Aku terbangun dengan kepala seperti tertimpa berton-ton beras. Akh…ini sungguh membuatku sakit. Pandangnku yang tadinya berembun perlahan menjelas. Aku bingung dengan dekorasi dinding dan warna pastel dari ruangan itu.
Sejak kapan aku mulai menyukai warna itu?
Prangk…akh…
Aku berteriak setelah mendengar suara benda pecah di balik pintu putih yang sedang tertutup itu. Ok..ini bukan kamarku. Sejak kapan aku membiarkan pintu kamarku di cat putih. Jelas-jelas aku selalu membiarkan benda itu berwarna hitam.
Dengan segenap kesadaran yang perlahan terkumpul, aku beranjak dari ranjang yang berbeda dengan milikku. Benakku mulai dipenuhi dengan pikiran-pikiran yang akan segera membunuhku.
Apa yang terjadi denganku? Rumah siapa ini? Kenapa aku memakai kemeja putih kebesaran ini? Siapa yang menggantikan bajuku semalam? Dimana Velly? Dan..apa aku masih…akh..peranyaan yang membuatku semakin bodoh.
Perlahan aku meraih gagang pintu itu, menekannya dan perlahan menariknya untuk terbuka.
Dan aku terpana dengan apa yang aku dapatkan dengan retinaku.
Sebuah dinding kaca yang transparan. Pemandangan laut yang luas dapat aku nikmati sesaat aku keluar dari kamar itu.
Aku terpana dan sesaat lupa dengan pertanyaan-pertanyaan yang memusingkan kepalaku.
"indah sekali". Ucapku tidak sadar dan mendekat ke dinding kaca itu.
"kau sudah bangun".
Aku kaget dengan ucapan itu dan dalam sekejap aku membalikkan tubuhku.
"Sean?!!". Ucapku setengah berteriak.
"begitukah caramu mengucap terima kasih setelah aku menyelamatkanmu". Ucapnya sambil bersandar di dinding marmer berwarna abu-abu itu. Ia hanya mengenakan celana jeans dengan dada telanjang. Dan rambutnya yang acak-acakan menambah pesona badboy yang ada padanya.
Wait?... apa yang aku pikirkan.
"kenapa kau ada disini". Ucapku dengan nada ketus.
"karena kau ada disini". Ucapnya menyeruput cairan yang ada di dalam gelasnya.
"kau..hah…kau memperkosaku".
Uhuk…
Ia tersedak mendengar ucapanku.
"kau gila. Kau sengaja mau membunuhku?". Balasnya membentak.
"aku tidak bercanda Sean. Kenapa kau ada disini? Kenapa kita disini? Siapa yang menggantikan bajuku". Bentakku dengan rasa sesak yang sangat di dadaku.
Ia diam hanya memandangku dengan pandangan dinginnya.
Aku kesal. Kenapa dia diam, seakan ia bingung untuk menjawab semuanya. Benarkah kami disini karena kami melakukan sesuatu? Aku sungguh cemas.
"jawab aku!!". Bentakku tidak dapat mengendalikan diriku lagi.
Ia tetap diam dengan pandangnya. Dan hal itu membuatku gila.
Aku melangkah mendekati lelaki itu. Tepat di hadapannya. Ya..kira-kira dua jengkal dari hadapannya. Mata kami saling menatap dalam. Kami saling memandang.
"jawab…apa yang kita lakukan disini". Tekanku dengan suara serak menahan tangis.
Lelaki sialan itu tidak menjawab, tetapi ia tidak berhenti menatap kedalam retinaku.
"bisakah kau buka mulutmu untuk menjawab pertanyaanku brengsek". Tangisku sambil memukuli dada bidangnya yang ber-otot.
"memang apa yang ada di dalam kepalamu". Ucapnya tajam sambil menahan kedua tanganku.
Aku terdiam. Air mataku tidak dapat kutahan lagi. Bibirku bergetar, kepalaku pusing. Aku hanya ingin tau apa yang kulakukan di kamar itu bersama lelaki es batu itu.
"kalau aku bilang, kau tidur denganku. Apa yang akan kau lakukan?".
Deg…
Jantungku terasa sakit.
Rasanya aku ingin berteriak menggila. Jika itu benar, artinya aku?
Aku melemahkan tanganku yang tadinya meronta minta di lepas. Dan entah apa yang merasuki lelaki itu, ia melepas kedua tanganku.
Tubuhku rasanya tidak bertenaga. Dan aku masih setia memandangi wajah lelaki yang ada di hadapanku.
Hiks..hiks….
