Gadis itu melangkahkan kakinya masuk ke dalam kawasan rumah sakit, dia sedikit memperlambat langkahnya ketika berada di koridor rumah sakit yang luas itu, matanya bergerak ke kanan dan kiri untuk memastikan kalau tidak ada orang yang dia kenal di sini.
Dia sesekali menyapa suster yang berpapasan dengan senyuman dan anggukan kepala.
Gadis itu memiliki paras wajah yang cantik, namun dia menutupi semua itu dengan penampilan yang bisa di bilang culun. Rambut di kepang dua, serta kacamata bulat yang dia kenakan menutupi wajah cantiknya.
Langkahnya terhenti di depan pintu ruang dokter yang sudah membuat janji dua hari lalu. Sebelum masuk ke ruang itu, dia menarik napas panjang dan mengembuskan dengan perlahan. Lalu, tangannya bergerak mengetuk pintu.
"Silakan masuk," ucapnya dari dalam dengan sedikit berteriak.
Gadis itu langsung meraih engsel pintu dan membukanya perlahan. Dia langsung melihat seorang lelaki tampan memakai jas putih yang sedang menulis di mejanya. Dalam hitungan detik, dokter itu mengangkat kepalanya menatap gadis itu dengan tersenyum ramah.
"Apa kabar, Alena?" tanya dokter itu dengan beranjak berdiri.
Gadis culun itu bernama Alena Tan, dia anak terakhir dari keluarga Tan.
Keluarga Tan adalah keluarga terpandang. Perusahaannya ada dimana-mana, bahkan di luar negeri pun juga ada. Tapi tidak ada yang tahu kalau Alena ini adalah anak dari keluarga Tan, kecuali dokter yang bersama Alena saat ini.
"Lumayan baik, Dok," jawab Alena tersenyum tipis.
Dokter itu menatap Alena dengan tatapan yang sulit di artikan, dia melihat ada yang disembunyikan oleh gadis itu, karena wajahnya tampak menyimpan banyak beban.
Dia merasa ada yang janggal.
"Ada apa? Apa yang kamu rasakan? Asam lambung kamu kambuh?" tanya dokter itu dengan mata yang terus mengamati Alena.
Dokter itu bernama Ryota, dia adalah dokter yang paling tampan di rumah sakit ini. Jangan salah, dia memang tampan, tapi umurnya sudah tiga puluh lima. Dia sangat ramah. Bahkan, banyak anak kecil yang ingin di periksa olehnya.
"Akhir-akhir ini iya, perut aku terasa perih, napas juga sesak," jawab Alena.
"Sudah berapa lama?" tanya Ryota
"Tiga minggu."
"Tiga minggu?! Kenapa tidak langsung ke rumah sakit? Kalau terjadi apa-apa bagaimana?" ujar Ryota dengan nada sangat cemas.
Alena hanya tersenyum samar dengan kepala perlahan menunduk. Sebenarnya ingin ke rumah sakit, tapi tidak bisa. Karena dia harus mengurus semua pekerjaan rumah dan tugas sekolah yang cukup banyak.
Ryota menghela napas, dia tahu dengan kondisi keluarga Alena, dia sedikit menyesal karena sudah berbicara seperti itu. Tangan lelaki itu bergerak menepuk pundak Alena pelan, sehingga membuat Alena kembali mengangkatkan kepalanya.
"Maaf, ayo saya periksa. Apa kamu mau periksa lebih intens? Untuk memastikan kalau kamu hanya sakit lambung biasa."
Alena terdiam sejenak, dia menghela napas panjang dan mengembuskan dengan perlahan. Kepalanya bergerak mengangguk ragu. "Boleh, Dok. Saya mau," ucap Alena menyetujuinya.
***
"Alena pergi?" tanya wanita paruh baya pada cowok yang sedang memainkan ponselnya.
"Iya, ke rumah teman," jawabnya singkat, tanpa menoleh sedikitpun.
Wanita itu berdecak, ia melipat kedua tangannya di dada. "Bisa-bisanya keluar rumah tanpa ijin? Dia bahkan belum menyelesaikan pekerjaan rumahnya! Awas aja nanti!"
Wanita paruh baya itu adalah Meika Tania. Dia mama yang tegas, tapi perhatian juga terkadang lembut. Namun, dia sangat membenci anak terakhirnya. Ya, Alena. Dia sangat membenci gadis itu.
"Ma! Udah lah. Kenapa sekarang Mama menjadi seperti ini? Apa salah Alena? Lagian juga ada pembantu di rumah ini, kenapa harus Alena yang melakukan itu?"
