Aku termenung memandang keluar jendela. Kudapati sinar matahari yang dengan perlahan bersinar secara terik. Panas mulai memecah butiran embun yang dengan sembarang menempati setiap helai daun dan kelopak berwarna yang sengaja aku letakkan di balkon.
Tring…tring..
Suara berisik dari ponsel bodoh itu kembali aku dengar.
"hallo".
"halo…tuan Rafael".
Deg….nama itu benar-benar mempengaruhi jantungku.
"aku punya misi untukmu. Dan aku pastikan kau akan tergiur dengan penawaranku". Ucapnya tanpa jeda.
"ku harap begitu. Karna aku sedang merasa bosan dengan hobbyku". Ucapku sedikit memaksa.
"hahaha…kau punya hobby membunuh tuan". Tawa orang di balik telepon itu.
"ya..dan tawa datarmu itu bisa membuat hobby ku itu berubah jadi kemarahan. Dan kau tau, saat ini hanya kau kemungkinan targetku". Ucapku dengan nada geram.
"jangan marah Rafael. Kau akan sangat berterimakasih saat kau tau siapa yang aku sengaja jadikan targetmu. Kau dapat bermain-main dahulu dengannya". Ucap lelaki biadap itu.
Seorang gadis. Dan aku yakin itu.
Anora tampak tergesa-gesa berlari ke ruangan mr. George.
Raut wajah cemas tampak tergambar di wajahnya.
Brugh….
Akh…
Dan lagi gadis ceroboh itu kembali menabrak seseoarng. Dan ya…orang yang sama Sean.
"kau".
"bisakah kau coba untuk sedikit berhati-hati??!! Meskipun kau seorang perempuan, tubuhku bisa remuk jika terus-menerus di tabrak olehmu". Ucap Sean geram.
"aku minta maaf. Dan untung aku menemukanmu disini. Ayo…ikut aku". Ucap Anora coba meraih pergelangan tangan Sean.
"lepaskan. Aku punya hal yang lebih penting dari pada mengurusimu yang tidak jelas". Ucapnya sambil menghentakkan tangan Anora kasar.
"tapi tingkah mu yang selalu menghindar ini akan merusak masadepanku". Gertak Anora kesal.
Sean hanya diam sambil meniti dalam wajah gadis itu.
"Sudah puas menikmati wajahku. Sekarang ikut aku". Paksa gadis itu sambil menarik tangan Sean untuk ikut dengannya ke ruangan Mr.George.
"hmm… menghilang berharu-hari dan kembali menghadap untuk meminta maaf?". Ucap dosen dengan kumis tebal khasnya.
Baik Sean ataupun Anora tidak mengucap atau bahkan merespon ucapan sang dosen. Mereka hanya diam menunduk sambil sesekali melihat satu dengan yang lain.
"tugas kalian baru beberapa bab, dan itu masih tahap pendahuluan. Kalian benar-benar berminat dengan hukuman seumur hidupku ya".
"Tidak".
Kedua sejoli itu menjawab dengan kompak.
Sang dosen tampak mengembangkan senyum kemenangan di bibirnya. Ia tampak senang mendapati kenyataan bahwa kedua mahasiswa itu masih bisa di arahkan olenya.
" baiklah…kali ini aku akan beri kalian berdua kesempatan. Setiap akhir minggu, aku ingin mendapati kalian berdua berada di perpustakaan untuk menyelesaikan tugas ini. Dan ingat, aku akan menjadikan tugas ini sebagai tugas seumur hidup kalian sebagai mahasiswa jika salah satu dari kalian tidak datang untuk mengerjakan tugas itu". Ucap sang dosen dengan gayanya yang menyebalkan dan arogan.
"tapi kami juga punya kegiatan di akhir minggu Mr". ucap Sean coba meminta keringanan.
" tidak ada negosiasi denganku. Itu adalah keputusan mutlak dariku". Ucap sang dosen sambil memandang keluar jendela.
Sean tampak mengepal tangannya. Andai orang tua di depannya bukan seorang dosen, mungkin lelaki itu sudah terkapar oleh pukulan keras Sean.
"jika tidak ada lagi yang ingin di bahas, kalian boleh meninggalkan ruanganku. Dan ingit semua perjanjian yang telah kita sepakati".
Anora dan Sean pun meninggalkan ruangan itu.
"Sean…". Panggil Anora saat keluar dari ruangan sang dosen.
Sean hanya diam dan menoleh gadis itu dengan tatapan dinginnya.
"tolonglah..kali ini saja. Kita harus selesaikan tugas ini. Aku juga merasa rishi terikat seperti ini". Ucap Anora.
"kau pikir karena siapa hukuman ini ada!!". Bentak Sean mulai terpancing emosi.
"apa maksud dari kata-katamu?".
