Shafiyah tahu saat ini hati Inayah pasti sedih karena Yusuf tidak datang. Karena itulah Shafiyah berusaha menenangkan hati Inayah atas permintaan Yusuf.
Seketika Inayah menoleh ke arah Shafiyah.
"Apa yang kamu katakan Shafiyah? Ustadz Yusuf sakit? sakit apa?" tanya Inayah menjadi panik dan cemas.
"Hanya demam, kamu jangan cemas Inayah." ucap Shafiyah sedikit senang saat Ustadz Yusuf secara langsung mengirim pesan padanya tanpa melalui Ustadz Ridwan.
"Apa Ustadz Ridwan yang memberitahumu?" tanya Inayah dengan tatapan penuh.
Shafiyah menganggukkan kepalanya seperti yang telah di perintahkan Yusuf padanya.
"Apa aku tidak bisa melihatnya Shafiyah?" tanya Inayah menatap penuh harap pada Shafiyah.
Shafiyah terdiam sejenak kemudian mengangkat wajahnya dengan tersenyum.
"Besok ada acara pertemuan rutin di Pondok Pesantren. Kamu bisa membantuku di sana dan semoga kamu bisa melihat Ustadz Yusuf di sana." ucap Shafiyah tidak tega melihat kesedihan Inayah.
"Terima kasih Shafiyah." ucap Inayah ingin sekali menangis bisa melihat Yusuf walau hanya sebentar saja.
"Sekarang, kamu jangan menangis lagi. Siapkan saja teh hangat Ustadz Ridwan, aku akan kembali ke sana." ucap Shafiyah sambil mengusap wajah Inayah kemudian meninggalkan Inayah dengan perasaan hatinya yang tiba-tiba cemas dan rindu.
Shafiyah kembali duduk dan melihat Ridwan sedang mengeluarkan sesuatu dari dalam kantongnya.
"Shafiyah, acara besok jam siang hari setelah shalat Dhuhur. Kalau bisa datanglah lebih awal, kamu bisa shalat Dhuhur di sana. Dan ini dana untuk pengeluaran kamu buat acara besok." ucap Ridwan menyerahkan amplop putih berisi uang.
"Terima kasih Ustadz, Insyaallah aku akan datang lebih awal." ucap Shafiyah seraya menerima amplop dari Ridwan.
"Shafiyah... selain aku membicarakan tentang acara besok. Aku juga mau bicara tentang sesuatu." ucap Ridwan berusaha menenangkan hatinya yang kembali berdebar-debar.
"Tentang apa Ustadz?" tanya Shafiyah merasa gugup melihat wajah Ridwan yang terlihat tegang dan gugup.
"Begini Shafiyah, aku pikir sudah berteman lama dan dekat. Aku ingin bilang padamu kalau aku...." Ridwan tidak meneruskan ucapannya saat melihat Inayah datang dengan membawa tiga teh hangat.
"Maaf Ustadz, minumannya datang sedikit terlambat." ucap Inayah dengan tersenyum.
"Lama juga tidak apa-apa Inayah, kenapa kamu harus datang sekarang? aku baru saja mau mengatakan perasaanku pada Shafiyah. Inayah... kamu menenggelamkan keberanianku lagi." ucap Ridwan dalam hati dengan sebuah senyuman terpaksa di bibirnya.
"Ustadz Ridwan...Ustadz melamun? Ustadz mau bicara apa tadi?" tanya Shafiyah dengan kening mengkerut.
"Ahh...iya... karena kita sudah berteman lama dan dekat, aku berencana untuk acara besok akan menunggumu di pintu depan. Biar kamu tidak kesulitan mencariku." ucap Ridwan sambil mengusap tengkuk lehernya agar Shafiyah tidak bertanya-tanya lagi.
"Oh... begitu ya Ustadz." ucap Shafiyah semakin mengkerutkan keningnya tidak mengerti dengan maksud Ridwan yang akan menunggunya di depan pintu.
"Ya... karena di sana pasti banyak para Ulama, Ustadz, dan Santri pilihan dari beberapa kota." ucap Ridwan berusaha menjelaskan pada Shafiyah agar tidak curiga.
"Terima kasih Ustadz, kalau mau menungguku. Besok aku ke sana mengajak Inayah Ustadz. Apa boleh?" tanya Shafiyah dengan tatapan memohon.
"Tentu boleh....aku senang kalau Inayah bisa datang." ucap Ridwan dengan tersenyum menatap Shafiyah dan Inayah secara bergantian.
"Alhamdulillah. Terima kasih Ustadz." sahut Inayah dengan perasaan malu.
"Baiklah, karena sudah malam aku harus pulang sekarang. Terima kasih atas teh hangatnya." ucap Ridwan meneguk teh hangat buatan Inayah hingga habis tak bersisa.
