Fahira berjalan tepat di samping umi sedangkan Almira selalu ingin berada di samping abi. Itu sudah menjadi kebiasaan setiap kali mereka menghadiri sebuah undangan.
Meski sesekali sang abi ingin memperkenalkan Fahira tetapi dengan cepat Almira bisa menghilangkan rencananya. Entah mengapa Almira begitu tidak menyukai Fahira berada di depannya.
Namun, bagi Fahira melihat senyum umi dan abi itu sudah membuatnya merasa senang. Dia tidak peduli dengan apa yang diinginkan sang kakak.
"Um ... Fahira mau ke toilet sebentar ya," Fahira berkata pada sang umi.
Umi mengangguk seraya memberikan izin pada Fahira untuk pergi ke toilet. Setelah mengantongi izin sang umi, dia pun bergegas berjalan menuju toilet.
Fahira merasakan ada sesuatu yang mencurigakan, dia merasa ada seseorang yang selalu mengawasi dirinya. Tingkat kewaspadaan yang mulai meningkat.
"Apa mereka sudah mengetahui aku?" gumam Fahira sembari terus berjalan memasuki toilet.
Dia menatap cermin di dalam toilet lalu berpikir bagaimana caranya untuk dia secepat mungkin pergi dari Indonesia. Fahira ingin pergi sejauh mungkin agar semua keluarganya tidak mendapatkan masalah karena pekerjaannya.
"Apa yang sedang kau rencanakan?" tanya seseorang yang baru saja masuk ke dalam toilet.
Orang itu tidak lain adalah Almira, dia berdiri di samping Fahira sembari merapikan riasan wajahnya dan juga hijabnya. Dia melirik Fahira yang berada di sampingnya.
"Aku sarankan padamu jangan mencari masalah bagiku. Kau tahu apa yang bisa aku lakukan bukan?" Almira kembali berkata pada Fahira dengan nada mengancam.
"Aku pikir kau sudah berubah. Namun, semua yang kau katakan waktu itu hanya sandiwaramu saja," timpal Fahira sembari menatap Almira.
Almira terkekeh, dia mengatakan jika dirinya tidak akan pernah berubah sebelum semua yang diinginkannya tercapai. Sekarang sang abi sudah tidak bisa berkutik apabila dirinya sudah mulai bertindak.
"Sebenarnya apa yang kau inginkan dariku? Bukankah kau sudah memiliki semuanya. Termasuk dia ...," tanya Fahira yang tidak mengerti dengan sang kakak.
"Aku tidak ingin kau mendapatkan lebih dari yang aku punya termasuk calon suami!" jawab Almira sembari menunjukkan jarinya ke arah dada Fahira lalu dia berjalan meninggalkan sang adik.
Fahira menghela napasnya, dia tidak mengira sang kakak bisa berkata seperti itu. Padahal selama ini dirinya tidak pernah berebut sesuatu dengannya. Dia selalu mengalah dengan sang kakak semua itu demi ketenangan hidupnya.
Setelah selesai merapikan hijabnya Fahira berjalan ke luar dari toilet. Dia melihat seorang pria yang sedang beradu argumentasi dengan seorang wanita.
Fahira hendak melewati mereka tetapi tidak bisa kerena tubuh sang pria menghalangi langkahnya dan tidak mau mengubahnya. Sehingga dia terpaksa melihat drama yang membosankan itu.
"Mengapa kau melakukan semua ini padaku? Bukankah kita sudah berjanji untuk memulainya dari awal lagi?" ucap wanita itu dengan nada memohon.
"Semuanya sudah berakhir dan aku sudah menyetujui pilihan ayahku untuk menikah dengannya!" jawab pria itu sembari menarik tangan Fahira.
Fahira membelalakkan kedua matanya, dia tidak mengerti mengapa pria itu mengatakan jika dirinya salah wanita yang dipilihnya. Sedangkan dia benar-benar tidak mengenalnya sama sekali.
Wanita itu menatap Fahira dengan tatapan tajam dan melihat dari atas ke bawah dan kembali ke atas lagi. Dia melihat Fahira adalah wanita yang cantik dan sesuai dengan keinginan orang tua pria yang sudah di pacarinya selama beberapa tahun.
