Aku dan Namira langsung pulang kerumahku setelah sejenak makan es krim tadi. Sungguh aku tidak ada maksud apa-apa seperti berselingkuh atau semacamnya.
Aku hanya sedikit mengurangi beban pikiran Namira yang dituduh sebagai pembunuh. Pasti dia sangat tertekan. Apalagi harus menginap semalaman di penjara. Sungguh! Tak ada maksud lain.
Saat aku memasuki rumahku. Kami disambut oleh tawa ceria Jeje dan Nana. Mereka menyambut kedatangan kami dengan berjingkrak heboh sambil bertepuk tangan khas anak berusia 2 tahun.
Nana berlari ke arah Namira dan langsung melompat ke gendongan Namira.
Rupanya, Jeje juga menginginkan hal yang sama. Dia berlari ke arahku dan melompat-lompat juga. Aku segera meraih tubuh gempal putraku itu. Dia semakin menggemaskan saja.
"Kalian sudah pulang?" Suara Yoona yang baru saja keluar dari dapur, menyapa indera pendengaranku.
Yoona langsung berjalan ke arah kami setelah menaruh celemeknya.
Bukannya menyambutku, Yoona malah mendekat ke arah Namira. Yoona memeluk Namira yang masih mengendong Nana.
"Pasti sangat menakutkan bagimu ya, Nami?" ucap Yoona sambil menepuk pelan punggung Namira.
"Tidak apa-apa, Yoona. Pada akhirnya, semua itu telah terungkap. Dan memang bukan aku pelakunya. Untung ada suamimu yang membantuku," ucap Namira sambil menole ke arahku.
Tentu saja langsung membuat wajahku memanas. Kapan lagi coba dipuji oleh perempuan seperti itu. Aku sadar, aku memang keren. Tapi, jika mendapat pengakuan secara terang-terangan seperti itu, aku juga merasa tersanjung.
"Heleh, jaga sikapmu, Bang! Mukamu itu kayak anak SMP yang lagi dipuji teman ceweknya tahu!" Nah, ini suara Yoona, istriku. Dia memang selalu suka menggoda seperti itu.
Aku tidak tahu apa yang dirasa Yoona sebenarnya. Ia seperti tidak pernah cemburu meski melihat interaksiku dengan Namira. Aku tidak tahu apa sebabnya. Mungkin karena Yoona yakin jika aku tetap akan setia kepadanya. Atau mungkin saja Yoona tidak terlalu mencintaiku? Jadi, Yoona tidak terlalu khawatir jika aku akan mengkhianatinya.
Jika kemungkinan yang terakhir itu benar. Aku benar-benar dalam masalah. Aku tidak akan membiarkan siapa pun mengisi ruang hati Yoona selain diriku. Baiklah, aku memang serakah.
"Bang Jae, bereskan dapur! Aku buruh bicara dengan Namira. Aku ingin tahu cerita lengkapnya," perintah Yoona kepadaku.
"Kenapa harus aku yang membersihkan dapurmu, Sayang! Kau 'kan yang memberantakkannya?" protesku tidak terima.
Enak saja mereka mau curhat-curhatan, sedangkan aku disuruh untuk membersihkan dapur. Apa jika aku memiliki istri dua sabahat seperti itu, apa nantinya aku yang malah dijadikan babu oleh mereka? Sial! Aku benar-benar seperti tidak punya kuasa di depan perempuan-perempun itu.
"Apa lagi yang kau tunggu, Bang Jae?! Cepat bersihkan dapurnya!!" perintah Yoona padaku. Keturunan bos besar seperti dia memang masih menyeramkan, meskipun sekarang dia memilih menjadi ibu rumah tangga biasa.
"Je, mau ikut babe membersihkan dapur atau ngerumpi sama cewek-cewek itu?!" aku bertanya pada Jeje yang masih kugendong, sambil menunjuk ke arah ruang tengah, tempat berkumpulnya para perempuan. Ada Yoona, Jia, Namira dan anaknya.
Jeje meronta untuk turun dari gendonganku.
"Je mau main cama Nana," sahut Jeje dengan nada cadel.
Setelah itu, Jeje langsung berlari ke ruang tengah. Anakku itu memang pengkhianat. Dia lebih suka merumpi daripada membantuku.
Persahabatan antar dua perempuan memang sangat mengharukan. Bahkan, mereka akan mengabaikanku ketika sudah bertemu seperti itu.
Bersambung ....