"Ikuti saja apa kata ayah." Yoon Gi terus meminta apapun dan memerintahkan apapun yang menurutnya benar untuk Tae Hyun lakukan.
Ini aneh, sangat membuat Tae Hyun merasa begitu kesal dan marah. "Apa maksud ayah? Ayah memintaku datang ke mansion kakek dan mendapat marah dari kak Tae Jung lalu mendapat kebencian lagi?"
Yoon Gi terdiam, apa dia terlihat begitu kejam? Apapun yang Tae Hyun inginkan selalu Yoon Gi turuti, dan saat Yoon Gi menginginkan sesuatu, kenapa seperti ini jawaban yang dilempar padanya?
Tae Hyun anak sialan!
"Apa ayah terlihat begitu jelas menginginkan itu? Ayah hanya ingin kamu membenci kakakmu, lebih baik berbaikan dengan cara kamu datang, membantu perusahaan kakekmu dan--" Tae Hyun memutar bola matanya malas.
Dia benci. Kenapa harus ucapan ini yang keluar dsri mulut ayahnya? Dan kenapa harus semacam ini yang keluar dan menyakiti hati dan perasaannya lagi?
"Apa ayah tahu?" tanya balik Tae Hyun meminta sisi sempit agar Tae Hyun bisa menjelaskan sesuatu. Meminta apa yang dia inginkan sejak dulu, dan mempertanyakan perasaan dan perannya.
"Apa yang ayah lewatkan?"
"Ayah terus menekanku, meminta banyak hal padaku, melakukan ini dan itu untukku dan tentangku, apakah ayah tidak sadar jika yang sedang ayah lakukan padaku menyakiti perasaanku?" tanya balik Tae ahyun yang terlihat begitu tertekan dan tidak nyaman, dia memuntahkan segalnya.
"Setahu ayah kamu selalu bisa diandalkan, anak paling pintar dan cerdas, penurut pada ayah dan yang paling ayah sayangi. Apa kamu keberatan dengan semua kasih sayang ayah?" Pertanyaan konyol itu keluar begitu saja, Tae Hyun terdiam. Dia kembali memikirkan ucapan dari ayahnya dengan serius, kali ini sama, dengan jawaban yang sama dan pemikiran yang sama.
"Bisa cintai aku dengan cara yang aku inginkan, ayah?" tanya Tae Hyun terkesan tidak nyaman dan suka, dia begitu dominan diam dan tidak suka akan sesuatu, yang membuat Tae Hyun terlihat begitu tidak senang hanya beberapa hal yang tidak keluar dengan baik.
"Apa maksudmu? Kamu tidak suka dengan cara--"
"Aku suka!" jawab Tae Hyun meninggikan suaranya menjawab apa yang ingin ayahkan padanya. "Aku hanya--"
"Sudahlah Tae Hyun, kau benar-benar membuat ayah pusing," potong Yoon Gi membuat Tae Hyun memendam segalanya sendiri, dia menghela nafasnya berat dan menundukkan kepalanya pelan.
Miris ya?
Segalanya Tae Hyun lakukan, menjadi bodoh, tidak tahu apapun, tidak bisa melakukan apapun, menjadi sangat tidak berguna dan boneka dengan tubuhnya.
Semua ini demi ayah, demi ayahnya yang mengatakan semua ini kasih sayang, rasa iri tentu saja ada. Tae Hyun bukan iri pada kakaknya yang mendapat harta warisan lebih banyak dan kepercayaan juga dari kakek mereka.
Yang membuat Tae Hyun iri pada kakaknya hanya ayahnya. Iya, ayahnya sendiri.
Cara Yoon Gi memberikan segalanya yang dia miliki pada anaknya itu terkesan tidak bahagia. Ada beberapa hal yang bisa diperjelas dalam satu waktu, hanya saja Tae Hyun tidak bergerak.
Sepertinya ayahnya benar-benar sudah gila.
"Ayah," panggil Tae Hyun membuat Yoon Gi menaikan wajahnya melihat anaknya yang memanggilnya. "Apa ayah tidak lelah memperlakukanku seperti ini? Aku lelah." Jujur Tae Hyun membuat Yoon Gi terkekeh kecil, dia menggelengkan kepalanya tidak menjawab apapun.
Yoon Gi begitu paham akan anak keduanya, dia tahu jelas jika yang sedang berusaha Tae Hyun katakan hanya mengenai hidupnya dengan kakaknya.
Kim Tae Jung yang beruntung. "Istirahatlah Tae Hyun," perintah Yoon Gi pada anaknya tidak memaksakan sesuatu, Tae Hyun mengangguk. Dia memilih berjalan keluar menuju ruangan ayahnya.
'Andai aku adalah Kak Tae Jung yang ayah benci dan mendapat semua kasih sayang yang ayah maksud dengan kebencian. Pasti aku sangat bahagia, ayah.' Sial, Tae Hyun mengadu pada dirinya sendiri.
○○○
"Jadi pemiliknya juga mati terbakar?" tanya Tae Joon saat menemui dewan tanah karena ingin menanyakan keadaan tahan, siapa pemiliknya dan apakah bisa mendpaatkan infomasi lebih jelas dari yang dia dapatkan sedikit sekali.
