah itu bukan lagi mulut manusia. Juga, barisan giginya yang tiba-tiba saja berubah menjadi seperti paku-paku besar.
Lalu…
Krauk!
Sekali terkam saja sebagian kepala si detektif polisi telah berada di dalam mulut Bardhom. Tubuh sang detektif masih berada di dalam cengkeraman Bardhom, menggelinjang-gelinjang hebat dengan darah yang begitu banyak bermuncratan dari sisa kepala di lehernya—hanya menyisakan hidung ke bawah.
Bersamaan dengan itu, tubuh Bardhom sendiri mengalami perubahan bentuk. Otot-otot di tubuhnya seolah membengkak dan merobek pakaiannya. Semakin lama semakin besar.
Sebentar saja, sosok itu telah bertransformasi menjadi satu sosok yang sangat besar dan tinggi—lebih dari dua meter. Seluruh permukaan kulitnya berwarna kemerah-merahan, dua tangan terlihat sedikit lebih panjang dari ukuran proporsional tubuhnya. Ia hanya memiliki empat jari di tangan dan kakinya.
Dari dada hingga ke bawah pinggang, tubuh Bardhom ditutupi bulu-bulu kasar dan tebal. Di bagian kepala, ia memiliki sepasang tanduk besar yang melingkar—mirip tanduk domba. Rambut di kepalanya begitu kasar dan panjang hingga menutupi leher seperti halnya surai pada seekor singa jantan.
Bardhom memiliki hidung besar dan bengkok yang ketika ia mengembuskan napasnya seolah mampu mengeluarkan uap panas. Ada dua taring besar yang mencuat keluar dari rahang bawahnya, dan dua taring dengan ukuran lebih kecil dari barisan gigi atas.
Inilah wujud asli dari Bardhom yang merupakan ras Ifrit.
Ia mengunyah kepala di dalam mulutnya dengan begitu rakus. Setelah menelan kepala itu, Bardhom mengaum dahsyat, bahkan chimaira yang dipegang oleh Eredyth menjadi ketakutan karena auman Bardhom.
"Tenanglah!" ujar Eredyth pada makhluk serupa singa tersebut. "Kau tidak perlu takut," Eredyth mengelus-elus surai makhluk itu.
Dengan sepasang mata yang seakan mampu membersitkan lidah-lidah api, Bardhom menatap tubuh tak bernyawa dalam cengkeramannya itu.
Lalu, satu tangannya bergerak menghantam dada jasad tersebut.
Jlept!
Empat jari tangan Bardhom menembus dada jasad detektif polisi itu. Dan perlahan-lahan terjadi sesuatu pada permukaan kulit tubuh jasad tersebut.
Seolah diisap oleh kekuatan yang besar, kulit tubuh jasad sang detektif tersedot oleh keempat jari tangan Bardhom yang menembus dada. Semakin lama semakin cepat. Tidak saja kulit tubuh itu yang terisap tetapi juga dengan seluruh pakaiannya.
Dan sekejap saja, tubuh itu kini tak ubahnya seperti seekor kelinci yang baru saja dikuliti tanpa kepala.
Bardhom melemparkan jasad itu ke hadapan chimaira. Dan makhluk itu tampak begitu senang menyambut tubuh yang bergelimang darah itu. Tidak saja kepalanya yang mirip kepala singa jantan itu, tapi juga kepalanya yang satu lagi yang menyerupai domba jantan. Serta, kepala berbentuk ular besar di bagian ekor, pun lahap menyantap jasad detektif polisi tersebut.
Seolah memang memiliki tiga kepribadian berbeda, antara kepala yang satu dengan kepala yang lainnya saling berebutan mencabik-cabik tubuh itu.
"Hei, hei!" ujar Eredyth setengah lantang pada binatang itu. "Jangan berebutan! Dasar hewan sialan!" dengusnya lagi. "Padahal kalian satu tubuh, tapi tetap saja selalu bertengkar dalam hal makanan."
