Ternyata benar, memang masih berlanjut.
***
Seketika aku merasa kian bersalah lagi. "Seperti inikah perasaanmu tadi siang, Ki? Merasa sakit dan tak dipedulikan dalam satu waktu. Aku keterlaluan kah, Ki?" Aku tutup semua kembali aplikasi dan rekaman-rekaman yang tlah coba kubuat. "Aku mungkin memang bukan ditakdirkan untuk bersuara, tapi entah bagaimana, aku akan tetap menulis. Biarlah, ini caraku bicara. Selebihnya? Biarlah tugas semesta saja gimana." Aku berpasrah diri.
Takdir? Adakah suara juga bagian dari takdir? Tidakkah ia serupa menulis? Yang adanya bisa dipelajari. Bukan semata pemberian Tuhan yang sekali jadi. Bahkan, tanpa peduli bakat ada atau tidaknya. Ketekunan, percaya diri, dan kesepertiituan, bukankah lebih diperlukan?
"Ki, barangkali kamu hanya perlu berlatih lagi. Baiklah, aku akan minta maaf besok. Aku sungguh sudah yakin akan mengenalkanmu."