Bila hujan adalah rindu dan rindu itu kamu, aku rela dijatuhinya dan basah.
Walau tetesannya tidak dapat kugenggam, namun aku bisa merasakan setiap rintiknya.
Begitu juga denganmu.
Walau kamu jauh, tidak bisa kuraih, tidak bisa kudekap.
Namun hatiku selalu bisa merasa, bayangmu selalu menyelimuti hati ini.
Seraya tidak rela beranjak, atau aku yang tidak rela kamu tinggal.
Semoga rindu ini menguatkan kita. Sampai nanti, sepasang matamu terpaku memandangku. Dan aku juga begitu.
Walau hangatmu jauh di sana, tidak mengapa. Karena namamu sangat dekat dan melekat di hatiku.
Aku yang sakit karna rindu.
Isi coretan tangan yang ditulis Gita sebagai ungkapan rindunya. Beberapa bulan Barra pergi, Gita berubah menjadi pendiam dan lebih sering menyendiri di kamar atau melamun di atas pohon di depan rumahnya.
Kesehariannya hanya dilakukan untuk ibadah, berbakti kepada orang tuanya dan sekolah. Sangat terasa seperti senyum yang dimilikinya terbawa Barra di sana.
Lambat laun, masing-masing dari mereka mulai bisa menerima jarak yang terbentang. Barra terus mulai sibuk dengan pekerjaannya, dan Gita disibukan dengan ujian kelulusannya.
Bukan sudah tidak merindu, namun setiap kali berkomunikasi seperti itu semakin mengingatkan mereka bahwa ada tembok yang berjarak hadir di antara mereka. Yang seakan terus mengingatkan 'kamu tidak di sisiku' di hati masing-masing.
"Assalamu'alaikum cinta. Semoga hari ini kamu lulus, ya! Aamiin," sapa Barra pada pesan singkat yang dikirim ke ponsel Gita.
Hari ini adalah hari pengumuman kelulusan di sekolah Gita. Sebelum berangkat kerja selalu disempatkan Barra untuk menyapa kekasihnya. Begitu juga sebaliknya. Mereka mengawali hari dengan ungkapan sayang walau jauh.
"Wa'alaikumsalam, Aamiin. Semoga Gita lulus, Mas. Selamat bekerja juga, sayang! Semoga hari ini menyenangkan!" balas Gita merekahkan senyumnya.
Pagi ini di sekolah Gita dan Fajar nampak ramai tidak seperti biasa. Para orang tua mendampingi anak-anak mereka menyaksikan hari kelulusan Sekolah Menengah Pertama mereka.
Tidak terkecuali orang tua Gita dan Fajar yang ikut hadir. Kebetulan, Surya sedang cuti jadi ia membawa mobil dinas kantor untuk membawa keluarganya ke sekolah.
Acara demi acara berlangsung dengan hikmat. Beberapa saat juga riuh dengan tepuk tangan para orang tua yang menyaksikan pertunjukan yang anak-anak mereka tampilkan.
Sampai pada acara puncak, pembagian surat lulus atau tidaknya putra-putri mereka di ujung tahun pelajaran ini. Satu persatu nama siswa siswi dipanggil sesuai abjad dari kelas masing-masing.
Tiga Dara juga ada. Gita, Dian, dan Anti sudah menerima surat di tangan mereka. Penasaran dengan hasil belajar mereka beberapa bulan sebelumnya, mereka membuka secara bersamaan.
Bukan tidak yakin mereka akan lulus, malahan mereka sudah berasumsi pasti mereka lulus, dan nyatanya benar! Tiga Dara itu lulus dengan hasil yang sangat memuaskan.
Kemeriahan dan sorak sorai siswa siswi terdengar riang dimana-mana. Gita, Dian, dan Anti juga nampak gembira namun tidak terlihat heboh, mereka lebih tenang menanggapi kesenangan mereka.
Setelah pembagian surat kelulusan, dibacakanlah peringkat kelas oleh wali kelas masing-masing. Di situlah tiga gadis itu cemas sambil mengeratkan genggaman tangan mereka.
"Ayo, Girls! Kita lihat siapa yang menang!" ucap Anti yang berada di tengah membelah konsentrasi mereka, yang kemudian mendapat anggukan dari kedua temannya.
"Pengumuman juara kelas Delapan-Dua. Juara ketiga, jatuh kepada anak kami, Putri Diandra!" disusul tepuk tangan dari teman sekelas mereka.
"Yes!" ucap Gita dan Anti secara bersamaan. Dan Dian hanya berucap pasrah,
"Alhamdulillah. Udah kerenlah itu," sambil tersenyum ikhlas.
