"Kau datang ke perusahaan ayah?" tanya Yoon Gi saat melihat pakaian yang Woo Sik kenakan adalah pakaian kantornya sendrii, Yoon Gi bangun dari duduknya memilik memeluk adik iparnya.
Adik ipar yang sudah lebih dulu memiliki anak darinya walapun pernikahannya dengan Su Ri dilakukan lebih dulu.
"Ya, kakak apa kabar?" tanya Woo Sik menerima pelukan erat dari kakak iparnya dengan dalam dan nyaman sekali.
"Aku baik, kau. Apa kabarmu?" tanya balik Yoon gi membuat pria dewasa itu menganggukkan kepalanya pelan.
"Aku baik-baik saja," jawab Woo Sik cepat dan menaikan satu alisnya pelan. "Dan Tae Jung juga baik-baik saja," sambungnya, Yoon Gi merasa begitu bersalah, dia tidak tahu apa yang dia rasakan, hanya saja dia mengakui jika yang membuatnya merasa begitu menyebalkan dan kurang menyenangkan untuknya, Woo Sik akan terus membantu.
"Apa dia tumbuh dengan tampan? Aku kau memegang wajahnya?" tanya Yoon Gi terlihat begitu miris sekali, dia menghela nafasnya berat. Tidak ada yang bisa diharapkan dari pria bodoh sepertinya, tidak bisa menyelamatkan anaknya dari jeratan ayah mertuanya, lalu pertengkaran keduanya.
"Aku menyerah, aku tidak bisa hidup tanpa anakku, dan ku pikir kau juga seharusnya melakukan hal yang sama denganku."
"Berdamailah dengan Tae Jung seperti aku berdamai dengan anakku," ucap Woo Sik menyarankannya pada Yoon Gi, hanya saja pria lebih dewasa itu memilih menggelengkan kepalanya pelan.
"Belum ada didalam kepalaku," jawab Yoon Gi cepat, keduanya mulai duduk di satu ruangan kecil dimana di sana bisa melihat kepadatan kota yang mulai panas karena waktu, Yoon Gi melirik adik iparnya yang sedang mengambil beer beralkohol 5% dari tempat yang Yoon Gi sengaja sediakan untuk dirinya sendiri.
"Kau egois Kak, aku tahu aku egois, hanya saja untuk anakku. Aku siap mengalah dan memberikan jantung dan nyawaku untuk membuatnya tetap hidup. Sudah limabelas tahun kan? Kau tidak merindukan anakmu?" Bohong dan bodoh.
Bagaimana seorang ayah tidak merindukan anaknya? Bagaimana bisa seorang ayah hanya perduli pada pekerjaannya tanpa ingin bertemu dengan anaknya? Maaf, itu tidak mungkin.
Bukan ego yang membuat Yoon Gi merasa harus menjauh dari anaknya. Melainkan keadaan, keparat orang lain memikirkan siapa yang paling egois, hanya dia dan ayah mertuanya yang tahu segalanya.
Musuh adalah teman terdekat yang pernah hidup bersama. Apa kalian mempercayai ini?
"Berhenti menceramahiku, sebab kau tidak tahu apapun dan ku yakin kau juga tidak tahu apa yang sedang ku lakukan," jawab Yoon Gi dingin dengan tatapan tajam menatap ke kaca bangunan dimana sebagain tembus pandang untuk melihat ke bawah karena kesal.
"Kak."
"Aku mengalah untuk anakku karena beberapa hal," celetuk Woo Sik kembali berbicara mengenai hal prnting yang jauh lebih serius dari sebelumnya.
"Apa?" Woo Sik menaikan satu alisnya pelan. "Aku tidak akan membuat anak lagi, istriku tidak akan melahirkan lagi, apa yang kau pikirkan soal keturunan dan tanggung jawab, Kak?" Yoon Gi menyatukan alisnya pelan, dia bertanya, tidak perduli dan malas.
"Apa yang berusaha kau katakan padaku?" tanya Yoon Gi yang saat itu tidak bersahabat dengan apa yang sedang Woo Sik berusaha katakan padanya.
"Kehidupan yang damai dan abadi, kau pikir aku mengalahkan ego ku untuk Ji Kang karena apa?"
"Aku ingin tahu, aku ingin memberinya contoh yang lebih baik lagi. Dia harus hidup lebih bahagia dariku, dia harus mencintai wanita dewasa atau sama rata agar dia tahu dan paham bagaimana caranya menurunkan ego nya."
"Kak, tidak ada yang bisa memberi contoh baik selain orang tua. Aku mencontoh orang tuaku, melihat bagaimana ayah mertua memperlakukanku begitu buruk dan egois. Aku hanya tidak ingin Ji Kang mendapat sikap egois dan keras kepala keturunan dari ayah. Hanya si brengsek Go Hyung yang terus merusak kehidupan anakku. Aku membencinya bagaimana si sialan itu merusak mental dan isi kepala anakku," jelas Woo Sik pada kakaknya apa yang akhir-akhi ini dia pikirkan.
Kalah di depan anak sama sekali bukan masalah besar, yang menjadi masalah adalah saat oramg tua gagal membuat hidup anaknya jauh lebih bahagia dari orang tuanya. Itu bencana.
"Masalahmu ada pada Go Hyung, tapi masalaku bukan seperti itu," tolak mentah-mentah dari Yoon Gi yang saat itu membuat Woo Sik terkekeh.
