"Aku tadi bertemu dengan Namira, Sayang."
Saat nama itu disebut, mataku langsung membola. Tidak jadi mengantuk jadinya. Aku duduk seketika. Aku menatap sendu ke arah Yoona, berharap istriku itu akan menceritakan semua yang ia bicarakan bersama Namira-ku.
Baiklah, Namira memang bukan milikku lagi, tapi sebenarnya hati ini ingin selamanya mengklaim bahwa wanita itu adalah milikku. Belum ada kata perpisahan di antara kita. Well, aku memang bukan lelaki baik-baik.
Yoona menjeda ucapannya. Ia sepertinya tahu bahwa aku sangat penasaran saat ini, jadi Yoona mencoba mengerjaiku.
Aku saat ini masih terdiam, tidak berani bereaksi berlebihan yang akan membuat istriku ini terluka. Yoona adalah pilihanku, meski kami menikah dulunya bukan atas dasar cinta. Namun, semakin lama cinta ini kian tumbuh. Meski ada ruang kecil di hatiku yang masih terasa diisi oleh nama Namira.
"Dia menanyakan kabarku dan keluargaku. Meski tidak langsung, aku tahu jika saat itu Namira tengah menanyakanmu, Sayang."
Yoon berucap lirih. Mungkin agar tidak membangunkan anak-anak kami yang sudah susah-susah ia tidurkan.
Aku melihat Yoona menumpuk bantalnya, agar semakin nyaman. Setelah itu, ia merebahkan tubuhnya di samping kiriku kembali. Tatapannya terus menghadap ke langit-langit ruangan.
Aku tidur sambil menopang kepala dengan tangan kiriku. Aku terus memerhatikan wanita turunan ras Asia Timur, yang sudah lama tinggal di Indonesia ini. Entah apa yang dipikirkan Yoona saat ini. Ia tidak melanjutkan ceritanya.
"Lalu, kau jawab apa?" Setelah mengumpulkan keberanian dan mencari kalimat yang tepat, akhirnya kalimat itulah yang muncul dari bibirku.
"Baik. Aku hanya menjawabnya seperti itu."
"Oh ...." Aku hanya ber-oh ria sebagai tanggapan. Aku tidak ingin Yoona salah paham atas ketertarikanku ingin mengetahui, sebenarnya apa saja yang mereka bahas tadi di taman.
"Dia hanya tinggal untuk beberapa waktu di sini."
"Kenapa begitu?" Aku tersentak sendiri karena kalimat itu muncuk begitu saja dari bibir ini. Sial! Padahal aku sudah mewanti-wanti diri untuk tidak berbuat yang akan membuat Yoona terluka.
Terlihat perubahan ekspresi dari Yoona saat mendengar tanggapanku baru saja. Namun, detik berikutnya Yoona tersenyum. Senyuman yang sangat manis dan sungguh menenangkan.
Seharusnya, aku sudah puas hanya dengan memiliki Yoona. Namun, bukankah pasa dasarnya manusia memang memiliki sifat serakah. Dan aku adalah salah satu manusia yang serakah itu.
"Namira akan diajak oleh Kensuke kembali ke Jepang."
"Lelaki keparat itu?" Aku mendesis saat mendengar nama Kensuke. "Bahkan, dia diam saja saat lelaki tua Daisuke, ayah dari Kensuke, menggagahi Namira. Lalu, apa yang mampu ia lakukan untuk melindungi Namira, hah?"
Tanpa sadar, aku malah berteriak kesal saat ini. Seharusnya, Yoona kecewa karena aku masih memedulikan mantan kekasihku. Tapi, saat ini Yoona malah tersenyum angkuh di sebelahku. Entah memiliki arti apa senyuman Yoona saat ini.
"Kalau kau peduli, kenapa tidak kau tahan saja Namira agar tidak pergi, Jay?" lirih Yoona dengan nada datar.
Aku tidak terlalu paham maksud ucapan Yoona baru saja. Entah ia menyuruhku bertindak seperti hero, atau malah tengah menyindirku saat ini. Untuk ungkapan Yoona yang baru saja, aku belum ingin bereaksi. Bisa saja ini jebakan.
"Setidaknya, jika masih di sini aku akan bisa membantunya." Yoona melanjutkan ucapannya.
"Apa maksudmu, Sayang?" Aku bertanya penasaran. Aku tidak ingin menebak-nebak lagi. Yoona adalah wanita dewasa yang tidak akan cemburu hanya karena suaminya masih peduli dengan mantan kekasih si suami. Yoona pasti mengetahui sesuatu.
"Kau tahu sendiri 'kan latar belakang keluarga Takahashi Kensuke itu, Jay?" Yoona berucap. Bahkan, saat ini ia tidak memanggilku 'sayang' seperti biasa.
Aku yakin itu bukan karena Yoona tengah marah padaku. Wanitaku ini jika sedang mengatakan kalimat yang serius memang selalu memanggilku 'Jay' seperti saat kita belum menikah dulu.
Aku mengerutkan kening. Aku tahu arah pembicaraannya, tapi itu bukan alasan untukku tiba-tiba meminta Namira untuk tetap tinggal di Indonesia ini. Aku tidak mungkin datang ke rumah Namira dan memohon-mohon. "Namira! Jangan pergi ke Jepang dengan Takahashi Kensuke. Dia sama bejat seperti ayahnya, Takahashi Daisuke."
Ah, membayangkan saja sudah terlihat sungguh memalukan. Aku sama saja tengah mengemis cinta pada Namira. Namira sudah dewasa. Aku yakin dia dapat memutuskan untuk yang terbaik bagi dirinua sendiri. Ya, aku yakin itu.
Aku menepuk pucuk kepala Yoona dan mencium kening istriku itu. Aku yakin dia sudah kelelahan merawat kedua anakku sendiri. Jadi, aku tidak ingin dia memikirkan urusan orang lain lebih jauh lagi.
"Kau tidur saja dulu, Sayang! Besok saja kita bahasnya, ya? Begadang akan membuat kualitas ASI bagi Jeje menurun," ucapku sambil membenarkan selimut Yoona hingga ke dada.
Aku mengambil posisi tidur di sampingnya juga. Kulingkarkan tanganku tepat ke perut Yoona. Dan aku mulai terpejam, meski sesungguhnya aku tidak mengantuk saat ini. Aku akan pura-pura tidur agar Yoona ikut memejamkan mata.
Namun, otakku terus saja berpikir tentang apa yang mendasari Namira sehingga mengambil keputusan sebodoh itu. Namira, kumohon hiduplah dengan baik! Jangan selalu mendekati bahaya dengan berada di sekitar keluarga Takahashi.
Bersambung .....