"Juara kedua, jatuh kepada anak kami, Anti Cristy!" sorak dan tepuk tangan kembali terdengar.
"It's okelah, turun satu peringkat, daripada Dian, hihihi!" ujar Anti yang menjulurkan lidah ke arah Dian.
Dan membuat Dian sewot, "Biarin!" ketusnya.
"Dan juara pertama jatuh pada anak kami, kira-kira siapa, ya? Ada yang tahu?" ucap Bu Guru menggantung kalimatnya dan malah bertanya kepada murid lain.
"Gita, Gita, Gita!" sorak teman-teman sekelas mereka yang sudah hafal akan kemana juara itu jatuh.
"Ya! Juara pertama jatuh pada anak kami Gita Prameswari!" kalimat terakhir sang guru mendapat sorak dan tepuk tangan yang lebih meriah dari penontonnya.
"Untuk anak-anak cerdas kami, diharapkan maju ke depan untuk menerima tropi dan piagam serta hadiah dari wali kelasnya masing-masing!" terdengar MC memberi pengumuman.
Dari deretan kursi yang disediakan pihak sekolah untuk orang tua, nampak ibu dari ketiga gadis itu bersalaman dan saling memberi selamat. Begitu juga para ayah. Perasaan yang tidak lagi asing setelah sekian tahun menyaksikan putri-putri mereka merebutkan posisi juara kelas.
***
"Jadi kita pisah di sini?" pertanyaan Gita membuat Dian dan Anti memandangnya secara bersamaan. Dipandangnya wajah kedua sahabat di depannya itu, dengan mata berkaca-kaca, dirangkulnya Dian dan Anti lalu langsung menangis di pelukan mereka. Bersama dua sahabatnya itu, membuat Gita melupakan kesedihan saat ditinggal Barra.
"Dian, memangnya kamu enggak bilang Gita kita mau sekolah bareng lagi?" tanya Anti pada Dian yang mendapat gelengan dari Dian. Mendengar bisik-bisik temannya itu, Gita mendongakkan kepalanya bingung.
"Eh, kalian ngerjain aku, ya? Kita barengan lagi, nih?" tanya Gita tidak percaya.
"Yupss!" anggukan Anti lalu terlihat senyuman Dian tanda pembenaran.
"Ya Allah! Kalian tuh, ya! Bikin aku sedih duluan! Kalau tahu gitu ngapain aku nangis?" ucap kesal Gita pada sahabatnya namun dia tetap bahagia.
"Awas, nanti aku kena ingus Gita, hiih!" canda Anti seperti jijik.
"Jahat amat!" ketuk Gita sambil memukul pelan lengan Anti.
Seakan panggung hanya milik mereka bertiga, mereka menikmati saat-saat terakhir mereka di SMP. Tiga tahun kebersamaan mereka sudah melekat dan terikat bak saudara sendiri.
Tak lupa mereka berfoto sebagai kenangan masa SMP ini. Bersama orang tua mereka dan teman-teman yang lain juga. Tidak terkecuali Zaki, yang meminta izin mengabadikan momen berdua dengan Gita menggunakan ponselnya.
Malam hari, waktunya Gita mengistirahatkan tubuhnya setelah melewati hari yang penuh beragam emosi. Dipandangnya piala yang hari ini dia dapatkan.
'Kamu kenangan terakhirku di SMP. Dan bukti kerja kerasku melawan kesedihan. Di antara teman-temanmu, kamulah yang paling spesial!" Gita bergumam dalam hati sambil tersenyum.
"Kalau Mas Barra di sini, pasti kebahagiaan ini semakin lengkap!" ketikan kalimat yang disertai foto moment tadi siang, dikirim ke 'Calon Imam' nama yang ditunjukkan layar ponselnya.
Notifikasi balasan pesan terdengar setelah setengah jam. Dan Gita juga sudah tertidur kelelahan.
"Selamat ya ,Sayang. Mas bangga punya calon yang cerdas dan hebat kayak Gita. Mas mau telpon tapi pasti kamu sudah tidur. Mas juga baru pulang karena lembur lagi hari ini. Peluk cium Mas dari jauh. Mimpi indah, Gita sayang!" balasan pesan Barra yang dibubuhi emoticon hati berwarna merah.
'Selamat, Gita. Kamu berhasil melawan sedihmu di sana dengan prestasi yang meningkat. Mas juga akan berusaha sebaik mungkin di sini, untuk kamu, untuk kita," gumamnya sebelum memejamkan mata.
Bersambung...