"Oh, masih ingat rumah?" tanya Meika dengan sarkas.
Alena bungkam, kepalanya pun perlahan menunduk. Benar dugaannya, dia terlihat sangat marah. Sampai-sampai harus melempar pot ke anaknya sendiri.
"Ke mana aja kamu, hah?!" tanya Meika dengan meninggikan suaranya. Alena masih terdiam dengan menggigit bibir bawahnya.
"Kalau kamu nggak betah di rumah saja, silahkan kamu keluar!" ketus Meika. Alena hanya menggeleng lemah.
"Kapan Mama kembali seperti dulu?" tanya Alena dengan suara pelannya.
Meika sebenarnya mendengar ucapan Alena, namun ia mengabaikan dan terus menatap Alena dengan tajam.
"Jawab! Kamu bisu, hah?" tanya Meika dengan semakin ketus.
Meika berjalan mendekat Alena perlahan, tangannya mencengkeram kedua pipi Alena dengan kuat.
"Kamu punya mulut kan? Saya tanya, kamu dari mana?!"
"Mama?"
Kevan yang baru saja keluar kamar terkejut melihat Meika yang marah, juga Alena yang ketakutan. Terlebih lagi, Kevan juga terkejut melihat pot yang pecah di hadapannya.
"Apa yang mama lakukan ke Alena?!" tanya Kevan yang khawatir pada Alena.
Alena mengangkat kepalanya sedikit, melihat Kevan yang berlari mendekat. Lelaki itu tak kalah terkejutnya melihat dahi Alena yang mengeluarkan banyak darah.
"Na, kening kamu?!" tanya Kevan sedikit membungkuk menyamakan tinggi Alena.
Alena tersenyum, "Cuma berdarah dikit kak, enggak apa-apa."
"Nggak apa-apa gimana?! Itu darah mu keluar banyak!" panik Kevan.
"Kevan, minggir! Mama harus ngasih dia pelajaran agar patuh sama mama!" bentak Meika yang mendorong tubuh Kevan, tapi tubuh cowok itu terlalu kuat. Sehingga, tubuh Kevan tidak terjatuh, atau berkata
"Ma! Cukup! Mama nggak liat itu dahi Alena keluar banyak darah?! Gimana kalo—"
"Biar dia mati sekalian!" bentak Meika. Alena tersentak kaget mendengar itu, air matanya kini sudah tidak bisa lagi ia tahan. Tubuhnya menjadi lemas, tangannya sedikit bergetar. Kevan yang menyadari itu langsung menggendong Alena tanpa mendengar teriakan Meika, Kevan tak ingin terjadi sesuatu pada Alena.
"Kak, kalo aku mati—"
"Na! Jangan ngomong seperti itu!"
"Tapi kalo aku mati, mama belum maafkan aku gimana? Apa aku—"
"Alena! kamu nggak akan mati di bunuh Mama, dan aku enggak akan membiarkan mu disakiti oleh siapapun!"
Kevan meletakkan Alena di tepi kasur, awalnya ia ingin mengobati luka Alena di ruang televisi. Namun, di sana ada Taniel, juga Alina. Kevan tak ingin papanya juga ikut melukai Alena.
•••
"Ma, kemarin aku ketemu sama kakak cantik loh!" seru anak kecil itu dengan tersenyum lebar.
"Kak Alena, kan, namanya?" tebak Ratna dengan mencolek hidung Rei.
Rei mengangkat alisnya, "Alena? Bukan, ma. Tapi, kak Len!"
"Kak Len itu juga kak Alena, tau!" timpal cowok itu yang baru saja datang.
"Eh, kak On. Dari mana?"
"Kak Dion tadi antar Kak Len pulang," jawab Dion seraya duduk sofa.
"Kak Len tadi di sini? Kenapa enggak jenguk aku? Apa Kak Len lupa sama aku?" tanya Rei tidak bersemangat.
Ratna tersenyum dengan mengelus lembut rambut Rei, "Mana mungkin Kak Len lupa sama kamu? Mungkin dia sedang sibuk."
"Tapi besok dia bakal ke sini kan, Ma?" tanya Rei melihat Ratna DAN Dion bergantian. Ratna sedikit menoleh ke Dion, cowok itu hanya mengangguk.
"Iya, pasti dong Kak Len besok ke sini."
Rei kembali bersemangat, dia bersorak senang. Ratna hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Dion menyandarkan tubuhnya di sofa sambil menghela napas panjang.
"Sekarang kamu tidur, udah malam."