"kau adalah pemyebab dari semua ini". Kecam Sean.
Mata anora tampak nanar. Lelaki itu benar-benar mencobai kesabarannya.
" kalau saja kau bisa mengontrol mulutmu waktu itu, ini semua tidak akan terjadi Sean. Kau bagai anak panah yang tidak sengaja membidikku". Ucap Anora kesal.
"hah….harusnya kau tau posisimu sebagai mahasiswi baru di sini. Seharusnya kau yang beradaptasi bukannya malah bersifat sesukamu".
"dan seharusnya kau membalikkan ucapan itu dengan keadaanmu Sean. Yang seharusnya beradaptasi aku atau kau? Sepertinya aku lebih memilih mati menjalani hukuman seumur hidup itu, di banding harus berurusan denganmu".
Deg….
"aku lebih memilih mati, disbanding harus berurusan dengan masalahmu".
Sean terhisap kedalam masalalunya dengan seoarng gadis cantik yang selalu melekat di ingatannya.
"aku tidak ingin kau dengannya" teriak lelaki tampan itu dramatis.
"dia adalah kakakku Se…".
"tetapi dia mencintaimu".
"Tidak!!!".
Teriakan terakhir itu benar-benar membuat keduanya saling menatap dengan intens. Tidak ada kalimat yang keluar dari bibir mereka. Hanya sebuah tatapan mata yang di penuhi makna.
"hei…sedang apa kau disini?".
Lamunan itu terpecah saat Alona menepuk bahu Sean.
Sean hanya terdiam.
"Sean… kau baik-baik saja?". Tanya Alona.
"Alona. Aku ingin Tanya sesuatu". Ucap Sean. Untuk pertama kalinya, Sean bernada lembut pada Alona.
Alona terpesona dengan cara bicara Sean. Bagaimana tidak, setelah penantian yang cukup lama, akhirnya ia bisa bicara dengan Sean dengan normalnya.
"apa kau tau, asal usul Anora?".
Deg….jantungnya berdetak kencang. Setiap rasa yang tadinya telah dengan indahnya terbentuk. Kini hancur berkeping-keping.
"Anora?".
"ya…". Sean memantapkan suaranya.
Alona hanya diam sambil perlahan berjalan melewati Sean yang masih terherah dengan sikapnya.
"lona",
Alona tidak merespon panggilan Sean. Ia merasakan rasa perih yang sangat di dadanya.
Sementara Sean semakin bingung dengan sikap gadis yang kini telah berada beberapa meter dari temoatnya berdiri.
Bukankah tadi gadis itu tengan menyapanya dengan ramah?
Waktu terus bergulir. Mentari tidak menyia-nyiakan masanya untuk kembali meredup.
Disebuah kamar yang tampak temarau dengan cahaya lampu yang minim.
Terdengar sayup isakan tangis seorang gadis.
"kenapa…aku telah menunggumu lama bajingan". Tangis Alona sambil menatapi foto wajah Sean yang tersimpan di ponselnya.
"kenapa, saat aku berharap bisa dekat denganmu, aku harus menemukan hatimu telah di tempati oleh orang lain".
Tangisan itu terdengar pilu. Tangisan seorang Alona yang terkenal kuat dan pintar.
Gadis itu merengkik oleh hatinya yang terluka.
***
"senang bisa bertemu denganmu langsung tuan Rafael. Suatu kehormatan aku bisa bertatap muka dengan anda langsung." Ucap lelaki paruh baya yang tampak tampan dengan wajah bengisnya.
"kau tau, aku sering mendengar sanjungan yang jauh lebih berkualitas dari ucapanmu". Ucap lelaki misterius dengan topeng hitamnya yang unik.
"hooo…kau cukup berkelas dengan sikap aroganmu itu Rafael". Balas lelaki itu sambil menyisip anggur hitam dengan dramatis di hadapan Rafael.
"langsung ke inti permasalahannya tuan. Aku tidak suka basa-basi". Ucap Rafael.
"sungguh sangat mengagumkan. Baik pertama panggil aku Sin. Mereka memanggilku Mr. Sin".
"dan jangan berharap ada perlakuan istimewa dariku untukmu Mr. Sin". Balasnya dingin.
"tentu saja tidak. Aku paham dengan cara berpikirmu Rafael. Baik. Aku punya misi menyenangkan untukmu. Aku ingin kau membawa seorang gadis padaku".
"kau menyewaku untuk membawa wanita panggilan padamu?". Ucapnya dengan nada sedikit meninggi.
Mr. Sin tertawa arogan.
Dhuar….
Rafael menembakkan peluru panasnya pada salah satu guci mahal yang ada di ruangan itu hingga hancur berkeping-keping.
"hentikan". Mr. Sin menghentikan gerakan reflex dari anak buahnya agar tidak menghajar Rafael.
