Anora tampak berdiri di balkon yang menghadap ke lautan luas. Di bawah balkon itu banyak batukarang tajam. Hingga siapa pun yang nekat untuk melompat kabur dari balkon itu pasti akan segera menuju alam barunya.
"huft…lelaki itu cukup pintar untuk membuat tahanannya depresi". Pikir Anora kesal.
Anora menyapu pandangannya pada sekitar. Tak ada daratan yang tampak. Rumah mewah itu dikelilingi oleh lautan lepas.
"apa kami ada di sebuah pulau?". Pikir Anora.
***
"aku tidak tau pasti El. aku hanya sudah terbiasa dengan keberadaannya".
"dia lelaki yang dingin. Kaku dan kasar. Apa yang kau lihat dari dia?". Tanya El sedikit kesal.
"kau tidak paham perasaan ini El. coba kau di posisiku. Kau pasti paham".
"aku paham Alona. Aku berada di posisi itu. Hanya saja kau ada di ketaku. Tetapi serasa sangat jauh. Karena kau tidak mengharapkan aku disini". Pikir El.
Tiba-tiba kedua insan itu terkejut saat beberapa mahasiswa tampak berebutan mengerumuni papan informasi.
"ada apa itu?". Ucap Alona.
"tidak tau. Sepertinya ada informasi penting". Balas El.
Keduanya beranjak bangun dan berjalan menuju papan informasi.
"ada apa?". Tanya Alona pada beberapa mahasiswi yang tampak asyik bergosip setelah membaca info di papan informasi itu.
"eh….Alona. itu. Kamu kenal gak mahasiswi baru itu. Yang suka nempel sama Velly".
"em…ya aku tau. Maksudmu Anora?".
"iya…benar Anora. Dia menghilang dari pesta semalam".
"pesta?".
"iya…kau tidak tau kalau ayah anora adalah salah satu mentri. Jadi semalam dia ikut pesta. Tau-taunya menghilang".
"sungguh?".
"iya". Ucap mahasiswi itu meyakinkan.
"ok…kalau begitu terimakasih infonya". Ucap El dan menuntun Alona yang tampak terdiam untuk beranjak dari tempat itu.
"hei…kau kenapa?". Tanya El coba memecah suasana.
"El…kenapa aku merasa Anora bukan menghilang".
"maksudmu apa?".
"aku yakin dia tidak menghilang El. dan ini aneh… apa ini alasan kenapa Sean tidak masuk kuliah?". Tanya Alona curiga.
"akh…kau berlebihan Alona. Kau tau, aku mulai muak dengan cara berfikirmu. Kau tau, bagaimana bisa Anora berpikir untuk berlaku demikian, itu bisa mempengaruhi posisi ayahnya".
"bisa aja kan". Balas Alona keras kepala.
"akh…sudahlah. Aku tidak mengerti cara berpikirmu". Ucap El lalu beranjak meninggalkan Alona.
"hei…tunggu". Panggil Alona menyusul El yang merajuk.
***
Pelan-pelan aku meniti anak tangga itu satu persatu. Sejak tadi aku tidak menemukan keberadaan Rafael. Apa ia meninggalkan aku di rumah ini sendirian?
Rumah ini cukup besar. Aku bisa memberi penilaian tentang harga jualnya. Melihat dari sisi interior yang cukup mewah. Tetapi, untuk apa ia membeli rumah yang di kelilingi laut seperti ini? Atau ini adalah markas persembunyiannya?
Mungkin salah satu, tentu saja, tidak kungkin seorang pembunuh bergengsi seperti dia hanya memiliki 1 tempat persembunyian saja bukan?
Puas mengelilingi isi rumah itu, hiporia mulai memenuhi hatiku. Aku menemukan telepon rumah. Ya…hanya satu. Sedari tadi aku menjelajah, aku hanya menemukan 1 telepon ini saja.
Aku mengetik nomor ponsel Velly. Berharap gadis bodoh itu mau segera menjawab. Mengingat sipatnya yang susah di telpon.
"hallo…".
"syukurlah…Vell….ini aku".
"Anora….kau kemana saja? Kami semua panic".
"aku di sekap. Aku gak bisa temuin jalan keluar".
"disekap siapa? Kau pergi dan menghilang begitu saja dari pesta".
"Rafael!! Kau kenal di bukan".
"Ra…Rafael?".