Tangisku semakin menjadi. Lama-kelamaan rasa sesak itu menggila menjadi rasa sakit yang menusuk hatiku. Aku ingim sekali menghilang ditelan bumi.
"Anora". Ucapnya saat aku mulai merengkik sambil mengelus kasar kulit tubuhku.
"Anora hentikan". Ucapnya panic coba menghentikan aksiku menggosok kasar seluruh tubuhku dengan telapakku.
"Anora…hei…hei…lihat aku. Dengar..dengar aku". Ucapnya memegang erat kedua tanganku agar tidak lagi menggosok kulit tubuhku yang sudah memerah.
"tidak ada yang terjadi. Tidak ada yang menyakitimu. Aku sama sekali tidak menyentuhmu. Jadi hentikan". Ucapnya dengan tatapan mata yang tulus.
"ka…kau bohong". Tangisku.
"tidak. Aku hanya membawamu ke kamar ini. Meletakkanmu di kasur lalu aku tidur di sofa. Aku sama sekali tidak menyentuhmu".
"lalu siapa yang menggantikan pakaianku dengan kemeja ini. Dan kemeja siapa ini?". Tanyaku segugukan.
Ahahha….
Ia tertawa? Serius…lelaki gila ini bisa tertawa? Dan manis sekali tawanya!!!
"aku meminta pegawai hotel ini untuk memakaikan kemejaku padamu. Aku tidak tau harus mengganti bikinimu dengan apa. Aku tidak tau dimana aku bisa mendapatkan baju untukmu didaerah ini". Ucapnya tulus. Dan….hangat. benarkah ini?
Tangisku mereda. Dan suasana di antara kami mulai canggung.
"sudah selesai dengan tangisanmu? Aku lapar. Kau mau makan apa?". Ucapnya sambil meniti kulit tanganku yang tampak memerah karena ulahku.
Aku masih diam. Aku terpana dengan lelaki es batu yang tiba-tiba menjadi sosok hangat itu.
"berhenti memandangiku". Ucapnya yang tiba-tiba memandang mataku.
Aku salah tingkah dan tidak berani memandang matanya.
"hmm ayo". Ucapnya menuntunku berdiri dan membawaku ikut dengannya kedapur.
"duduklah. Aku akan memasak untuk kita". Ucapnya sambil mendudukkanku di salah satu kursi di dapur minimalis itu.
"kau mau makan apa?". Tanyanya sambil menaruh kedua tangannya di meja.
"kau tidak ingin membunuhkunkan?". Ucapku dengan suara kecil.
"hm…ya aku ingin membunuhmu. Tetapi nanti jika aku sudah ingin". Balasnya.
Ia kembali menjadi lelaki dingin yang menyebalkan.
"biar aku yang memasak". Ucapku sambil tiba-tiba berdiri.
"kau bisa memasak?". Ucap Sean dengan pandangan remehnya.
"tentu saja aku bisa". Ucapku sambil menyeleweng kearah kompor. Sementara itu, Sean hanya memandangiku sambil duduk di meja dengan melipat kedua tangan di dada.
Aku mengangbil wajan penggorengan, beberapa butir telur dari kulkas, bawang Bombay, daun bawang, cabai…lalu apa?
Aku memang bisa memasak, hanya saja aku bingung ingin masak apa? Aku tidak ingin kelihatan bodoh di depan lelaki itu.
"kau yakin bisa masak?". Ucap Sean.
Aku berbalik sambil menaruh kedua tanganku di kedua sisi pinggangku.
"kau pikir aku sepayah itu". Bentakku.
Ia tersenyum miring.
"sudah hampir 15 menit kau berdiri disana, bahkan wajan itu sedari tadi tidak diisi oleh apapun. Panaspun tidak".
Laki-laki sialan.
"hei..memasak itu butuh proses. Kau pikir ini seperti makanan cepat saji!!". Balasku membentak.
Kruukkk….
Perutnya berbunyi. Aku pikir ia akan merasa malu, tetapi tidak sama sekali.
" baiklah…tolong percepat masakmu. Sebelum aku kepikiran untuk memesan makanan dari hotel ini". Ucapnya.
Aku berdecak sebal, kemudian kembali menghadap kompor, untuk setelahnya memasukkan minyak goreng dan segera meracik bumbu untuk telur yang aku masak.
Kenapa aku terjebak dengan lelaki ini???
Aku bisa merasakan kalau ia sedang menertawaiku disana. Rasanya aku ingin mengerjainya dengan sengaja. Hanya saja ia telah baik padaku.
Hmm…baiklah, aku akan membuatkannya makanan sebagai tanda terimakasihku.
Sekali ini saja. Tak apa kan?