Sementara Rafael masih duduk dengan tenang di kursinya sambil memandang dingin kearah Mr. Sin.
"aku tidak bermaksud mempermainkanmu Rafael. Baiklah, kau akan menerima data gadis yang maksudkan beserta keberadaannya. Tugasmu hanya membawa gadis itu ke hadapanku. Tanpa terluka. Untuk bayaranmu sesuai dengan kesepakatan kita". Ucap Mr. Sin serius.
Perjanjian pun di lakukan. Rafael akhinya terikat janji dengan Mr. Sin.
Malam kembali mengumandangkan sunyinya. Sesekali suara serak kendaraan kembali menyinggung seakan ingin menghancurkan irama malam sang pembunuh.
Malam ini ia tidak datang pada wanita pujaannya. Ia tidak dapat membelai dan merasakan aroma tubuh gadis pujaannya.
Mimik frustasi kembali terlukis di garis mukanya. Ia tampak menyesap gelasnya beberapa kali, hingga alcohol itu benar-benar kandas.
"akh….aku ingin bertemu dia". Teriak Rafael tidak dapat mengendalikan dirinya.
"aku harus pergi…ya…aku ingin dia". Ucapnya bringasan.
Hingga,
Ping…
Sebuah email baru masuk.
Alamat email yang unik. Dan cukup mencuri perhatian Rafael.
Dengan sekali tekan pada salah satu tombol di pc, email itu pun terbuka dan menampakkan foto wajah seorang gadis yang tidak asing pada Rafael.
Matanya memerah, keringat membasahi hampir seluruh kening lelaki tampan itu.
"A…Anora". Ucapnya dramatis.
Gadis itu sedang duduk di balkon kamarnya. Seperti biasa ia sibuk bergelut dengan buku dan kasus tetang Rafael si pembunuh misterius.
Gadis itu tidak terusik dengan kegelapan di sekitarnya. Ia berada di sebuah meja cantik dengan penerangan dari sebuah lampu belajar. Bahkan angina malam pun tidak dapat mengusir niatnya untuk dapat menyelesaikan tugas yang di berikan padanya.
Greekkk…
Terdengar suara barang tergeser. Namun Anora terlalu focus pada tugasnya hingga ia tidak mendengar suara itu.
"hmmm ini cukup sulit. Bagaimana aku bisa memperoleh bukti dari semua wacana ini. Semuanya hanya sekedar opini yang menjurus". Ungkap gadis itu kesal.
Desiran angin malam yang dingin kembali menyapu leher jenjangnya yang terbuka. Kali ini ia bisa merasakan dinginnya sang angin malam.
Ia meregangkan otot-ototnya yang kaku.
"aku rasa aku akan menjalankan hukuman itu. Hmm…andai saja Sean adalah manusia yang punya hati sedikit saja. Ini semua akan selesai." Gadis itu mengeluh sambil membenamkan wajahnya di antara kedua lengannya.
Tiba-tiba….
Chuppp….
Sebuah kecupan lembut mendarat di leher belakangnya. Bulu romanya berdiri, ada sensasi geli yang menyenangkan saat kecupan itu mendarat dengan sekejap.
Dalam hitungan detik, Anora tenggelam dalam sensasi itu, namun di detik selanjutnya, ketakuan menyerbu pikirannya.
Ia hanya sendiiri di apartemen itu. Bagaiaman ia bisa dikecup??
Anora terkaget dan ingin menoleh kebelakang. Hingga sepasang lengan kekar berhasil mematahkan kehendaknya.
"I miss you".
Suara yang menggoda. Serak, dan berat. Dan bau alcohol!!!
Gila!!!
"lepaskan aku". Ronta Anora berharap dapat mengalahkan lengan kuat itu.
"jangan berharap kau bisa lolos setelah aku menyentuhmu. Bahkan saat aku sudah masuk kedalam ruangan ini, jangan berpikir untuk bisa bebas dariku". Ucapnya berat.
Pupil mata Anora membesar mendengar deretan kalimat yang lebih mirip ancaman itu.
Adrenalinnya terpacu saat orang yang kini memeluknya coba untuk memadamkan satu-satunya sumber cahaya di ruangan itu.
"apa yang kau mau?? Ambil semua hal berharga di kamar ini. Lalu pergilah. Aku tidak akan melapor pada polisi". Ucap Anora dengan suaranya yang bergetar.
Heh…hahahah…
Ia tertawa dengan seramnya.
Ehhh…anora mendesah saat sosok itu mulai mengecup dan mencium dramatis leher jenjangnya.
"ja..jangan". desah Anora.
Namun lelaki itu tetap meneruskan aksinya seakan tidak ada lagi hari esok.
"kumohon hentikan. Apa yang kau inginkan". Ucap anora takut.
Dan lelaki itu berhenti.