"iya. Kau…akh…
Telepon itu terputus. Karena Rafael merebutnya dari tanganku dan membantingnya dengan membabi buta.
"apa yang kau perbuat Anora". Bentak Rafael sangat marah.
"aku ingin keluar dari sini. Aku ingin lepas darimu". Balasku membentak.
"kau hanya akan selamat jika kau ikuti semua ucapanku gadis bodoh." Ucap Rafael sambil menekan kedua rahangku dalam genggaman tangannya.
"lepaskan aku". Bentakku melepas paksa tangannya.
"kau tau apa yang kau perbuat!!!! Mereka akn tau dimana kita sekarang. Dan itu kan membahayakan kita".
"kita? Tidak…bukan kita. Tapi kau. Ayahku akan datang dan menyelamatkan aku". Balasku tak kalah geram.
Matanya tampak nanar. Sepertinya aku berhasil membuat lelaki bertopeng itu marah.
Akh….
ia menarik kerah bajuku hingga kami sangat dekat.
"satu-satuya orang yang bisa menyelamatkanmu hanya aku Anora. Bahkan ayahmu sekalipun akan mengorbankanmu untuk kepentingannya". Ucapnya penuh emosi.
aku terperangah. Aku bagai tertampar keras mendengar ucapannya.
"aku tidak ingin anak itu ada disini". Teriakan ibu masih sangat jelas di telingaku.
Teriakan yang diiringi pecahan gelas dan piring kaca yang di banting. Ya…sekeras itu ibuku menolak keberadaanku.
Dan saat itu, ayahlah yang bersikeras untuk tetap melindungiku.
"dia anak kita. Bagaimana pun dia adalah anak dari rahimmu maria".
"tidak..!!! aku tidak menerima anak haram itu Aryan".
Teriakan itu selalu menggangguku.
Ya…satu kenyataan yang aku tidak dapat hindari adalah, aku bukan anak kandung ayah. Aku adalah anak hasil main gila ibu dengan kekasih gelapnya. Dan ayah adalah orang baik yang menerima keberadaanku. Dan merawatku layaknya anak kanndungnya.
"kau salah. Dia akan menyelamatkanku". Ucapku lirih hampir menangis.
Rafael tampak terdiam. Tangannya masih erat menggenggam leher bajuku.
Kami saling menatap dalam diam. Meski aku tidak dapat melihat expresi wajahnya, aku bisa merasakan bahwa sebenarnya pembunuh berbahaya yang ada di hadapan ku ini adalah orang yang sangat baik.
Dan aku yakin ia punya alasan, mengapa ia melakukan ini semua ini.
Malam itu begitu menyayat. Aku hanya mendengar suara ombak dalam kesunyian. Rafael tidak membiarkanku menonton televise, menggunakan telpon atau bahkan sekedar mendengar radio.
Bahkan ia tidak membiarkan rumah besar itu diterangi lampu.
Brugh….
Aku terkejut mendengar suara pintu yang dibanting sedemikian kerasnya.
"apa yang kau lakukan di kamarku !!?". bentakku.
"bisa kau ralat ucapanmu". Ucapnya sambil duduk di sofa.
aku turun dari ranjang lalu mendekati lelaki itu.
"kau berada dikamar seorang gadis yang taka da ikatan denganmu. Apa kau tidak tau malu?". Bentakku.
Dengan dramatisnya lelaki itu memandangku dengan hezel tajamnya.
Ouh…ya….suasana ini begitu mengerikan. Kami hanya mempunyai lilin sebagai penerangan. Dan aku berada di sebuah tempat yang bahkan dengan sekuat apapun aku berteriak tidak akan ada yang mendengarnya.
"ini bukan kali pertama kita berada dalam satu kamar Anora. Kau bahkan pernah aku hangatkan dengan kecupanku".
Deg…jantungku bergemuruh mendengar ucapan lelaki sialan itu.
"kau..",
"aku hanya menahan diri untuk tidak bercinta dengan mu Anora. Jadi jangan banyak bertingkah. Jangan membuatku lepas control terhadapmu. Kau tau, kau tidak melakukan apapun bisa membuatku gila, apa lagi kau bertingkah di depanku. Kau bisa tau apa yang akan terjadi". Ucapnya.
Sialan….aku terpaku. Aku benar-benar berada dalam dekapan srigala.
***
"akh….Sean…kau benar-benar membuatku frustasi". Teriak Alona sambil membanting botol anggur kosong yang cairannya telah habis ditelan olehnya.
