"Ada hal lain yang buat situasi canggung di antara kita. Kita harus mulai ngomongin tentang itu kan?" Din bertanya dengan wajah serius dan Nan menelan makanannya. Nan menyentuh kalungnya.
"Gue senang." Din tersenyum.
"Hah?"
"Kalung itu cocok banget sama lo,"
Kata-kata Din menenangkan perasaan Nan.
Dia tersenyum padanya. Mereka saling menatap selama beberapa detik. Mereka lega karena memiliki perasaan yang sama, seperti pikiran dan hati mereka yang berada di satu tempat yang sama, di ruangan ini, bersama-sama.
Din meraih tangan Nan di atas meja. Dia menunggu Nan untuk menanggapi sentuhannya dan dia akhirnya bergerak dan menahan tangan Din. Setelah mereka berpegangan tangan, Din mengajukan pertanyaan tak terduga. "Ap gue boleh menganggapmu lo sebagai pacar gue sekarang?" Nan terkejut dan kehilangan kata-kata. Dia tidak bisa memaksa dirinya untuk mengatakan apa-apa karena terkejut, tapi dia hanya punya satu jawaban. Dia mengangguk.
Din tersenyum bahagia dan begitu juga Nan. Nan mencoba melanjutkan makannya, tetapi dia kesulitan karena tangan kirinya yang tersedia. Din masih memegang tangan kanannya. "Um... Din, bisa lepasin sebentar gak?" tanya Nan. Tapi, Din menolak untuk melakukannya, "Tidak."
"Terus gimana caranya gue makan?"
Din memikirkan cara dan dia menemukan satu, "Gue bisa ngatasin itu,"
"Hah?" Nan tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Din mengambil sendok Nan makanannya dan mencoba memberinya makan, "Ini, buka mulut lo aahhh" Nan terpana oleh perilakunya dan mengikuti perintahnya untuk membuka mulutnya, secara impulsif.
Nan banyak tertawa karena Din terus menyuapinya sampai piringnya bersih. Nan tidak menyangka Din bisa selucu ini. Dia memberinya makan karena dia tidak ingin melepaskan tangan Nan.
Din senang karena dia sudah memiliki Nan di sisinya. Ia melirik jam tangannya dan sekarang sudah pukul 8 malam. Dia perlu menidurkan Nan lebih awal untuk memastikan dia benar-benar pulih.
Din menyuruh Nan tidur lebih awal dan Nan setuju, dia juga lelah. Saat Din mengantarnya ke tempat tidurnya, Nan menyadari bahwa Din masih memegang fan-merchandise Nan ditangannya. "Hei, lo harus balikin itu ke tempatnya. Gue udah muak dengan lo yang nemuin rahasia gue." Nan mencoba meraihnya dan sekali lagi menempatkannya lebih tinggi. Din sendiri cukup tinggi seperti menara, ketika dia melakukan itu mustahil untuk mencapainya tetapi Nan masih mencoba melompat dan bahkan berdiri dari tempat tidurnya.
"Nan, tunggu! hati-hati! Lo bisa jatoh!" Tepat setelah Din memperingatkannya, dia tersandung dan jatuh pada Din. Din memiliki reflek yang cukup baik untuk memutar tubuhnya ke tempat tidur atau mereka akan jatuh ke lantai.
"Aduh!" Mereka berdua kesakitan. Nan menyentuh dahinya yang memerah karena menabrak dagu Din dan terpana melihat seberapa dekat dia dengan wajah Din. Din membuka matanya dan menyadari bahwa Nan ada di atasnya.
Nan perlahan meletakkan kakinya di lantai dan mencoba melepaskan diri dari situasi itu, tetapi Din mencegahnya melakukannya. Din bertanya, "Um... Jadi kita udah pacaran kan?"
"Y-iya... Jadi?" Nan merasakan detak jantung yang kencang dan begitu juga Din.
"Jadi... Boleh gue cium lo?"
Nan tersipu begitu keras setelah apa yang baru saja dikatakan Din, dia menutupi wajahnya dan terlalu malu untuk melihat Din. Din sedang menunggu jawabannya. Nan mengintip dari sela-sela jarinya dan berkata, "Boleh." Dengan suara rendah.
Din mendengar apa yang dia katakan dan tersenyum. Dia mencium punggung tangannya yang menutupi wajahnya terlebih dahulu, melepaskan tangannya, mencium dahinya, pipinya, dan dengan lembut mencium bibirnya.
Nan bisa merasakan cinta Din melalui ciumannya. Mereka berciuman beberapa kali sampai Nan tertidur dan Din tetap disampingnya sampai matahari terbit.