Tok, tok, tok!
"Kamu masuk saja, Sayang!" ucapku pada Yoona yang berdiri di depan pintu ruangan sempit yang kugunakan sebagai ruang kerja. Selain punya usaha berjualan, aku juga menekuni bidang literasi. Ya, aku adalah seorang penulis di salah satu platform yang menyediakan novel online.
Aku menoleh dan mendapati Yoona yang terlihat cantik malam ini dengan gaun hitam transparan. Sebuah kacamata berbingkai hitam menghiasi matanya.
Istriku ini berdarah campuran. Ayahnya warga negara Korea Selatan bermarga Kim. Ibunya, alias mertuaku pribumi Jepang, suku Ainu. Sebelum menikah, nama Yoona adalah Kim Yoona. Tapi setelah menikah dengan diriku yang asli suku Jawa--meski ada darah Jepang dari kakek--ini, panggilan nama Yoona lebih sering terdengar 'Yuk Na' yang artinya kakak perempuan Na.
Jadi, kedua anakku ini berdarah campuran. Dan dunia tau, baik Korea Selatan maupun Jepang menganut ius sanguis. Jadi, warga negara manakah anakku nantinya? bipatride , atau multipatride? Ah apalah itu namanya, aku menyerahkan keputusan sepenuhnyakah pada mereka saat Jia dan Jeje susah berumur 17 tahun nanti.
"Aku dengar dari tetangga, Namira menginap di kantor polisi ya bukannya pergi mengunjungi neneknya seperti katamu tadi, Jae."
Oh, sial! Aku lupa jika para tetanggaku itu seolah punya banyak mata. Jika seperti ini, aku tidak dapat lagi menutupinya. Tadi, aku memang menyuruh Yoona menjemput anak dari Namira dengan alasan Namira pergi ke luar kota karena neneknya sakit. Kenkyo, nama anak dari Namita sedang sakit, jadi Kenkyo tidak boleh diajak melakukan perjalanan bus sangat jauh.
Yoona mengangguk, dan berjanji akan menjaga putri dari Namira yang sepantaran dengan anak bungsuku, Jeje. Aku harus mengakuinya saat ini, sepertinya.
Aku mengangguk, pandanganku masih mengarah pada kertas berisi tulisan outline yang aou rangkai sejak tadi untuk novel online-ku.
Yoona menghampiriku yang masih berkutat pada kertas dan laptop itu.
"Jia, Jeje dan Kenkyo sudah tidur, ya? Kenapa menggangguku?"
Aku sedikit menggoda Yoona karena tidak biasanya dia mendekatiku lebih dulu. Biasanya, aku berada di urutan ke tiga setelah Jia dan Jeje dalam daftar orang-orang yang ia prioritaskan.
"Tidurlah! Sudah malam." Yoona mengusap bahuku, setelah itu meniup cuping telingaku.
"Hm, sebentar lagi." kataku.
Hening. Kulihat Yoona memandangi layar laptopkuyang terdapat ketikan salah satu chapter dari novelku.
Sesekali Yoona memainkan kacamatanya.
"Sayang, kau terlihat tua dengan kacamata itu." Aku memecahkan keheningan.
"Aku memang sudah mulai tua. Anaku ada dua, dan suamiku saja sudah jadi om-om sepertimu, Sayang."
Heh! Jadi, ledekanku di balas, eh?
"Yoona~" rengekku, manja.
Yoona malah tertawa, mengusap kepalaku.
Aku masih tiga puluh tahun. Apa yang salah? Bukankah itu masih muda?
"Selamat malam, Sayangku," ucap Yoona setelah berhenti tertawa.
"Kau tidur dulu, Sayang. Setelah satu chapter selesai, aku akan menyusulmu untuk tidur." Jawabku.
Kemudian Yoona keluar dari kamarku. Dan, ah jadi begitu ya?
Trik ini...? Trik yang digunakan pelaku benar-benar menarik.
Terima kasih, Yoona Meski istriku terlihat tak cantik dengan kacamata, tapi karena Yoona memakainya lah, aku jadi tau trik yang pelaku gunakan.
Benar!
Dengan trik ini, tanpa mendorong tubuh korban, korban akan secara tidak sadar menyandarkan tubuhnya pada pagar pembatas. Pelaku tak perlu ada di dekat korban untuk menjatuhkan korban. Dan kalau dugaanku tepat, buktinya ada di tubuh mayat.
Tapi, akh sial. Aku sudah tau siapa pelaku pembunuhan lelaki tadi, namun bukti yang ada tidak dapat membuktikan bahwa orang itulah pelakunya. Lagipula, aku belum tau motif pembunuhan ini.
Aku si penulis novel misteri ini, sangat senang memecahkan suatu kasus. Entah itu di kehidupan nyata atau hanya berada di imajinasiku.
Baiklah, saat ini aku yakin telah mendapat titik terang dari kasus yang menjerat Namira.
Satu-satunya cara, aku harus mendatangi ketiga orang itu. Dan yang pertama adalah yang paling tidak mungkin. Orang yang menelepon ambulance.
Bersambung ...