Shafiyah dan Inayah menganggukkan kepalanya secara bersamaan.
"Assalamualaikum." ucap Ridwan sambil berjalan ke arah pintu.
"Waalaikumsallam Ustadz. Hati-hati di jalan." ucap Shafiyah dengan hati di penuhi cinta.
Inayah melihat Ridwan berjalan cepat dan masuk ke dalam mobilnya. Hatinya begitu sedih memikirkan Yusuf yang sedang sakit tanpa tahu keadaanya. Ingin rasanya dia berlari menemui Yusuf agar bisa menjaganya.
"Inayah jangan berdiam di luar, ayo... cepat masuk. Kamu jangan menampakkan diri di luar. Kamu masih belum aman untuk keluar rumah." ucap Shafiyah menarik tangan Inayah dan membawanya ke restorannya yang cukup ramai.
"Inayah, kamu bisa membantuku di sini. Aku tidak mau kamu larut dalam kecemasan karena memikirkan Ustadz Yusuf." ucap Shafiyah sambil mencubit pipi Inayah.
"Aku hanya memikirkan siapa yang merawat Ustadz Yusuf di saat sakit seperti saat ini." ucap Inayah dengan jujur.
"Banyak Santri di sana Inayah, ada Ustadz Ridwan juga. Kamu jangan cemas ya, kamu pasti akan melihat Ustadz Yusuf di pertemuan besok." ucap Shafiyah menenangkan hati Inayah.
Inayah menganggukkan kepalanya sedikit tenang mendengar ucapan Shafiyah.
***
Di rumah Salimah...
"Aku tidak mengerti dengan kekuatan kalian semua? hanya menghadapi dua orang preman saja tidak bisa? lalu untuk apa aku membayar kalian hah!!" ucap Salimah berteriak pada anak buahnya yang baru datang mencari Inayah kemana-mana.
"Mereka berdua cukup tangguh Salimah, ilmu bela diri mereka tidak bisa di remehkan. Aku merasa mereka seorang guru bela diri." ucap Darno dengan suara pelan.
"Begitu?? lalu... kalian semua takut pada mereka berdua!" teriak Salimah semakin kencang.
Semua anak buah Salimah terdiam hanya bisa menundukkan kepalanya.
Salimah menghela nafas panjang berusaha menenangkan diri.
"Sekarang apa kalian semua sudah menemukan di mana Inayah?" tanya Salimah dengan tatapan tajam.
"Kita semua sudah berpencar ke seluruh kota ini Salimah. Tapi kita tidak bisa menemukan Inayah. Sepertinya Instan hilang di telan bumi." ucap Darno dengan suara gemetar.
"PYARRR!!"
Salimah menghempaskan gelas yang ada di mejanya.
"Kalian semua benar-benar tidak berguna!! kalian tahu? Inayah aset besarku! karena Inayah usahaku maju pesat! Aku tidak mau tahu, kalian harus mencarinya sampai ketemu!!" ucap Salimah dengan tatapan penuh kemarahan.
"Aku akan berusaha terus mencari Inayah, Salimah. Kamu jangan kuatir. Tapi... aku dan anak buahku berpikir dua preman yang menyelamatkan Inayah bukan seorang Preman, tapi seorang Ustadz." ucap Darno dengan serius.
"Apa?? seorang Ustadz?? kalian tahu dari mana mereka berdua seorang Ustadz?" tanya Salimah menegakkan punggungnya menatap Darno dengan wajah serius.
"Karena aku mendengar dengan jelas, mereka berdua saling memanggil dengan sebutan Ustadz." ucap Darno dengan pasti.
Salimah terdiam kemudian tertawa keras.
"Bagaimana bisa seorang Ustadz mengenal Inayah? apalagi membebaskan Inayah? sama sekali tidak mungkin!!" ucap Salimah dengan hati yang di penuhi rasa cemburu dan iri hati.
"Mungkin saja Salimah, kamu ingat kejadian razia di hotel tempat Inayah bekerja? yang membantu Inayah bebas dari Razia adalah seorang Ustadz. Juga saat Inayah pulang, aku yakin dengan mataku sendiri dia pasti Ustadz yang membantu Inayah di Hotel." ucap Darno menatap Salimah dengan serius.
"Apa kamu tahu siapa Ustadz itu?" tanya Salimah dengan kedua alisnya terangkat.
"Hal itu yang tidak aku tahu. Aku akan bertanya lagi pada Jamal siapa kedua Ustadz itu?" ucap Darno tidak berpikir untuk tahu siapa nama Ustadz yang telah membantu Inayah.
"Tidak perlu ke sana? Jamal masih dalam pantauan. Aku akan meneleponnya." ucap Salimah sambil menggigit bibirnya merasa penasaran siapa Ustadz yang telah membantu Inayah.