"aku merindukanmu Sean. Kau dimana? Apa kau sedang bersama Bi*ch sialan itu". Tangisnya histeris.
"aku akan menyingkirkan siapapun yang ingin merebutmu dariku Se… bahkan gadis sialan itu". Ucapnya geram tanpa sadar Alona menggenggam pecahan botol itu hingga tangannya berdarah.
Tiba-tiba,
"Alona…apa yang kau lakukan ? kau gila!!". Bentak El yang tiba-tiba datang.
"aku merindukan Sean. Aku merindukan bajingan itu". Ucap Alona mabuk.
El hanya menghela nafasnya panjang. Dengan sabra ia menganggkat tubuh langsing itu untuk naik ke ranjang. Membersihkan pecahan botol itu lalu membersihkan luka Alona.
"aku tidak paham lona, aku tidak paham dengan cara berfikirmu. Siapapun pasti tau, Sean tidak menyimpan perasaan apapun padamu. Tetapi kenapa kau masih bersikeras untuk hal itu". Ucap El meski ia tau Alona tidak akan mengerti apa yang ia ucapkan.
Selesai membersihkan luka Alona, El hendak beranjak dan bersiap untuk pergi.
Namun tiba-tiba Alona menahan tangannya.
"jangan pergi… jangan tinggalin aku". Ucap Alona sambil perlahan menarik tubuh El untuk duduk di bibir ranjangnya.
"jangan pergi….aku gak mau sendiriian. Kamu nyiksa aku". Ucap Alona sambil menggelayut manja di pelukan El.
"alona". Ucap El tidak melanjutkan ucapannya.
Alona membungkamnya dengan ciuman lembut dari bibirnya.
Ciuman yang pelan dan hangat berubah menjadi menuntut dan bergairah.
El mulai berani memainkan tangannya di tubuh Alona dan tindakan itu tidak di cegah oleh Alona.
"eh…". Desah Alona.
Perlakuan itu semakin dalam, hingga mereka lupa diri. Malam menjadi saksi percintaan itu. Dimana Alona secara tidak sengaja memberi mahkotanya pada El yang sangat mencintainya.
***
Anora terbangun oleh mentari yang berbagi cahaya melalui sela tirai yang terbuka. Kelopak indahnya tampak berkedip indah. Gadis itu menyapu keseluruh ruangan sambil menunggu kesadarannya kembali sepenuhnya.
"kau sudah bangun". Ucap Rafael yang berdiri sambil memandang laut lepas.
Ditangannya tampak secangkir kopi hangat. Rambutnya tampak tersisir rapi dengan kemeja putih tidak dikancing. Otot dadanya tampak menantang. Wajahnya yang sedang focus membaca Koran tampak mempesona.
"sudah puas memandangiku?". Ucapnya lagi memecah angan Anora yang secara tidak sadar mengaguminya.
"kau tau, sesuatu yang berlebih itu sangat tidak baik. Tetapi aku melihat segala hal dalam dirimu itu sangat berlebihan". Ucap Anora sambil berusaha turun dari kingsize berukuran jumbo itu.
"ya….kau benar. Segala hal yang berlebihan itu tidak baik. Sama dengan perasaan yang aku bendung untukmu".
"bisakah kau berhenti bicara omong kosong seperti itu". Ucap Anora yang kini sudah berdiri sekitar 5 meter dari hadapan Rafael.
Gadis itu tampak menggemaskan dengan kemeja kebesaran milik Rafael. Rafael sengaja tidak menyiapkan pakaian wanita untuk Anora, agar Anora memakai pakaiannya.
"lalu siapa yang harus di salahkan. Aku? Atau kau yang dengan diam-diam terus merayuku?". Ucap Rafael sambil mendekat selangkah demi selangkah pada gadis manisn itu.
"jangan dekati aku". Ucap Anora masih setia di tempatnya berdiri.
"kenapa? Bukankah semuanya milikku. Termasuk dirimu??". Tanya Rafael menantang sambil terus mendekat, hingga jarak di antara mereka benar-benar menipis dan hilang.
Kini kedua insan itu saling berhadapan.
"kau tidak akan bisa memilikiku. Kau bisa menghantam kepalaku atau mencabik tubuhku. Kau bahkan bisa memisahkan nyawaku dari tubuhnya. Tetapi kau tidak akan bisa memilikiku". Tegas Anora sambil terus memandang Rafael tepat di retina indahnya.