"Kenapa kamu dari dulu tidak menyadari? Kenapa kamu selalu memanjakan Alena? Dia akan ngelunjak!" cowok itu beranjak berdiri.
"Ck! lihat sekarang Alina! Dia bahkan lebih ngelunjak dari Alena! Karena apa?! Karena Mama juga memanjakan dia!" seru cowok itu yang sudah menggebu.
PLAKK!
"Kevan! Jangan keterlaluan! Kamu berani membentak Mama cuma karena membela anak seperti Alena?!"
Kevan Tan, lelaki tampan, berhidung mancung, berkulit putih. Anak pertama dari tiga bersaudara. Kakak satu-satunya yang masih peduli dengan Alena, ia terus berusaha untuk melindungi adiknya itu dari keluarga ini yang membencinya.
Kevan mengambil ponselnya kembali dan berjalan meninggalkan mamanya yang tengah menatapnya tajam, ia terlihat malas untuk bertengkar dengan mamanya. Mei mengepalkan tangannya melihat punggung Kevan yang semakin tak terlihat.
***
Alena telah selesai melakukan pemeriksaan yang di rekomendasikan oleh Dokter Ryota. Kini, ia berjalan menuju tempat administrasi. Alena mencari tempat duduk yang kosong, tangannya mengambil ponselnya di saku.
Matanya mendadak terbelalak.
Ia menelan salivanya dengan bersusah payah ketika membaca puluhan pesan dari sang mama, juga banyak panggilan masuk tak terjawab. Alena tidak membuka pesan tersebut dan langsung mematikan ponselnya kembali.
Alena bisa menebak kejadian setelah ini, pasti setelah dia sampai di rumah akan dihajar habis-habisan oleh sang mama. Ia memejamkan matanya, meratapi hidupnya yang pahit. Sangatlah tidak berwarna. Alena saat ini sangat merindukan masa lalunya.
Terutama mamanya
Dia tak pernah merasakan kehangatan mama lagi, juga sikap lembut dan bahkan di manja. Semua itu sirna, semua hanya menjadi kenangan yang indah.
Tanpa terasa, air mata keluar dengan sendirinya, dengan cepat Alena menyeka air matanya. Saat dia mendengar namanya di panggil, gadis itu langsung beranjak dari duduknya.
Tiba-tiba saja kepalanya sangat pusing. Dia menghentikan langkahnya dan memegang kursi yang ada di belakangnya. Pandangan mulai mengabur, Alena memejamkan matanya dengan memijit pelipisnya agar rasa pusing sedikit berkurang.
Namun nihil, rasa pusing semakin terasa , tubuh Alena seketika lemas, pandangan perlahan gelap. Gadis itu masih mendengar suara seseorang memanggilnya. Namun, perlahan suara itu mulai menghilang.
***
Cowok itu menatap jam dinding yang menunjukkan pukul dua belas malam, ia terlihat gusar. Matanya sedari tadi melirik pintu kamar Alena, juga pintu rumahnya, Kevan merasa sangat khawatir karena adiknya tak kunjung pulang, nomornya pun tak bisa ia hubungi.
Kevan menghela napas, ia berjalan menaiki anak tangga menuju kamar Alena untuk memastikan saja. Dia membuka pintu kamar Alena. Kosong, tak ada siapapun di dalam. Kevan berjalan kembali ke bawah dan duduk di sofa dengan tatapan mata ke arah pintu..
"Apa Alena ada apa-apa dijalan? Nggak-nggak! Aku nggak boleh berpikiran yang macam-macam!" ucapnya dari dalam hari.
"Belum tidur?"
Suara berat itu membuatnya terkejut dan langsung menoleh ke belakang. Melihat pria paruh baya yang berdiri di belakangnya dengan tatapan tajam yang khas.
"Belum, Pa. Ini mau tidur," ujarnya beranjak dari duduk. Lalu berjalan masuk ke dalam kamarnya.
"Good night, Pa," ucap Kevan seraya menutup pintu kamarnya dengan menghela napas lega.
"Enggak mungkin aku bilang ke papa kalo Alena belum pulang."
Kevan berjalan mondar-mandir di dalam kamar, dia tak bisa tidur dan terus memikirkan Alena. Kenapa jam segini dia belum pulang? Ke mana anak itu? Kenapa ponselnya juga tidak aktif? Kevan mengusap wajahnya kasar.
Dia benar-benar merasakan perbedaan pada Alena. Dia sekarang menjadi anak pendiam dan tertutup, tidak seperti dulu yang ceria.