"Apa yang kau harapkan?" Merryath terkikik geli dengan protes dari Eredyth tersebut.
"Kau seharusnya tidak perlu sekasar itu, Bardhom," ujar Aka Manah. "Menancapkan empat jarimu ke dada manusia itu? Yang benar saja!"
"Kau keberatan?" balas Bradhom.
Meskipun pria itu sudah mati, namun bagi Bardhom sendiri, menyiksa tubuh itu lebih jauh adalah sesuatu yang menyenangkan.
Lalu, perlahan-lahan sosok Bardhom yang tinggi besar itu menyusut dan berubah bentuk. Dalam hitungan kurang dari satu menit, Bardhom kini berwujud dan berpenampilan sama persis dengan Martin Hasibuan.
Aka Manah tertawa tanpa suara, menggeleng-gelengkan kepala seraya bertolak pinggang.
"Terserah kau sajalah."
"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Pharas pada Aka Manah.
"Kau dan Merryath ikut aku ke markas sementara kita. Bardhom, kau tetap tinggal di sini, mengawasi dan menjemput kedatangan yang lainnya. Kau bisa mengerti?"
"Terserah kau saja!" ujar Bardhom sembari merapikan pakaian di tubuhnya.
"Aku lebih memilih untuk tinggal di sini bersama Bardhom," Merryath mendekati Bardhom, tatapannya begitu liar menelisik setiap lekuk tubuh laki-laki tersebut. Tubuh yang kini memakai wujud Martin Hasibuan.
Sementara Bardhom menyipitkan pandangannya menatap Merryath, Aka Manah tertawa lebar mendengar permintaan Merryath tersebut.
Aka Manah cukup paham apa yang sesungguhnya diinginkan Merryath. Ya, Seirene yang satu itu pasti ingin bersenang-senang bersama Bardhom dan tubuh barunya.
"Terserah kau saja," ujar Aka Manah.
"Lagipula," Merryath menggigit bibirnya sendiri dengan lembut. "Tempat ini di dekat laut. Kalian kan tahu aku lebih suka berada di dekat laut."
"Dasar Seirene!" dengus Pharas.
"Oh, Pharas," Merryath tertawa halus dan satu tangannya mengelus dada Bardhom. "Kau tidak akan tahu kesenangan ini jika tidak pernah mencobanya!"
"Kau yakin?" delik Pharas, lagi.
"Sudahlah!" kata Aka Manah. "Eredyth, kita tinggalkan tempat ini."
"Bagaiamana dengan keinginanku?" tanya Eredyth.
"Hemm, benar juga," Aka Manah mengusap dagunya. "Hei, Bardhom, bisakah kau mengantarkan seekor cerberus dan chimaira ke markas baru kita, nanti?"
"Kapan?" tanya Bardhom yang menikmati belaian-belaian lembut dari Merryath.
"Kurasa akan lebih bagus setelah lewat tengah malam."
"Baiklah."
Setelah itu, Aka Manah serta Eredyth dan Pharas meninggalkan tempat tersebut. Tersisa hanya Bardhom berdua dengan Merryath, juga chimaira yang masih terlihat asyik menyantap jasad si detektif polisi.
"Tinggal kita berdua, Bardhom…" Merryath tersenyum dengan pandangan sendu terhadap tubuh tegap di hadapannya.
"Apa maumu, Seirene?"
"Hei, ayolah!" Merryath merapatkan tubuhnya ke tubuh Bardhom. "Aku belum pernah bercinta dengan ras Ifrit sebelumnya… pasti sangat menyenangkan."
Sementara wanita itu berbicara seperti itu, ia melepaskan kaitan bra oranye di tubuhnya hingga kini bagian atas tubuhnya itu telanjang tanpa satu apa pun yang menutupi.
Bardhom menyeringai, tertawa pelan nyaris tanpa suara. Satu tangannya menarik pinggang nan ramping itu, tangan satunya lagi menangkup dan meremas-remas salah satu payudara Merryath.
"Oh, Bardhom…"
***
TO BE CONTINUED ...