Aka Manah mengulum senyum kala memandang bokong wanita berpakaian ala wanita kantoran itu melangkah membelakanginya. Ia pun melangkah ke deretan sofa yang sama, lalu duduk di samping kiri Pharas.
"Kalian sudah menjalin komunikasi dengan Nimfa-Nimfa lainnya?"
"Belum, Tuan," ujar pria muda yang di kiri. "Sejauh ini, belum ada kabar dari yang lainnya. Hanya kami berdua saja yang menerima sinyal dari Tuan subuh tadi."
"Sudahlah," sahut Pharas pada Aka Manah. "Kau terlihat seperti seseorang yang sedang terburu-buru, Akvan. Lagipula, portal itu belum terbuka sepenuhnya. Hanya celah-celah kecil yang kadang muncul dan kadang tidak sama sekali, itu pun tidak tetap pada satu titik."
Aka Manah menyeringai halus. Tentu saja ia mengetahui perihal ini. Sebelum Harmonic Convergence benar-benar terjadi, portal antardimensi tidak akan terbuka sepenuhnya. Kecuali, celah-celah kecil yang lebih layak disebut sebagai lubang cacing.
Dan seperti yang dikatakan oleh Pharas sebelumnya, lubang-lubang cacing yang terbentuk itulah yang menjadi penanda akan terjadinya peristiwa sangat langka itu—sekali dalam 10.000 tahun.
Hanya saja, lubang-lubang kecil itu selalu muncul dan menghilang dan terjadi pada waktu yang tidak tetap—tidak bisa diprediksi. Meski demikian, Aka Manah dan sebagian rekannya memanfaatkan celah kecil tersebut untuk bisa mencapai Bumi.
Selain itu, kemunculan lubang-lubang cacing itu juga secara acak lokasinya. Dan hal ini membuat Aka Manah cukup kesulitan untuk mengumpulkan bala tentaranya di satu tempat mengingat Bumi bukanlah planet yang kecil dan memiliki daratan luas yang terbagi-bagi dalam beberapa benua.
Itu pula sebabnya subuh tadi—sebelum Aka Manah membunuh Dokter Arya dengan cara memakan otaknya dan menggunakan kulit tubuh sang dokter sebagai 'pakaiannya'—dia telah lebih dulu mengirimkan sinyal. Ia melakukan itu beberapa jam setelah ia mencapai Bumi dan mengamati perilaku manusia untuk beberapa saat sebelum menemukan seorang pelacur, dan menggunakan wujud si pelacur demi menjebak Dokter Arya.
Sinyal itu sendiri berupa auman yang melengking tinggi yang akan cukup sulit bagi telinga manusia untuk mendengar frekuensi suara yang keluar tersebut. Hanya kaum dan bangsa seperti Aka Manah saja yang bisa mendengar 'sinyal' tersebut. Atau lebih tepat disebut sebagai bangsa Iblis.
"Apa yang sudah kalian dapat?" tanya Aka Manah pada kedua pria muda.
"Tidak banyak," jawab pria di kanan. "Tubuh ini, hanya tahu tentang permainan digital saja. Selebihnya, kosong."
Pria yang satu itu berpakaian serbakasual. Sedangkan pria di sebelahnya mengenakan pakaian seperti pakaian seorang atlit bola basket.
"Mungkin Pharas benar," ujar Eredyth yang menyinggung ucapan wanita di samping Aka Manah itu ketika mereka masih berada di sebuah gudang kosong di tepi laut, sebelumnya. "Manusia-manusia itu semakin bodoh saja, dan telah melupakan apa yang pernah terjadi pada nenek moyang mereka."
Pharas terkikik pelan. Setidaknya, pujian dari Eredyth itu cukup menyenangkan untuk ia dengar.
"Bagaimana denganmu?" tanya Aka Manah pada pria muda yang berpakaian ala atlit bola basket tersebut.
"Sama saja," ujar pria muda itu. "Selain tentang permainan aneh yang memperebutkan satu bola—menurutku, isi kepalanya yang ada hanya harta dan wanita."
"Menyedihkan!" tapi Aka Manah justru terkekeh. "Mungkin kali ini kesempatan yang diberikan kepada bangsa dan ras kita akan tercapai. Manusia akan punah."
"Hei, hei, hei…" Pharas menyeringai sembari menggelengkan kepala. "Yang aku dengar, si Bintang Fajar itu tidak menghendaki kemusnahan manusia. Genosida? Yang benar saja! Lucifer ingin menjadikan mereka budak untuk ras kita, Akvan. Atau mungkin kau sudah melupakan ini?"