Rei hanya mengangguk, dan langsung berbaring. Ratna menarik selimutnya sampai perut, dan mengecup kening Rei dengan lembut. Wanita paruh baya itu berjalan mendekati anak sulungnya, tangannya mengelus ujung rambutnya, dan membuat cowok itu mengangkat kepalanya.
"Kamu kenapa? Habis antar Alena kok muram gitu? Kamu di tolak sama Alena?" tebak Ratna asal. Dion menggelengkan kepalanya pelan, Ratna langsung duduk di samping Dion.
Dion sendiri tidak menyangka kalau ternyata keluarga Alena sangat kejam padanya, kenapa Alena hanya terdiam saja? Dion mulai penasaran dengan keluarga Alena. Ucapan Mama Alena pun masih teringat jelas di pikiran Dion.
Mama Alena menginginkan gadis itu mati? Kenapa? Pikir Dion.
"Dion?"
Dion tersadar dari lamunannya, dia menoleh ke Ratna. "Kenapa, Ma?" tanya Dion.
"Kamu itu kenapa? Mama tanya kenapa malah melamun?"
"Nggak, ma. Dion nggak apa-apa."
Ratna menghela napas, ia tahu kalau Dion tidak akan memberi tahu masalahnya. Sudah biasa Dion seperti ini, Ratna kembali teringat pada Ryota. Mantan suaminya.
Ryota adalah tipekal cowok yang tidak akan memberitahu masalah pribadinya, sejujurnya Ratna sangat merindukan Ryota.
Ratna tahu, kalau dia salah menilai Ryota. Ia juga sedikit menyesali karena tidak mendengarkan penjelasan Ryota dulu. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Ratna tidak mungkin rujuk kembali dengan Ryota.
Sesekali Rei menanyakan keberadaan Papanya, Ratna selalu mengalihkan pembicaraan agar Rei tidak bertanya tentang papanya. Sulit untuk membohongi Rei.
Anak kecil itu tidak mengetahui kalau Ryota adalah ayahnya, Dion pun membenci papanya karena ia tidak tahu yang sebenarnya. Itu juga salah satu kesalahan Ratna.
"Maaf, Mama."
•••
"Sakit, Na?" tanya sang kakak yang masih terlihat khawatir. Kevan berulang kali mengajak Alena untuk periksa ke rumah sakit, namun gadis itu menolak. Dia bosan mencium aroma rumah sakit, apalagi ditambah beberapa perawat yang kenal dengan Alena.
Dengan telaten Kevan menutupi luka itu dengan perban, sesekali Alena merintih kesakitan tanpa sepengetahuan Kevan.
"Nggak, Kak, udah nggak sakit," jawab Alena bohong.
Alena menatap wajah Kevan dengan lekat, bibirnya sedikit terangkat membentuk senyuman tipis. Ia beruntung masih mempunyai orang yang sayang dengan dia, Kevan yang tak sengaja melirik Alena menghentikan tangannya tepat di pipinya.
"Kenapa? Pusing?" tanya Kevan lembut.
Alena menggeleng pelan, "Nggak kok, cuma ingin liat wajah kakak yang ganteng ini," puji Alena dengan mencubit pelan pipi Kevan.
"Bisa aja kamu," ujar Kevan tersipu malu.
Luka Alena telah terbalut oleh perban, Kevan tersenyum dengan memegang pelan ujung kepala Alena.
"Maafkan Mama, ya. Kakak yakin, Mama akan berubah," ucapnya dengan lembut.
Alena seperti tersihir oleh ucapan Kevan, ia mengangguk, dan berdoa dalam hati agar ucapan Kevan menjadi kenyataan.
Kevan membereskan kembali obat P3K. Lelaki itu beranjak dari duduknya, matanya bergerak melihat jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sembilan. Ia kembali menatap Alena yang memegang lukanya.
"Udah, sana tidur. Istirahat," titah Kevan. Sedangkan, Alena hanya mengangguk, dan merubah posisinya menjadi tidur.
"Selamat malam."
Saat hendak pergi, tangan Kevan di tahan oleh Alena. Lelaki itu membalikkan badannya dengan menatap adiknya dengan lekat.
"Kenapa, Na?" tanya Kevan.
Alena tersenyum, "Makasih, Kak, selalu baik sama aku, makasih selalu ada untuk Alena, makasih udah mau menjadi kakak Alena yang paling terbaik. Maaf kalau nanti aku mengecewakan kakak, maaf kalo aku nanti pergi ninggalin kakak."