"Ya. Kami sudah mendapatkan hasil otopsinya juga, walaupun sebagian hilang lenyap kami sudah memperjelas ke kantor polisi sekitar untuk mendapatkan infomasi lebih lanjut. Pemiliknya mati terbakar, tuan." Na Ra terdiam, firasatnya bagus, dia yakin jika anaknya masih hidup, tapi kenapa harus sesulit ini? Dan kenapa harus sangat sulit mendapatkan informasi mengenai anaknya.
Putrinya, putri kecilnya Gwang Eun Ra.
"Apa aku bisa mendapatkan informasi lebih jelasnya? Maksudku mengenai pemilik tanahnya, bisakah aku mendapat informasi pemilik tanah tersebut, salah satu keluarganya?" tanya Tae Joon yang merasa dia masih butuh kejelasan yang masih sangat minim sekali.
Seharusnya Tae Joon harus mendapatkan satu, setidaknya dua untuk bertemu dengan pemilik tanah, atau keluarganya.
Pria dewasa yang sudah menetap bekerja sebagai dewan tanah menggelengkan kepalanya pelan, matanya menatap serius pada Tae Joon untuk menjawab sebagai ketegasan.
"Pihak kami tidak tahu, selain pemilik tanah tersebut bukan orang asal Korea dan dia hanya tinggal dan pindah kewarganegaraan korea kami masih tidak tahu siapa keluarganya."
"Dia datang sendiri, tidak menikah, dan tidak melampirkan keluarga yang ikut berpindah kewarganegaraan juga bersamanya. Jadi aku rasa tuan tidak perlu memperjelas soal pemilik tanah tersebut," sambung pria tadi menjelaskan, alis Tae Joon menyatu pelan tidak tajam, namun Na Ra bisa melihat aura suaminya menjadi sangat gelap.
"Apa kau sedang mempermainkanku?" tanya Tae Joon membuat pria tadi terkejut dengan pertanyannya, Na Ra mengelus tangan suaminya yang mulai tidak bisa menahan kemarahannya.
"Bagaimana bisa dewan tidak tahu satu keluarga pemilik tanah atau--"
"Maaf tuan, jika kau hanya ingin menyalahkan kami kau salah tempat. Kami melakukan pelayanan dengan baik dan benar, kami mendapat pembayaran dengan tepat dan cepat, dan kami rasa kau tidak ada hak untuk mengatakan banyak hal yang menurut kau benar sendiri." Sial, Tae Joon mengeratkan tangannya begitu dominan, kemarahannya sampai melebihi kepalanya. Dia marah, kecewa dan merasa dipermainkan.
"Biarkan aku bertemu dengan--"
"Limabelas menit lagi kantor tutup, bisa tuan dan nyonya menyelesaikan pengaduan kalian? Pelayanan kami sudah baik dan tidak melebih-lebihkan, semua berkas dan barang bukti sudah kami keluarkan semua, apa yang membuat tuan merasa tidak puas?" Tae Joon menatap tajam mata pria tadi dan mengeratkan tangannya pada istrinya, bahkan Na Ra hampir meringis karena kesakitan.
"Bisa aku tahu siapa namamu, tuan?" tanya balik Tae Joon ingin menandai orang yang sedang bebricara dengannya.
"Kim Han Bin. Bisa kau cari disemua situs resmi tuan, aku tidak pernah melebih-lebihkan pekerjaan dan fakta yang aku tahu tuan, jadi dengan sangat berberat hati aku hanya ingin tuan menyelesiakan pengaduan kalian." Tae Joon menganggukkan kepalanya pelan, dia berdiri dan mulai berjalan menjauh dari tempat itu.
"Aku tandai kau, Kim Han Bin." Tae Joon pergi berjalan meninggalkan ruangan pengaduan dewan tanah dan memilih keluar menuju mobilnya untuk pulang.
"Tenanglah, sayang." Suara Na Ra yang lembut membuat Tae Joon terkekeh kecil mendengarnya, tangannya mengerat dan menarik keeras membawa Na Ra cepat-cepat ke mobil.
"Jika bukan karena kau gegabah, aku yakin putri kita juga masih hidup dan besar di keluarga kita. Kau benar-benar egois, Na Ra." Rahang Tae Joon mengerat karena kemarahannya, pria yang lembut dan selalu memberikan segalanya pada istrinya menjadi sangat kehilangan kesabaran.
Anaknya meninggal, dan sekarang dia harus berusaha mencari anaknya yang dibawa oleh adiknya? Masih sangat untuk adiknya mau mengurusnya, masih mau menghidupinya dan mau menjaga anaknya sampai hidup di tahun ini. Jika tidak?
Apa Na Ra akan perduli jika anak kesayangannya tidak mati? Tentu saja tidak!
"Sudah aku bereskan, tuan." Pria yang bekerja sebagai dewan tanah menghubungi seseornag melalui sambungan telefon. "Bagus."
"Uangnya akan ku kirimkan hari ini, Han Bin." Seseorang yang berada di sambungan telefon itu menyesap rokoknya dengan dalam.
"Terimakasih, tuan."
Lagi-lagi seseorang benar-benar bermain cerdik sekarang.
"Ngomong-ngomong, apa anak dari keluarga tadi sudah pergi dari tempat pelelangan itu?" Sial, hubungan mereka terlalu baik sampai satu sama lain saja tahu kabar dan kebahagiaan hidup seseorang.
"Apa kau pikir aku sebodoh itu? Tentu saja sudah."