"Semoga kalian bahagia," Wanita itu berkata sembari pergi meninggalkan Fahira dan pria itu.
"Lepaskan aku! Jika tid—,"
"Semoga kita tidak bertemu lagi!" sela pria itu sebelum Fahira melanjutkan kata tidak dan berlalu begitu saja.
Fahira menggelengkan kepalanya, dia berharap tidak bertemu dengan pria yang sangat menyebalkan itu. Karena baginya pria yang tidak bisa memperjuangkan cintanya hanya akan membuat dirinya menderita.
Terlebih lagi untuk saat ini dirinya tidak memikirkan untuk menikah karena pekerjaannya sebagai agen rahasia. Yang menuntutnya untuk selalu menyembunyikan semua identitasnya.
Dia menggerutu di dalam hatinya, mengapa hari ini begitu banyak hal yang membuatnya kesal. Dari sang kakak yang begitu egoisnya hingga pria tidak tahu malu yang menarik tangannya dan mengatakan jika dirinya adalah pasangannya.
Fahira kembali memasuki ruang acara, kedua matanya menyapu seluruh ruangan untuk mencari keberadaan sang umi dan abi. Dia tersenyum saat melihat seorang wanita paruh baya melambaikan tangan padanya, wanita itu tidak lain adalah sang umi.
Dia berjalan mendekat pada sang umi yang sedang berbicara dengan temannya. Fahira memberikan salam pada teman sang umi lalu dia hanya diam menemani uminya.
Terlihat Almira yang sedang berjalan mendekat, dia terlihat sangat senang. Entah apa yang sudah terjadi pada sang kakak sehingga terlihat bahagia.
"Rupanya semuanya sudah ada di sini," ucap seorang pria paruh baya dan di samping ada abinya Fahira.
"Bagus. Kalau begitu kita ke ruangan sebelah agar tidak terlalu bising," sambung wanita paruh baya yang sedari tadi berbicara dengan uminya Fahira.
Mereka pun berjalan menuju sebuah ruangan, di sana terdapat satu meja bundar yang cukup besar. Serta ada beberapa kursi yang sudah tertata rapi. Satu per satu dari mereka duduk di kursi yang sudah di siapkan.
Pembicaraan pun di mulai, Fahira tidak terlalu memperhatikan apa yang sedang dibicarakan oleh kedua orang tuanya. Karena yang ada di benaknya kali ini adalah memikirkan alasan untuk pergi dari rumah.
"Bagaimana kau menyukainya?" tanya umi pada Almira yang terlihat begitu senang.
Fahira terbangun dari lamunannya, dia melihat sesosok pria yang tadi bertemu dengannya. Terdengar suara lembut Almira yang mengatakan jika dirinya setuju dengan apa yang sudah dipilihkan oleh umi dan abi.
"Apa kau serius ingin menikah dengan pria seperti itu?" celetuk Fahira.
Dia langsung membungkam mulutnya, mengapa dia bisa langsung berkata seperti itu. Semua mata tertuju padanya dan begitu banyak pertanyaan yang muncul yang diarahkan padanya.
"Sayang, mengapa kamu berkata seperti itu?" Umi bertanya pada Fahira agar semua orang berhenti menatap sang putri.
"Mungkin dia menyukai aku tetapi aku tidak suka wanita sepertinya!" sambung pria itu dengan nada sombong.
Fahira menatap pria itu dengan saksama, entah mengapa pria itu tidak mirip dengan kedua orang tuanya yang terlihat begitu kental dengan agama. Dari segi bicara pun terlihat jelas jika pria itu sangat sombong.
"Fahira ... jika kamu menginginkannya katakan saja. Aku bisa mengalah dan melepaskannya," Almira berkata dengan lemah.
Almira mulai memainkan dramanya agar terlihat seperti wanita yang lemah. Wanita yang bisa berkorban demi sang adik. Namun, kenyataannya semua itu palsu dan sandiwara saja.
"Hentikan sandiwaramu itu! Sampai kapan kau akan membuatku seperti seorang adik yang jahat? Aku sudah memberikan semua yang kau inginkan termasuk Alam!" tukas Fahira yang sudah tidak bisa menahan lagi kelakuan sang kakak.
"Alam ... apakah yang kamu maksud adalah Alamsyah?" ucap pria itu dengan nada selidik.