Fahira sudah berada di Jakarta, dia berniat untuk langsung terbang kembali ke Jepang. Dia sedang menunggu di bandara untuk jadwal penerbangan kali ini dia harus menunggu dua jam lebih.
Baginya menunggu adalah hal yang paling melelahkan. Namun, berbeda hal jika menunggu musuh dalam misinya maka kesabarannya sangat besar.
Ponselnya berdering, dia melihat layar ponselnya tertera nama umi. Dia enggan mengangkat telepon dari sang ibu. Akan tetapi, dia merasa bersalah jika tidak menerima panggilan telepon dari sang ibu.
"Assalamualaikum, Umi ...," Fahira mengucapkan salam pada sang umi yang berada di seberang telepon.
"Wa'alaikum salam, Sayang ...," Umi menjawab.
Fahira mendengarkan apa yang dikatakan oleh uminya, dia sama sekali tidak menimpalinya. Dia merasakan ada hal yang aneh karena dia merasakan ada yang menyentuh pundaknya dengan lembut.
Tingkat kewaspadaan semakin tinggi tetapi intuisinya berkata jika tangan orang itu tidak membahayakannya. Fahira pun mendengar suara sang umi yang sangat dekat dengannya.
"Sayang ...," Umi memanggil Fahira.
Fahira membalikkan tubuhnya, dia melihat sang umi yang kedua matanya sudah berkaca-kaca. Terlihat jelas sang umi menahan agar air matanya agar tidak menyembur keluar.
"Sayang ...," Umi kembali memanggil Fahira lalu memeluknya dengan penuh rasa rindu akan putrinya.
Umi sudah lama tidak bertemu dengan putrinya, mungkin tiga atau empat tahun. Jika sang umi memintanya untuk kembali ke rumah maka Fahira akan memberikan begitu banyak alasan.
"Ayo kita pulang," Umi berkata setelah melepaskan pelukannya.
Fahira hanya diam, dia tidak bisa berkata-kata dan juga tidak bisa menolak ajakan sang umi. Meski dirinya merasa berat untuk kembali ke rumah.
"Umi, aku ...,"
"Kami harus pulang dan Umi tidak mau mendengar penolakan darimu lagi!" sela umi dengan nada menekan.
Umi berkata seperti itu karena dia tahu jika putrinya pasti menolak untuk kembali ke rumah. Padahal sang putri belum tahu perubahan apa yang sudah terjadi di rumah saat ini.
Fahira pun terpaksa mengikuti sang umi, tangannya masih digenggam erat seraya umi tidak ingin melepaskannya. Umi menghentikan sebuah taksi lalu dia menyuruh Fahira untuk masuk.
Taksi berjalan meninggalkan bandara, umi yang tadinya hendak pergi ke Singapura untuk menjenguk saudaranya yang sedang sakit. Setelah melihat sang putri sedang duduk, dia melupakan niatnya untuk pergi menjenguk.
Di dalam perjalanan ini tidak banyak bicara begitu pula dengan Fahira. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Jalanan Jakarta begitu padat sehingga perjalanan mereka terasa sangat lama. Namun, mereka tidak merasakan akan waktu yang lama itu.
Taksi pun berhenti tepat di sebuah rumah, umi memberikan sejumlah uang untuk sang sopir. Setelah itu umi keluar begitu pula dengan Fahira.
Fahira melihat dengan saksama rumah yang sedari kecil ditempatinya bersama umi dan abinya. Dia kembali teringat semua kenangan masa kecilnya yang penuh dengan kebahagiaan.
Pintu rumah terbuka, seorang wanita yang sudah tidak muda lagi keluar. Dia menatap Fahira dengan wajah sendu, terlihat jelas jika dia sangat ingin memeluknya.
"Non Fahira ...," Wanita itu menyebut namanya.
Tanpa banyak bicara Fahira langsung berlari dan memeluknya. Dia adalah seorang bibi yang sudah dari bayi selalu menjaganya. Di saat sang umi tidak bisa menjaganya karena sakit.
Sang bibi pun membalas pelukan Fahira, air matanya menyembur keluar. Dia tidak bisa menahannya lagi, rasa rindu akan sang anak majikan yang selalu dekat dengannya. Dan selama beberapa tahun ini tidak kembali ke rumah.
"Bagaimana keadaan, Non? Mengapa baru pulang sekarang? Bibi sangat merindukan, Non ...," ucap sang bibi dengan berurai air mata.
"Aku baik-baik saja, Bi ... bagaimana keadaan Bibi?" jawab Fahira sembari melayangkan pertanyaan lagi pada sang bibi.