Aka Manah tertawa halus sembari mengangguk-angguk, dan tangan kanannya terjulur melewati punggung wanita itu. Lalu turun ke pinggang, dan berlanjut dengan meraba-raba bokong wanita dari ras Alkonost tersebut.
"Kau tidak ingin melewati sedikit pun kesempatan, ya?" Pharas melirik pria di samping kirinya itu dengan tatapan menyipit.
Lagi-lagi pria itu tertawa saja menanggapi protes kecil dari mulut Pharas.
"Kudengar saat bangsa Iblis menggunakan tubuh manusia ketika melakukan hubungan badan, maka akan bisa menghasilkan Nimfa lebih banyak hanya dalam waktu satu bulan."
Pharas memandang tajam kepada Eredyth, ia tidak mempercayai ucapan wanita dari ras Succubus barusan itu. Menjijikkan, pikirnya.
Eredyth tertawa cekikkan. "Kau tanya saja pada dia!" tunjuknya kepada Aka Manah.
"Yeah!" Pharas mendengus kencang. "Baik sekali kau memberi tahu kepadaku soal ini." Lalu, tatapannya beralih kepada Aka Manah. "Kau ingin menjadikan kami sebagai kilang pembuatan keturunanmu, hemm?"
Aka Manah tertawa halus, ia menggaruk-garuk dagunya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya masih berada di bokong wanita di sampingnya itu.
"Itu yang aku coba tanyakan sebelumnya kepada dia," kata Eredyth lagi yang sengaja memanas-manasi Pharas.
"Kau tahu," Pharas mendelik tajam kepada Aka Manah. "Andai saja kau bukan tangan kanan si Bintang Fajar itu, sungguh…" Pharas menyeringai, untuk sekejap gigi taring bagian atas sisi kirinya terlihat memanjang. "Sudah sejak lama aku ingin mencoba kekuatanmu. Legenda mengatakan bahwa kau memiliki kekuatan yang besar, bahkan melebihi ras Ifrit."
Aka Manah tidak dapat menahan tawanya, ia mengangguk-angguk di tengah suara tawanya itu.
Dua pria muda sama merasakan kengerian di balik suara tawa Aka Manah. Mereka sama bersurut satu langkah.
Sementara Eredyth dan juga Pharas hanya menyeringai menanggapi tawa dari Aka Manah yang dipenuhi oleh hawa membunuh yang seolah menegaskan bahwa ia berkuasa penuh atas bangsa Iblis yang ada di Bumi.
"Kau menggertakku?" tanya Pharas dengan cuek saja.
"Kau ingin mencoba?" ujar Aka Manah dan kemudian telapak tangannya yang mengelus bokong wanita itu membuat gerakan meremas kuat sehingga Pharas sedikit menggelinjang.
Pharas menyeringai lagi. "Kenapa aku merasa kurang yakin terhadapmu?"
"Sudahlah!" sahut Eredyth yang pada akhirnya tidak tahan melihat kemesraan di antara kedua orang di atas sofa itu. Setidaknya, hal ini memancing birahinya sendiri. "Kalian berdua memang jauh lebih gila dari perkiraanku."
Aka Manah dan Pharas sama menyeringai lebar, saling mengukur kekuatan satu sama lain.
"Apa yang harus kami lakukan?" tanya pria muda yang mengenakan pakaian ala atlit bola basket pada Aka Manah.
"Kau bisa membawa salah satu dari mereka untuk menangani Ardha Candra?" tanya Aka Manah kepada Eredyth.
"Kenapa harus aku?"
"Hei, dengar!" Aka Manah memperbaiki posisi duduknya, tapi justru semakin rapat ke tubuh Pharas. "Kau menggunakan wujud anak dari dokter ini," ujarnya seraya menunjuk ke dadanya sendiri.
"Lalu?"
"Kau bisa menggunakan itu untuk menyelidiki di mana pria itu tinggal."
"Kau menyuruhku untuk ke rumah sakit itu?"
"Tentu saja."
Eredyth menunjuk-nunjuk Aka Manah dan terlihat sangat tidak senang.
"Kau keberatan?"
"Aah!" Eredyth membanting tangannya yang menunjuk-nunjuk tadi. "Terserah!"
"Terima kasih," ujar Aka Manah.
Sementara Pharas hanya tersenyum-senyum saja menanggapi sikap tidak senang dari Eredyth tersebut.
Tentu saja Eredyth tahu dengan pasti bahwa Aka Manah akan menyenggamai Pharas di rumah ini tanpa harus diganggu dengan kehadirannya di sana.
TO BE CONTINUED ...