"Kau, Tae Jung dan anakmu yang lain. Kau membiarkan anak terkecilmu bahagia dan mendapatkan apapun yang dia inginkan dengan membiarkan anak tertuamu diinjak-injak begitu saja?"
"Kau ayah paling bodoh, kak."
○○○
"Pulanglah," titah Yoon Gi pads Woo Sik begitu keduanya menghabiskan hampir tiga jam berbicara mengenai masalah keluarganya satu sama lain, Woo Sik menganggukkan kepalanya pelan.
"Kau mengingat semua pembicaraan ini dengan baik kan, kak?"
"Jangan gegabah dengan melakukannya sendiri, aku yang memimpin bukan berarti aku yang bodoh," balas Yoon Gi membuat Woo Sik menganggukkan kepalanya pelan, keduanya berdiri bersama, saling memeluk dan melepas segala beban mereka satu sama lain dengan kelelahan bekerja satu sama lain sebagai kepala keluarga yang dominan.
"Ku tunggu kau di mansion, Kak Yoon Gi," balas Woo Sik membuat yang dipamiti menggelengkan kepalanya cepat menolaknya dengan mudah.
"Tidak kali ini," jawab Yoon Gi membiarkan adik iparnya berjalan menjauh keluar dari ruangannya. Woo Sik keluar, dia tidak meninggalkan apapun, saat membuka pintu ruangan kakak iparnya dia melihat wajah Tae Hyun yang terlihat terkejut akan sesuatu yang sejak tadi dia lakukan.
"Oh, kau. Apa kabar Tae Hyun," ucap Woo Sik menanyakan kabar keponakannya yang lain, Tae Hyun melihat Woo Sik pelan dan berjalan menjauh dari pamannya.
Masuk, tidak ada balasan dari sapaan pamannya sama sekali. Tae Hyun memang sesuatu, dia takut pada anak pamannya, hanya saja dia juga sangat berani pada pamannya.
Seperti Tae Hyun sangat menurut pada ayahnya namun sangat sulit diatur oleh kakaknya. Sebuah keharusan yang seimbang yang perlu atau tidaknya diperjelas hanya saja itu terlihat begitu nyata. "Astaga, apa dia masih berpikir jika aku menyayangi Tae Jung saja?" gumam Woo Sik berjalan menjauh meninggalkan perusahaan kakak iparnya.
Dia harus pulang, berbicara pada istrinya, dan akan mulai sibuk mengurus perusahan ayah mertuanya. Tidak ada yang perlu diperjelas, hanya saja bagi Woo Sik seseorang perlu tahu segalanya.
"Ayah bertemu dengan paman Woo Sik? Dia datang sendiri atau ayah yang memanggilnya? Bukankah sudah ku katakan jika dia jangan sampai datang ke sini lagi karena--"
Mata tajam Yoon Gi menutup omelan yang keluar dari mulut anaknya. "Berhenti mengoceh dan tutup mulutmu!" Yoon Gi mengintrupsi anaknya, dia sedang pusing sekarang.
Berbicara dan membahas dendam anaknya terhadap orang lain hanya akan membuat kepalanya semakin pusing, bisa juga pecah jika Yoon Gi menanggapi anaknya.
Tae Hyun menatap kaleng kosong yang sudah ayah dan pamannya nikmati, Tae Hyun terkekeh begitu melihat cukup lama keduanya berbicara. "Bagian mana yang harus ku perbaiki dengan cara melihatku terhadap paman Woo Sik?" tanya Tae Hyun begitu saja, pertanyaan keluar dari mulutnya membuat Tae Jung tertekan sedikit.
"Ayah dan pamanmu baik-baik saja, tidak ada beban dan dendam diantara ayah dan pamanmu. Jadi ayah mohon--" Tae Hyun melarang ayahnya untuk menjelaskannya lebih jauh, dia melirik sinis kaleng tadi dan memutar bola matanya malas.
"Ku pikir ayah menyayangiku dengan tulus, ternyata tidak." Tae Hyun berjalan mendekat ke ayahnya dengan posisi berdiri sejajar dnegan ayahnga yang sedang duduk di kursinya. "Kenapa kau mengatakan itu?" tanya Yoon Gi menyadari jika kebencian Tae Hyun menjadi membesar.
"Selain Kak Tae Jung menyukai kakek, haruskah paman dan ayah juga hanya memilih menyayangi Kak Tae Jung saja?" tanya Tae Hyun meminta jawaban pada ayahnya, ayahnya peduli padanya. Tapi kenapa semakin hari semuanya semakin rumit saja?
"Kenapa semua manusia di dunia ini terlihat begitu munafik, mereka melihat Kak Tae Jung dengan baik dan menjelek-jelekkan ku bahkan saat aku tidak mengatakan apapun. Ini tidak adil, ayah." Yoon Gi terdiam, dia tidak bisa mengatakan apapun, bingung tidak bisa menjelaskan segalanya dengan cepat.
"Percaya pada ayah kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan, ayah janji padamu Tae Hyun." Tae Hyun memutar bola matanya meremehkan ayahnya untuk yang kesekian kalinya.
'Kau yang mengatakannya sendiri dan kau sendiri yang kewalahan, berhenti menebar janji. Ayah benar-benar sialan.'