"Alhamdulillah, Bibi baik ...," Sang bibi menjawab.
"Sudah-sudah sebaiknya kita masuk kedalam," ucap umi yang sudah tidak sabar ingin mempertemukan putrinya dengan suaminya.
Fahira tersenyum pada sang bibi lalu dia berjalan memasuki rumahnya. Dia menyapu seluruh ruangan dan semuanya tidak ada yang berubah, masih sama seperti dulu sebelum dia meninggalkan rumah ini.
Dia mengikuti langkah sang umi menuju sebuah ruangan. Umi membuka pintu ruangan itu, memberikan tanda pada Fahira untuk ikut masuk.
"Umi ...," ucap Fahira yang masih belum yakin apakah dia akan masuk atau tidak. Dia kembali teringat akan suatu hal yang membuatnya harus pergi selama bertahun-tahun lamanya.
"Masuklah. Nanti kamu akan tahu," Umi berkata pada Fahira dengan lembut.
Sang umi tidak ingin putrinya mengingat kembali akan hal itu. Karena semuanya sudah berubah, sudah sepantasnya bagi Fahira untuk berdamai dengannya.
Fahira menarik napasnya, dia berusaha untuk menguatkan diri masuk kedalam. Meski dia adalah Flower 1 seorang agen rahasia tetapi dirinya masih memiliki satu kelemahan yaitu menghadapi keluarganya.
Ada dua hal yang menyebabkan dirinya tidak bisa kembali ke rumah. Pertama adalah peristiwa yang terjadi beberapa tahun yang lalu di saat dia baru memulai sebagai agen rahasia. Yang kedua adalah keluarganya merupakan kelemahannya.
Dia pun masuk ke dalam ruangan itu, terlihat seorang wanita yang sedang terbaring di atas tempat tidur. Wanita itu terlihat sangat lemah, wajahnya terlihat pucat.
"Kak Almira ...," panggil Fahira yang melihat sang kakak terbaring lemah.
Langkah kakinya di percepat untuk mendekat pada sang kakak. Fahira tidak tahu apa yang sudah terjadi pada wanita yang dulunya selalu ceria.
"Apa yang terjadi padamu, Kak?" tanya Fahira lirih tepat di samping sang kakak.
Almira membuka kedua matanya dengan perlahan karena dia mendengar suara yang sangat dirindukannya. Dia merindukan sang adik yang sudah lama tidak kembali ke rumah.
"Akhirnya kamu kembali," ucap Almira dengan nada lirih.
Dia berusaha untuk tersenyum meski tidak memiliki tenaga untuk hal itu. Almira berusaha untuk menguatkan dirinya karena sang adik yang baru saja kembali.
"Tidak perlu, Kak. Tetap berbaring saja," ujar Fahira pada sang kakak karena melihatnya berusaha untuk duduk.
Almira pun tetap berbaring, dia kembali menatap sang adik. Teringat akan kejadian yang membuat sang adik harus pergi dari rumah.
"Maafkan kakakmu ini ... maaf karena sudah membuatmu harus memilih itu," Almira berusaha sekuat tenaga untuk meminta maaf.
"Kamu tidak perlu meminta maaf padaku, Kak. Semua itu harus terjadi ... lagi pula aku harus menyelesaikan studiku di Jepang," jawab Fahira untuk mengalihkan pembicaraan.
Almira terbatuk-batuk dan itu terlihat sangat menyakitkan. Dia merasa tidak tega melihat semua itu, sang umi langsung mengajak Fahira ke kamarnya untuk beristirahat.
"Almira, kamu istirahat dulu," ucap umi seraya perintah baginya dan juga Fahira.
Fahira berjalan keluar tetapi dia menghentikan langkahnya dan kembali berbalik lalu menatap sang kakak. Dia ingin tahu apa yang sudah terjadi pada wanita yang dulu selalu ceria itu.
Umi menarik tangan Fahira untuk memberi tanda agar segera keluar. Dia tidak ingin melihat kedua putrinya menangis karena melihat keadaan seperti ini.
"Kamu istirahatlah dulu, sore abimu sudah pulang. Kamu bisa bertemu dengannya," ucap umi pada Fahira.
Fahira mengangguk lalu berjalan menuju sebuah ruangan di mana ruangan itu adalah kamarnya. Dia membuka pintunya, dilihatnya sekeliling ruangan kamar lalu dia menutup rapat pintu kamarnya.
"Semuanya masih sama. Tidak ada yang berubah," gumam Fahira sembari berjalan dan menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur.